the biodoversity

the biodoversity

Sabtu, 15 Desember 2012

Siapa kamu, siluman terbang Meru Betiri?

Tidak semua dari spesies yang saya amati di Bandealit, 15 Nopember 2012, bisa terident dengan baik...Ah andai mata saya bisa secepat shutter kamera, pasti mahkluk-mahkluk itu bisa terdokumenkan (itu pun kalo mirip kamera 7D, hehe). 

Ada suatu spesies yang mirip dengan Bubut sp. Spesies ini saya jumpai ketika mengunjungi kandang rusa yang telah rusak (mengabaikan peringatan banyaknya celeng di sekitar sana). Anehnya, dia bersuara mirip sekali dengan ayam hutan : kok-kok-kok...Saat terbang pendek, saya bisa melihat ukurannya : sekitar 40 cm, bentuknya mirip bubut, tapi dengan warna merah bata yang merata pada hampir sekujur tubuhnya, namun sayang sekali, kepalanya tak terlihat jelas.. Ia sekali saja terbang rendah, sebelum masuk ke dalam semak-semak setinggi perut saya. Si burung 'siluman' ini segera kembali lagi ke tempat pertam ketika kaki saya mencoba melangkah pergi. Lha ketika saya kembali lagi, eh.. tau-tau dia terbang menjauh lagi.. Hm, apakah tadi saya sudah mendekati sarangnya? Saya coba mencari telur atau tanda sarang lain, tapi nihil...

Spesies kedua yang menjadi misteri adalah burung yang sekelebat saja melintas di hadapan kami (ber-3) di jalur satwa. Saya dan seorang kawan, melihat dengan jelas siluetnya (karena kami pada saat itu menantang matahari). Ia memiliki paruh yang khas burung pemangsa, yaitu paruh atas melengkung. Tubuhnya, hm.. mungkin 30-40 cm panjangnya, tapi yang aneh, ia punya ekor yang cukup panjang..seakan menjuntai seperti srigunting batu. Kami bertiga mengkonfirmasi bentuk itu.. ah, semakin misteri saja tempat ini.

Belum cukup itu semua, dalam sela waktu 1 minggu.. ada beberapa teman yang mengatakan mereka melihat Belibis... hah? aneh sekali.. tapi ternyata itu bukan belibis, sial! jauh sekali identifikasnya (hehe, maklum... mereka bukan pengamat). Spesies ini nampaknya mirip sekali dengan kuntul karang. Berdasarkan penuturan teman-teman saya (Putri, Bundho, dll.) yang melihatnya, ia sendirian, mencari makan di tepi pantai. Tapi ketika saya mengkonfirmasi bentuk paruhnya, mereka berani sumpah, kalau ujung paruhnya berbentuk sendok (membulat pada ujung). Hm... anehnya, bulunya berwarna abu-abu... Untunglah, teman-teman kelompok 10 ini sempat mengabadikan burung ini, hanya sekali saja, sebelum ia terbang menjauh. Meskipun hanya dengan camera digital biasa, tapi ini jauh lebih melegakan dibandingkan 'misteri-misteri' lain yang tak terdokumentasikan. Ah, ada saja dunia pengamatan burung ini. Siapakah kamu, penghuni  Meru Betiri?

Adakah yang tahu burung ini jenis apa?

Jumat, 14 Desember 2012

Meru Betiri : Apa kamu akan menjadi jodohku?

Andongrejo, desa terakhir sebelum Meru Betiri
   Meru Betiri bukan hal asing lagi bagi saya. Hutannya yang masih 'gelap', jalannya yang penuh dengan rintangan (termasuk sliweran batang rotan, palem, bambu ori yang semuanya berduri), belum lagi batu-batu besar menghadang jalan. Niscaya, tidak perlu terkesima kalau berkunjung ke sana hanya dengan 3 cara : jalan kaki, kendaraan 4 WD, trail, dan tentu saja helikopter.. hehehe.

   Berbeda dengan kunjungan saya 2 tahun lalu di Sukamade, kali ini saya dalam kesempatan praktikum SMSDH mengunjungi Bandealit (15 Nopember '12). Jalannya lumayan, tidak se-gila Sukamade, dan tidak terlalu jauh, hanya sekitar 4 jam dari desa terakhir Andongrejo. 

    Deg-deg an dengan harapan adanya sensasi baru, saya mulai mengalami perjalanan dengan truk perkebunan 4 WD itu dengan mendongak-dongak mencari buruan. Diawali dengan serbuan kelompok kirik-kirik senja, lalu merbah dan cekakak yang sliwar-sliwer tidak jelas di atas kami. Goncangan yang keras, membuat saya tidak terlalu berani mengeluarkan senjata saya : takut ndlosor ke tumpukan tas, ya takut kejedot bak truk, terutama takut kamera saya kenapa-napa (eman cuy). Sekitar 1 jam lebih perjalanan, tidak disangka tidak dinyana.. saya bertemu Luntur Harimau. Burung sial, sang dhemit alas ini bukan terbang, tapi bertengger. Tidak cukup bertengger, tapi ia melubangi sebuah tunggul kayu kering dengan tingi 1,5 meter, mungkin sarangnya. Lha, sudah tahu ada truk lewat, dia tidak kabur.. malah melongo melihat saya.. Uwoooh.. seakan-akan saat itu dunia bergerak slowmotion.. tatapan burung betina ini masih teringat jelas, bahkan ketika truk kami berlalu, dia menyempatkan meninggalkan pekerjaannya membuat lobang, untuk mengintip kami yang makin menjauh.. Apakah dia sudah jatuh cinta padaku? ingat, kamu sudah punya suami! :p Oh Tuhan...  pengalaman gila.

  Sampai di Bandealit, rupanya tidak terlalu 'tertutup' seperti Sukamade. Kami melewati perkampungan pekerja kebun, lalu perkampungan nelayan yang warganya mayoritas Madura. Sedari tadi, Bubut Alang-alang, Raja Udang biru, Elang Ular Bido sliweran... tapi tidak cukup menghibur kegalauan hati saya karena terlanjur kecewa : Luntur di depan mata tapi tidak sanggup mengabadikan...
Pemandangan Bandealit dari Bukit Sodung : Luar Biasa!
    Di dalam Bandealit sana, praktikum dimulai. Mulai dengan Muara Timur yang tidak sesuai dengan reklame-nya : sepi mamring, tidak ada apa-apa.. Cuma cangak, trinil pantai, dan kokokan laut yang teramati. Ah, kecewa lagi. Esoknya tim mengunjungi savana. Lha ini yang bikin kami kaget. Perjalanan di tepian hutan dan semak ini dipenuhi kejutan dari : Philentoma kerudung, Srigunting Batu, dan Bubut. Bahkan, di tempat ini saya dapat mengabadikan Serindit Jawa. Anehnya, di tempat ini Serindit kok agak pekok ya? Diam aja, tidak se-aktif pergerakan saudaranya di Cangar, atau tempat lain. 
Laguna di Muara Barat
     Siangnya, setelah istirahat, saya menemukan jalur lain ke hutan. Karena terlalu sore, saya kembali untuk meneruskan esok paginya. Ternyata jalur ini adalah lintasan satwa yang telah ditutup. Di dalamnya, hm.. lagi-lagi penuh hal mengejutkan. Mulai dari Udang Api yang hampir menabrak saya, Srigunting Batu (lagi), berbagai jenis merbah, Pijantung Kecil... dan... Seriwang Asia! Awalnya, saya tidak yakini itu sebagai Seriwang Asia, tapi setelah berdiskusi lama... woh... saya temukan yang betina. Selain itu, berbagai kejutan dari Elang Jawa muda yang berkelebat, dan burung aneh-aneh yang tidak sempat saya identifikasi.. terlalu sedikit orang dan terlalu mepet waktu yang diberikan..

Tapi, mungkin itu akan menjadi alasan bagi saya untuk kembali menemuimu.. oh Meru Betiri..
Pegunungan dataran rendah Bandealit
Suasanan sepi di Muara Timur

Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leugaster)

Burung 'murah' Pycnonotus goiavier

Mbah Darmo, pejantan tangguh gerombolan Lutung Jawa

Burung murah sesi 2 : Parus major

Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus)

Si Unyu anak Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius)

Si Cerewet Elang Ular Bido (Spilornis cheela)

Caladi Ulam (Dendrocopus macei)

Keren! Serindit Jawa (Loriculus pusillus) lagi pose

Takur Ungkut-ungkut (Megalaima haemacephala)


Penghuni rerimbunan semak : Pelanduk Semak (Malacocincla sepiarium)

Selalu sendiri di Muara Timur : Kuntul Karang (Egretta sacra)

Trinil Pantai (Tringa hypoleucos)

Biduan hutan : Srigunting Batu (Dicrurus paradiseus)

Pijantung Kecil (Arachnothera longirostra)


Merbah Belukar (Pycnonotus plumosus)
Sebenernya... malu juga upload foto siluet, tapi berhubung ini Seriwang Asia (Tersiphone paradisi) betina, akhirnya mencep ae wes..

Rabu, 12 Desember 2012

Sumberawan, Candi yang Mengapung di Atas Air


Ketika saya harus mem-post-kan suatu tulisan tentang candi, sebenarnya saya bingung mulai dari mana. Penggemar (hanya sebatas itu saja) sejarah ini selalu nggedabrus, ngalor ngidul, tapi saya yakin, akhirnya dapat disimpulkan : Semua candi Indonesia luar biasa!

Sajen... selalu dijumpai di tiap candi : tanda penghargaan kepada Leluhur

     Di tengah perjalanan yang sudah diniati untuk berjalan-jalan bersama rekan saya pada tanggal 20 September lalu, Victor Kurniawan, kami terkagum-kagum terhadap salah satu candi yang kami kunjungi. Namnya adalah Sumberawan. Nama ini nampaknya diambil dari nama desa tempat dimana candi ini berdiri, yaitu Sumberawan, di kecamatan Singosari, Kab. Malang. Namun, berdasarkan pernuturan ibu penjaga candin, bahwa candi ini memang terletak di-atas-sumber/telaga (Sumber dan Rawan, Rawan berarti telaga dalam bahasa sansakerta).
      Bagi saya yang baru pertama kali tahu keberadaan candi ini, tentu sangat mengejutkan: bagaimana mungkin, susunan batu dengan skala ukur puluhan ton, bisa dibangun di atas mata air? Bahkan, ketika saya membaca tulisan sejarawan (mungkin Suwardono, karena tidak disebutkan jelas) di papan tempat itu, dulunya candi ini ada dalam genangan lumpur. Ibu penjaga (yang saya lupa namanya) juga meng-iya-kan pernyataan-pernyataan itu.
"Dulu, zaman mbah saya, tempat ini penuh dengan lumpur, bahkan candi itu hampir tertimpa pohon beringin besar yang ada di sampingnya karena tidak kuat berdiri lagi. Untung sekali, langsung dipotong."
       Wow! Beringin dengan akar yang kokoh saja hampir rubuh, tidak kuasa menahan lumpur, tentu saya menjadi bertanya-tanya: kenapa susunan batu ini begitu kokoh dan tidak ambles ditelan bumi? Kini, wilayah itu telah dikeringkan, dan pohon-pohon besar yang ada di sampingnya telah dipotong.  Jadi, dalam jangka yang lama, sejarawan bisa bernapas lega.
       Percakapan saya dengan ibu penjaga dilanjutkan, dengan membuka pertanyaan seperti ini:
"Bu, kenapa di sebelahnya ada pemandian?" tanya saya polos
"Oh, sejak dulu itu disucikan kaum Budha. Biasanya sebelum bertapa di sana, orang harus mandi dulu" katanya sambil menunjuk kamar kayu tertutup di ujung barat daya kompleks ini.
"Dari mana sumber airnya?"
"Ya dari bawah candi itu mas. Sejak dulu, sudah di sana. Tidak ada perubahan dalam pipanisasi, hanya perbaikan kerannya saja yang pernah" Katanya santai
      Dalam hati saya berteriak : Edian.. Edian tenan teknologi zaman dulu. Kita yang membangun jembatan dengan dana milyaran rupiah, hanya bertahan kurang dari 10 tahun. Nenek moyang kita membangun candi, dengan maksud menyucikan air (amerta di samudra mantana), bertahan ribuan tahun lamanya... Luar biasa.. Saya jadi bangga menjadi keturunan sang-pembuat-candi ini.. asli anak Nusantara. Tapi, sangat disayangkan, apakah semakin banyak keturunan, kualitas kita sebagai manusia semakin turun? maksud saya, saya melihat tumpukan batu adhesit sisa konstruksi candi yang runtuh, yang dijejer di samping candi. Tiap batu telah ditandai, digambar rekonstruksinya, diberi kode, dicoba disusun, tapi selalu gagal menemukan bentuk aslinya, baik dari pihak Belanda tahun 1937, maupun sejarawan dan insinyur Indonesia di tahun 1960-an. Belum ada yang mampu memecahkan susunan batu yang nampak sederhana tersebut, namun memiliki kerumitan yang luar biasa.. dan tentu saja:paten. Nampaknya, puncak teknologi telah dicapai pada masanya.
     Satu hal lagi yang menarik, candi ini selalu dikunjungi oleh 'orang-orang penting' daerah sebagai wujud pencarian petunjuk sebelum pemilukada, termasuk Gubernur kita tercinta (hehehe). Aneh tapi nyata, candi atau stupa milik agama Budha ini dibangun di zaman kerajaan Hindu Majapahit. Bukan hanya itu, dalam kunjungan kerjanya, raja paling berkuasa di Asia Tenggara, Hayam Wuruk, juga menyempatkan diri berkunjung ke candi ini. Hal ini tercatat oleh Kitab Negarakertagama, yaitu pada tahun 1359 M. Dalam benak saya, Raja Majapahit sangat berkuasa, dan tentu saja kekuasaannya tak terbatas. Namun, pemimpin zaman dulu sudah menerapkan kebijaksanaan dan keadilan terhadap hak-hak rakyatnya, termasuk dalam hal beragama. Saya jadi membayangkan, pemerintahan zaman dulu dimulai dengan itikad musyawarah yang jelas, untuk memilih siapa yang paling bijak diantara kumpulannya. Lalu ketika terpilih, mereka akan membiarkan keturunannya terus memimpin, dengan harapan kebijaksanaan leluhurnya terus ada dan terus mengayomi rakyat. Nah, ini tidak ada di dalam demo-crazy jaman sekarang. Demo-crazy, yang menurut saya sudah keblinger dan tidak sesuai tujuannya lagi. Pemimpin cuma melakukan kebijakan dari siapa yang menyandang dana terbesar waktu kampanye.. 
       Aish, maaf leluhurku.. kami kalah lagi... dengan kalian.
(Sumber sejarah berdasarkan penuturan penjaga, buku 'Stupa Sumberawan, Suwardono', dan catatan Ir. Van Romomndt'

Susunan batu adhesit yang sederhana,  namun dapat 'mengapung'
The ruins : siapa yang dapat menyusunnya kembali?

Hutan yang mengelilingi Candi : nampak terjaga kelestariannya oleh kesakralan

Ujung stupa Chatra (payung) yang belum ditemukan hingga kini
Reruntuhan yang telah diberi kode, namun tak ada yang sanggup menyusunnya lagi

Tempat Pemandian Sakral : Dulunya air mengalir dari 'Mulut Naga' dan patung Dewi
Laguna yang masih ada di sekitar Candi : berair jernih dan penuh dengan ikan

Senin, 22 Oktober 2012

Kalibaru : Bukan Sekedar Kebun! (part 2)

Perkebunan Kelapa dengan Latar belakang Gunung Menyan
Luar biasanya daerah perkebunan yang sudah ada dalam master plan pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1800-an ini. Betapa tidak, Kalibaru (yang kebetulan kampung saya, hehe) dikelilingi oleh gunung-gunung yang (dulu) elok: kumitir (barat), menyan (selatan), raung (utara), dan dataran krikil di timur. 
Floranya? luar biasa (dulu), sekarang sudah banyak beralih menjadi komoditi ekonomis, seperti kopi, cengkeh, kakao, sengon, dan tanaman perkebunan lain. Namun, bukan berarti ini menghilangkan jejak-jejak kedahsyatan keberadaan fauna di dalamnya. Pada tahun 1997, beberapa pencari rumput mengaku menemukan jejak-jejak mamalia besar, yang diduga merupakan Harimau Jawa di Hutan Antrokan, dalam kawasan Gunung Menyan, TNMB. Selain itu, macan tutul masih diburu sebagai hama pada tahun 1946 di belantara Wonorejo, sebuah belantara yang menyimpan air terjun Tirto Kemanten yang indah. 

Bagi saya, mengenal keelokan daerah bisa diketahui dengan melihat komunitas burungnya (mungkin karena saya tertarik pada burung ya, he..). Tapi, dari melihat spesies-spesies kunci pada suatu tempat, kualitas vegetasi dan track record-nya kemungkinan masih dapat diduga-duga. Pada tanggal 10 Februari 2012, libur semester ganjil ini saya mencoba menelisik lebih jauh isi perut perkebunan rakyat yang ada di lereng Raung, masih dalam terusan daerah Wonorejo. 
Patner saya kali ini adalah kakak kandung saya sendiri, Mas Dedy, yang karena senggang dalam pelayanan hari itu, maka segera mengiyakan saja. Perjalanan dimulai pada pagi hari, melewati perkebunan Kakao PTPN XII, Sumberbaru. Sepanjang perjalanan makadam sambil membawa mbah 1100 rupanya cukup mudah. Selain itu, masih belum ada minat memotret cekakak sungai, cekakak jawa, caladi ulam, dll yang bersliweran dan pamer badan di jalan.

Ini dia jalan standar perkebunan
Setelah melewati pos air terjun Tirto Kemanten, barulah saya sadar kalau bau aspal hanya sampai di sini, sisanya jalan tanah! Baik, untuk bayangan, jalan tanah yang saya lalui itu becek (karena sempat hujan kemarin). Karena sering dilalui motor-motor kebun, jadi pada bagian tengah seakan-akan membantuk selokan sedalam 1/2 meter. Lhah, ini dia tantangannya : kami gunakan supra-x prethelan dengan ban standar. Alhasil, 3 kali kami terjerumus ke semacam-selokan-tengah-jalan itu. Berbeda dengan masyarakat setempat yang gedheg-gedheg melihat tingkah kami berdua, enak saja mereka berboncengan (bahkan atraksi... sampai bonceng 4) dengan motor-motor modif trail mereka. weh, ga adil...

Aktivitas harian masyarakat kebun
Perjalanan kami hentikan saat kami mencapai tepian hutan. Disebut hutan, nampaknya ini adalah hutan sekunder kelas sekian. Vegetasi? tetap tanaman kebun, dengan dominasi pisang dan kopi. Tetapi, masih ada beberapa Pohon Gayam tua, yang menandakan tempat ini mungkin memiliki sejarah diversitas yang indah. Sambil menghisap rokok, mas Ded, berjongkok istirahat, tepat di tepian jurang yang entah dasarnya masih ada airnya atau tidak. 1100 D, sang kamera murah(an) tapi berharga ini sudah kusiapkan terlebih dulu. Mulanya, saya tidak sadar kalau ada Burung Madu Gunung (Aethopyga eximia) jantan pamer bulu di atas bambu. Lalu, sekian detik kemudian, gerombolan Sepah Hutan (Pericrocotus flammeus) menyerang saya... tidaaak. Kemudian sikatan ninon (Eumyias indigo), dan... gagak kampung (Corvus macrohynchos). Satu hal yang membuat saya pusing adalah kemunculan semacam burung sikatan. Burung ini tidak bersuara, tapi seakan tahu akan difoto, ia malah memamerkan bulunya yang masih molt, ke hadapan moncong lensa. Baru setelah saya tahu bahwa ia adalah anak Sikatan Cacing (Cyornis banyumas), salah satu burung pujaan kicaumania, saya semakin penasaran... Ada apa lagi di sini?

Satu bulan setelah saya pengamatan di sini, salah seorang warga menemukan seekor burung yang beberapa cirinya sama dengan Kucica Kampung (Copsychus saularis), yang juga sudah sangat jarang ditemukan. Salah satu anggota pengamat burung zoothera yang ada dalam perjalanan ke air terjun Tirto Kemanten, mengaku menemukan seekor Elang Hitam (Ictinaetus malayensis) sedang gliding sangat rendah. Hal yang sama diakui oleh beberapa teman kampung saya, bahkan mereka mengatakan : lebih dari 3 ekor bersamaan.  Beberapa bulan berikutnya, dengan arah yang berkebalikan dengan tempat pengamatan saya (kira-kira ke utara), suatu komunitas trail Kalibaru menemukan air terjun dengan 3 tingkap di tengah belantara lereng Raung. Air terjun luar biasa yang belum bernama ini diresmikan penemuannya pada tanggal 18 Oktober 2012... Penemuan.. kiranya bukan sekedar penemuan. Tapi kiranya juga menjadi dasar peletakan kebijakan yang lestari.. semoga..
Gunung Kumitir nampak dari jalan Wonorejo



Si Supra sebelum disiksa


Dua patner adpenture kampung saya : Kang Dedy dan Kang Aji

Sepah Hutan Betina (Pericrocotus flammeus)

Sepah Hutan Jantan (Pericrocotus flammeus)
Spesies Bonus : Gelatik Batu (Parus major)
Burung Madu Gunung betina (Aethopyga eximia)

Penemuan kejutan : Sikatan Cacing (Cyornis banyumas), bagai menemukan tempe di Jepang (?)
Dua dari gerombolan Caladi Tilik (Picoides moluccensis)

Sikatan Ninon (Eumyias indigo)


Sabtu, 06 Oktober 2012

Pesona Kalibaru, sang kampung perkebunan (part 1)

Yah, awalnya saya ingin minta maaf, karena blog ini berniat saya tinggalkan (lho?). Betul itu, karena nampaknya ada 2 blog lain yang harus saya ikuti.. yah, tapi lama-lama kangen juga tidak menulis di blog pribadi. (tenang saja kok nak, kamu tidak kubuang.. hehe)

Lha ini si O. sepium. Bandingkan dengan cabe rawit di sebelahnya
Baiklah, izinkanlah saya membagikan pesona kampung halaman saya yang indah ini. Dimulai dari awal libur semester 5, saya ingin mengabdikan ilmu pengamatan burung yang telah ditimba di kampung saya ini. Rupanya, tidak perlu jauh-jauh.. hari pertama pada tanggal 9 Februari lalu saya bergerak di kebun salak belakang rumah, nampak si Cinenen Jawa ( Orthotomus sepium) memanggil-manggil mesra. Bahkan tak dinyana, bapak juga menunjukkan di jam istrahatnya dimana dan seperti apa sarang si burung 'penjahit'. burung lain yang cukup murahan tentu saja Sriganti, Bondol Jawa, dan tentu saja burung gereja.. ah ini kurang menantang.

Setelah agak siang, aku pun berangkat berjalan-jalan. Masih belum ada yang istimewa di hati, batinku. Lhah, kok entah tiba-tiba aku berbelok ke gang pemakaman umum. Wah, mungkin di sini aku mendapatkan burung-burung aneh. Tak dinyana, gerombolan kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) menyerbu pohon turi, 1,5 meter di atas kepala. Langsung saja momen ini tidak kusia-siakan dengan 1100 D-ku. Lhah, kemudian mereka dengan berbahagia berterbangan di atas sawah, entah kemana. Baiklah, lanjut lagi. 

Kuburan ini termasuk kuno dan padat. Tidak terlalu luas, dan dapat dilewati mobil pada bagian tengahnya. Di dalamnya tentu saja banyak pohon kamboja, yang pada saat itu sedang banyak yang rontok. Kulewati gang besar itu, dan terdapat bunyi merdu... wow... Cipoh Kacat (Aegthinia typia) sedang mencari makan. Dengan salah satu gengnya, ia sekan menari meliuk-liuk.. maen petak umpet mungkin. Lalu tanpa disangka, eh ada Caladi.. waduh, tidak bersuara, dan kelebatannya tertutup rimbunnya daun kamboja. belum sempat difoto, eh malah masuk ke areal pemakaman lebih dalam.. wadhuh.

"permisi mbah,nyuwun sewu." hehe, minta izin dalam bathin saat melewati kuburan-kuburan demi sang caladi ajib ini. 

"Golek apa mas?"Kata ibuk-ibuk tua mengagetkan 
"anu buk, cari burung" Kataku sekenanya, sambil sesekali melirik buruanku, takut hilang lah..
"ati-ati nggih mas, ada yang punya" katanya sambil meneruskan mencari rumput di sana... he, rupanya aku tidak memperhatikan kalau ibu itu mencari rumput sedari tadi di sana.
"inggih bu" kataku. Hm.. memang di sini tidak boleh sembarangan. Aku memang tidak terlalu percaya magis, namun percaya akan kekuatannya dalam menjaga nilai konservasi, jadi aku manut saja, untuk penghormatan.

Kulangkahkan kakiku dengan sedapat mungkin menghindari bongkahan batu kuburan tua..kuburan bayi, kuburan pejuang, dan berbagai kuburan yang nampaknya tak lagi berpatok.. well, sampai di sini aku sendiri miris...

Caladi yang kucari kufoto, hm.. sepasang Caladi Tilik (Picoides mollucensis). Ia tak mempedulikan aku yang kesusahan (dan juga ketakutan) sendirian di sini. Setelah kuambil foto, kuperhatikan terus, lalu burung ini menghilang di balik kerimbunan. Kuputuskan untuk segera kembali, dan he... ibu-ibu tadi sudah tak ada.. tanpa ada bekas sabitan rumput. kucek foto Caladiku segera, well-hewell.. ngeblur. Kiranya aku tak melihat dhemit kuburan Kalibaru Kidul. 


Weh, di pinggir jendelaku ada Bondol Jawa sedang kerja sama mencari makan

Bapak, pengamat burung sambil membawa si bangkok, he.. 







Senin, 10 September 2012

Jika Kita adalah Burung

ada syair kuno yang berkata demikian:

Adhuh, saupama aku kaparingan swiwi kaya manuk dara,
(Aduh, seandainya aku diberikan sayap seperti burung merpati)
banjur mabur golek papan kang tentrem,
(Lalu terbang mencari tempat yang tentram)
malah nuli lumayu nganti adoh,
(kemudian berlari mencari tempat yang jauh)
lan banjur nginep ana ing pasamunan.
(dan kemudian menginap di padang)

Aku bakal enggal-enggal golek papan pangungsen,
(Aku kemudian cepat-cepat mencari tempat pertolongan)
ngoncati angin gedhe lan prahara.
(menghindari angin besar dan bencana).


Jika kuingat kembali saat KKN-ku di Sumberbendo, Madiun, maka selalu kungat betapa sulitnya mengubah paradigma masyarakat terhadap burung dan hewan lain. Tidak ada bedanya antara burung langka dengan yang tidak langka, dan juga antara hewan dilindungi, dengan lauk pauk. Hebatnya lagi, pengurangan habitat mereka terus terjadi secara hebat dan terus-menerus.
Misalnya saja, Ayam Hutan Merah berakhir dengan dibakar, dan Julang Emas, seringkali berakhir dengan suatu masakan berkuah (saya sendiri lupa namanya).

Miris memang bagi kaum yang mengerti. Dapat dipahami bila mereka mencari lauk, tapi yang tidak dapat dipahami adalah... pembunuhan terus terjadi, jauh melampaui dibandingkan regenerasi yang akan terjadi, bahkan bila sudah kenyang. Kepunahan lokal akan segera nyata terlaksana.

Syair kuno itu tak sepenuhnya benar. Burung memang bisa terbang, namun bukan berarti mudah untuk mencari perlindungan. Ia memang bisa pergi, namun sudah tidak ada lagi tempat bersembunyi, dari manusia, tamu bagi habitatnya yang jauh lebih muda.
Pemburu di indahnya Sumberbendo

Senin, 21 Mei 2012

Belajar Menulis Kesimpulan dari Sebuah Tujuan


      Sudah lebih dari 2 minggu TaP (Tyto alba Project) berjalan, dan menjadi salah satu bagian di dalamnya, membuat saya memiliki cerita-serita ini. Awalnya, sangat mudah untuk memastikan jadwal aktivitas burung ini. Namun, seiring berjalannya waktu, semakin susah.. Kenapa? karena, burung ini bersarang di lobang plafon gedung rektorat UB. Sebagai satu-satunya gedung yang paling berpengaruh di UB, gedung ini tiba saratnya direnovasi. Pemasangan jaring bangunan, suara berisik konstruksi, membuat kami ketar-ketir jika semuanya ini dapat membuat proses alami yang ada di dalamnya terganggu. Bukan hanya itu saja, kenyataannya, burung ini sedang bertanggung jawab pada 2 atau lebih anaknya yang selalu berteriak-teriak dari petang hingga malam. Bahkan, kabar yang sangat memedihkan terjadi ketika 2 lobang plafon itu ditutup..
       Ada 3 kemungkinan ketika itu terjadi : Keluarga kecil itu terkurung hidup-hidup, Induk mencari lobang lain, atau bahkan pekerja konstruksi mengambil anak-anaknya. 
Birdwatching malam berbeda dengan birdwatching pada umumnya yang dilakukan pada pagi hari. Menahan dingin, sepi, sulitnya mendokumentasi (karena penerangan dan flash yang terbatas), dan terkadang sendirian, membuat kegiatan ini seperti hanya diminati oleh orang-orang gila saja! Saya sangat menikmati ketika saya mencatat jumlah orang yang juga melongok ke atas ketika saya terus mengamati lobang plafon. Bahkan, terakhir kali saya melakukan pengamatan, wow, ada 13 orang yang melongok, menengok ke atas, ketika melihat saya menengok ke atas. Sungguh aneh dan nampaknya membuang waktu, terlebih ketika sarang yang diamati sudah tidak ada lagi.
      Adakah kekuatan ketika orang telah jadi lesu? 
   Sebuah tulisan ilmiah diawali dengan menuliskan tujuan. Ya, dan di akhir semua tulisan, kita harus menutupnya dengan sebuah kesimpulan. Apakah kesimpulan itu? jawaban dari tujuan. 
Ketika bertanya pada diri sendiri apa yang terjadi sehingga harus menekuni bidang ornitho-konservasi, maka jawabannya akan terbayang ketika saya pernah menikmati terpaan angin sejuk alam yang lestari. Suara Burung Takur yang berisik membuat kita percaya bahwa kita tak pernah sendiri. Burung ini terbang secara cepat menuju buah-buah hutan, lalu panik kembali ke lobangnya. Elang Hitam yang mengangkasa dengan gagahnya membuat seluruh isi hutan gemetar dan terdiam. Bahkan, Tyto alba sangat mengagumkan. Bagaimana mungkin sosok sebesar 42 cm, mampu terbang tanpa menimbulkan suara sedikitpun? 
Tujuan, dari apa yang telah terjadi, ketika melihat semuanya lestari, berbagi hidup dengan penghuni paling berkuasa di dunia, yaitu manusia. Rupanya, hanya sedikit manusia sadar akan berbagi ruang dengan ciptaanNya yang lain. Namun, pengharapan akan dituliskannya 'sebuah kesimpulan yang sesuai dengan tujuan', akan terus ada.

Semak dan tanaman menyala karena kekudusanNya, tetapi hanya orang-orang yang terpilih, yang mau bersujud.