the biodoversity

the biodoversity

Senin, 22 Oktober 2012

Kalibaru : Bukan Sekedar Kebun! (part 2)

Perkebunan Kelapa dengan Latar belakang Gunung Menyan
Luar biasanya daerah perkebunan yang sudah ada dalam master plan pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1800-an ini. Betapa tidak, Kalibaru (yang kebetulan kampung saya, hehe) dikelilingi oleh gunung-gunung yang (dulu) elok: kumitir (barat), menyan (selatan), raung (utara), dan dataran krikil di timur. 
Floranya? luar biasa (dulu), sekarang sudah banyak beralih menjadi komoditi ekonomis, seperti kopi, cengkeh, kakao, sengon, dan tanaman perkebunan lain. Namun, bukan berarti ini menghilangkan jejak-jejak kedahsyatan keberadaan fauna di dalamnya. Pada tahun 1997, beberapa pencari rumput mengaku menemukan jejak-jejak mamalia besar, yang diduga merupakan Harimau Jawa di Hutan Antrokan, dalam kawasan Gunung Menyan, TNMB. Selain itu, macan tutul masih diburu sebagai hama pada tahun 1946 di belantara Wonorejo, sebuah belantara yang menyimpan air terjun Tirto Kemanten yang indah. 

Bagi saya, mengenal keelokan daerah bisa diketahui dengan melihat komunitas burungnya (mungkin karena saya tertarik pada burung ya, he..). Tapi, dari melihat spesies-spesies kunci pada suatu tempat, kualitas vegetasi dan track record-nya kemungkinan masih dapat diduga-duga. Pada tanggal 10 Februari 2012, libur semester ganjil ini saya mencoba menelisik lebih jauh isi perut perkebunan rakyat yang ada di lereng Raung, masih dalam terusan daerah Wonorejo. 
Patner saya kali ini adalah kakak kandung saya sendiri, Mas Dedy, yang karena senggang dalam pelayanan hari itu, maka segera mengiyakan saja. Perjalanan dimulai pada pagi hari, melewati perkebunan Kakao PTPN XII, Sumberbaru. Sepanjang perjalanan makadam sambil membawa mbah 1100 rupanya cukup mudah. Selain itu, masih belum ada minat memotret cekakak sungai, cekakak jawa, caladi ulam, dll yang bersliweran dan pamer badan di jalan.

Ini dia jalan standar perkebunan
Setelah melewati pos air terjun Tirto Kemanten, barulah saya sadar kalau bau aspal hanya sampai di sini, sisanya jalan tanah! Baik, untuk bayangan, jalan tanah yang saya lalui itu becek (karena sempat hujan kemarin). Karena sering dilalui motor-motor kebun, jadi pada bagian tengah seakan-akan membantuk selokan sedalam 1/2 meter. Lhah, ini dia tantangannya : kami gunakan supra-x prethelan dengan ban standar. Alhasil, 3 kali kami terjerumus ke semacam-selokan-tengah-jalan itu. Berbeda dengan masyarakat setempat yang gedheg-gedheg melihat tingkah kami berdua, enak saja mereka berboncengan (bahkan atraksi... sampai bonceng 4) dengan motor-motor modif trail mereka. weh, ga adil...

Aktivitas harian masyarakat kebun
Perjalanan kami hentikan saat kami mencapai tepian hutan. Disebut hutan, nampaknya ini adalah hutan sekunder kelas sekian. Vegetasi? tetap tanaman kebun, dengan dominasi pisang dan kopi. Tetapi, masih ada beberapa Pohon Gayam tua, yang menandakan tempat ini mungkin memiliki sejarah diversitas yang indah. Sambil menghisap rokok, mas Ded, berjongkok istirahat, tepat di tepian jurang yang entah dasarnya masih ada airnya atau tidak. 1100 D, sang kamera murah(an) tapi berharga ini sudah kusiapkan terlebih dulu. Mulanya, saya tidak sadar kalau ada Burung Madu Gunung (Aethopyga eximia) jantan pamer bulu di atas bambu. Lalu, sekian detik kemudian, gerombolan Sepah Hutan (Pericrocotus flammeus) menyerang saya... tidaaak. Kemudian sikatan ninon (Eumyias indigo), dan... gagak kampung (Corvus macrohynchos). Satu hal yang membuat saya pusing adalah kemunculan semacam burung sikatan. Burung ini tidak bersuara, tapi seakan tahu akan difoto, ia malah memamerkan bulunya yang masih molt, ke hadapan moncong lensa. Baru setelah saya tahu bahwa ia adalah anak Sikatan Cacing (Cyornis banyumas), salah satu burung pujaan kicaumania, saya semakin penasaran... Ada apa lagi di sini?

Satu bulan setelah saya pengamatan di sini, salah seorang warga menemukan seekor burung yang beberapa cirinya sama dengan Kucica Kampung (Copsychus saularis), yang juga sudah sangat jarang ditemukan. Salah satu anggota pengamat burung zoothera yang ada dalam perjalanan ke air terjun Tirto Kemanten, mengaku menemukan seekor Elang Hitam (Ictinaetus malayensis) sedang gliding sangat rendah. Hal yang sama diakui oleh beberapa teman kampung saya, bahkan mereka mengatakan : lebih dari 3 ekor bersamaan.  Beberapa bulan berikutnya, dengan arah yang berkebalikan dengan tempat pengamatan saya (kira-kira ke utara), suatu komunitas trail Kalibaru menemukan air terjun dengan 3 tingkap di tengah belantara lereng Raung. Air terjun luar biasa yang belum bernama ini diresmikan penemuannya pada tanggal 18 Oktober 2012... Penemuan.. kiranya bukan sekedar penemuan. Tapi kiranya juga menjadi dasar peletakan kebijakan yang lestari.. semoga..
Gunung Kumitir nampak dari jalan Wonorejo



Si Supra sebelum disiksa


Dua patner adpenture kampung saya : Kang Dedy dan Kang Aji

Sepah Hutan Betina (Pericrocotus flammeus)

Sepah Hutan Jantan (Pericrocotus flammeus)
Spesies Bonus : Gelatik Batu (Parus major)
Burung Madu Gunung betina (Aethopyga eximia)

Penemuan kejutan : Sikatan Cacing (Cyornis banyumas), bagai menemukan tempe di Jepang (?)
Dua dari gerombolan Caladi Tilik (Picoides moluccensis)

Sikatan Ninon (Eumyias indigo)


Sabtu, 06 Oktober 2012

Pesona Kalibaru, sang kampung perkebunan (part 1)

Yah, awalnya saya ingin minta maaf, karena blog ini berniat saya tinggalkan (lho?). Betul itu, karena nampaknya ada 2 blog lain yang harus saya ikuti.. yah, tapi lama-lama kangen juga tidak menulis di blog pribadi. (tenang saja kok nak, kamu tidak kubuang.. hehe)

Lha ini si O. sepium. Bandingkan dengan cabe rawit di sebelahnya
Baiklah, izinkanlah saya membagikan pesona kampung halaman saya yang indah ini. Dimulai dari awal libur semester 5, saya ingin mengabdikan ilmu pengamatan burung yang telah ditimba di kampung saya ini. Rupanya, tidak perlu jauh-jauh.. hari pertama pada tanggal 9 Februari lalu saya bergerak di kebun salak belakang rumah, nampak si Cinenen Jawa ( Orthotomus sepium) memanggil-manggil mesra. Bahkan tak dinyana, bapak juga menunjukkan di jam istrahatnya dimana dan seperti apa sarang si burung 'penjahit'. burung lain yang cukup murahan tentu saja Sriganti, Bondol Jawa, dan tentu saja burung gereja.. ah ini kurang menantang.

Setelah agak siang, aku pun berangkat berjalan-jalan. Masih belum ada yang istimewa di hati, batinku. Lhah, kok entah tiba-tiba aku berbelok ke gang pemakaman umum. Wah, mungkin di sini aku mendapatkan burung-burung aneh. Tak dinyana, gerombolan kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) menyerbu pohon turi, 1,5 meter di atas kepala. Langsung saja momen ini tidak kusia-siakan dengan 1100 D-ku. Lhah, kemudian mereka dengan berbahagia berterbangan di atas sawah, entah kemana. Baiklah, lanjut lagi. 

Kuburan ini termasuk kuno dan padat. Tidak terlalu luas, dan dapat dilewati mobil pada bagian tengahnya. Di dalamnya tentu saja banyak pohon kamboja, yang pada saat itu sedang banyak yang rontok. Kulewati gang besar itu, dan terdapat bunyi merdu... wow... Cipoh Kacat (Aegthinia typia) sedang mencari makan. Dengan salah satu gengnya, ia sekan menari meliuk-liuk.. maen petak umpet mungkin. Lalu tanpa disangka, eh ada Caladi.. waduh, tidak bersuara, dan kelebatannya tertutup rimbunnya daun kamboja. belum sempat difoto, eh malah masuk ke areal pemakaman lebih dalam.. wadhuh.

"permisi mbah,nyuwun sewu." hehe, minta izin dalam bathin saat melewati kuburan-kuburan demi sang caladi ajib ini. 

"Golek apa mas?"Kata ibuk-ibuk tua mengagetkan 
"anu buk, cari burung" Kataku sekenanya, sambil sesekali melirik buruanku, takut hilang lah..
"ati-ati nggih mas, ada yang punya" katanya sambil meneruskan mencari rumput di sana... he, rupanya aku tidak memperhatikan kalau ibu itu mencari rumput sedari tadi di sana.
"inggih bu" kataku. Hm.. memang di sini tidak boleh sembarangan. Aku memang tidak terlalu percaya magis, namun percaya akan kekuatannya dalam menjaga nilai konservasi, jadi aku manut saja, untuk penghormatan.

Kulangkahkan kakiku dengan sedapat mungkin menghindari bongkahan batu kuburan tua..kuburan bayi, kuburan pejuang, dan berbagai kuburan yang nampaknya tak lagi berpatok.. well, sampai di sini aku sendiri miris...

Caladi yang kucari kufoto, hm.. sepasang Caladi Tilik (Picoides mollucensis). Ia tak mempedulikan aku yang kesusahan (dan juga ketakutan) sendirian di sini. Setelah kuambil foto, kuperhatikan terus, lalu burung ini menghilang di balik kerimbunan. Kuputuskan untuk segera kembali, dan he... ibu-ibu tadi sudah tak ada.. tanpa ada bekas sabitan rumput. kucek foto Caladiku segera, well-hewell.. ngeblur. Kiranya aku tak melihat dhemit kuburan Kalibaru Kidul. 


Weh, di pinggir jendelaku ada Bondol Jawa sedang kerja sama mencari makan

Bapak, pengamat burung sambil membawa si bangkok, he..