the biodoversity

the biodoversity

Senin, 10 September 2012

Jika Kita adalah Burung

ada syair kuno yang berkata demikian:

Adhuh, saupama aku kaparingan swiwi kaya manuk dara,
(Aduh, seandainya aku diberikan sayap seperti burung merpati)
banjur mabur golek papan kang tentrem,
(Lalu terbang mencari tempat yang tentram)
malah nuli lumayu nganti adoh,
(kemudian berlari mencari tempat yang jauh)
lan banjur nginep ana ing pasamunan.
(dan kemudian menginap di padang)

Aku bakal enggal-enggal golek papan pangungsen,
(Aku kemudian cepat-cepat mencari tempat pertolongan)
ngoncati angin gedhe lan prahara.
(menghindari angin besar dan bencana).


Jika kuingat kembali saat KKN-ku di Sumberbendo, Madiun, maka selalu kungat betapa sulitnya mengubah paradigma masyarakat terhadap burung dan hewan lain. Tidak ada bedanya antara burung langka dengan yang tidak langka, dan juga antara hewan dilindungi, dengan lauk pauk. Hebatnya lagi, pengurangan habitat mereka terus terjadi secara hebat dan terus-menerus.
Misalnya saja, Ayam Hutan Merah berakhir dengan dibakar, dan Julang Emas, seringkali berakhir dengan suatu masakan berkuah (saya sendiri lupa namanya).

Miris memang bagi kaum yang mengerti. Dapat dipahami bila mereka mencari lauk, tapi yang tidak dapat dipahami adalah... pembunuhan terus terjadi, jauh melampaui dibandingkan regenerasi yang akan terjadi, bahkan bila sudah kenyang. Kepunahan lokal akan segera nyata terlaksana.

Syair kuno itu tak sepenuhnya benar. Burung memang bisa terbang, namun bukan berarti mudah untuk mencari perlindungan. Ia memang bisa pergi, namun sudah tidak ada lagi tempat bersembunyi, dari manusia, tamu bagi habitatnya yang jauh lebih muda.
Pemburu di indahnya Sumberbendo