the biodoversity

the biodoversity

Minggu, 08 Desember 2013

Balada Sandal Jepit Bandealit: Gusti kuwi Maha Pirsa!

   Begitu menyadari Elang Jawa ditemukan di Bukit Sodung, area kekuasaan Desa Bandealit, Kepatihan Ambulu, Kerajaan Meru Betiri (hehe), maka sebenarnya saya tidak tentram lagi. Lha, saya penasaran dengan statusnya : apakah hanya mampir lewat (pengembara), ataukah memang ia menetap? Sebuah pertanyaan yang sangat penting untuk dijawab. Yap, bisa jadi keberuntungan peserta GFK itu menjadi saksi tentang seekor elang endemik yang... cuman mampir, hehe.. 
   Demi menjawab rasa penasaran saya, akhirnya tanggal 2 Desember saya niati untuk sekali lagi mampir di Resort Bandealit tercinta. Resort yang sekarang digawangi oleh Pak Dedi ini memang cukup jauh dari jangkauan. Motor Supra X milik emak saya harus terengah-engah ketika menaiki jalanan 'mulus' ala Meru Betiri. Wih... rasanya, pantat seperti dipukul-pukul oleh jok motor yang memanas. 
   Sesampainya di sana, sore hari baru saya bisa bertemu dengan Pak Dedi secara langsung. Namun sayang, lelah karena patroli seharian, perjalanan panjang, akhirnya beliau harus beristirahat semalaman, padahal saya sangat ingin ditemani Pak Dedi hunting foto herpet, mumpung ketemu beliau yang notabene pawang ular :D .
   Paginya, saya langsung menuju jalanan savana yang terbuka. Konon, lokasi ini banyak mengandung temuan burung-burung yang enak dilihat. Lumayan untuk pembahruan database, hehe. Siang dikit, saya kemudian berlanjut ke arah track goa Jepang. Barangkali ada sesuatu yang bisa dilihat meskipun agak siang. Lalu Pak Dedi? beliau bertukar shift dengan Mas Puji. Yaah, begitulah nasib orang-orang ini. Dinas jauh dari keluarga, tanpa komunikasi, di hutan lagi, jadi harus bertukar shift tiap 4 hari sekali. ckck... Dengan menculik Mas Puji inilah  saya kemudian jalan-jalan.. mbuh kemanaa saja.. Mulai track goa jepang, pantai, hingga sungai-sungai nyari kodok.. haha. Pindahan dari Bunaken ini memang hobi jalan-jalan katanya. Ya baguslah untuk kesehatan, daripada kena diabetes karena nyelam terus? :D
   Si burung target sendiri sebenarnya sudah terlihat dari hari pertama. Namun, bentuknya lebih mirip sebagai kotoran lensa dibandingkan elang, hahaha. Artinya, teramat sangat jauh untuk diamati.Setelah itu, entah kemana ia pergi. Seakan-akan bersembunyi di saat siang hingga sore hari...  Bukan hanya itu, secara beruntun saya seperti ketiban sial yang menyesakkan. Lensa saya rusak! Macet tanpa bisa zoom out di hari kedua. Entah ada yang mengganjal, mungkin kemasukan kecoa (maklum, kamar saya banyak kecoa). Saya langsung berpikir : "berapa lama?" dan "modhar kooon, kere tenaan aku!". Dan bukan hanya itu sodara-sodara sekalian : sandal gunung saya yang biasanya saya parkir rapi di depan kantor resort, yang menemani saya tanpa cacat selama 2,5 tahun... hilang! Yah, okelaah, akhirnya saya pakai sandal jepit karet saja... Belum selesai kejutan, masih nambah lagi kabar yang kurang mengenakkan : hasil ujian cpns saya sudah keluar, daan... saya tidak masuk daftar panggilan TKB (tes tahap berikutnya). Pupus sudah harapan untuk mandiri, dan juga melunasi hutang akibat kerugian saya ini..... It's completly bad news.

Selalu Indah Pada Waktunya
   Sandal tak akan kembali lagi. Lensa harus diopname dengan uang tebusan yang jumlahnya tidak sedikit bagi saya. Elang Jawa... mungkin hanya keberuntungan peserta GFK yang membuatnya terlihat di area Bukit Sodung. Mungkin ia hanya mampir lewat saja. dan CPNS? Ah, kecewa tak akan terobati dengan menyesali apa yang tidak bisa kita cegah, ya toh? 
   Nah, akhirnya, suatu saat Tuhan mulai menghibur saya dengan temuan mengejutkan di hari terakhir sebelum saya pulang. Di suatu bukit, secara tidak sengaja saya melihat gerakan raptor melalui kamera. Ketika saya ambil fotonya, sangat mirip dengan Elang Jawa. Jumlahnya tidak satu, melainkan dua ekor sekaligus! Malah yang seekor nampak seperti individu muda. Whoow, air muka saya begitu gembira. Ketika selesai berdiskusi dengan Mas Puji, saya langsung menyalaminya. Tidak disangka, buah  kerja keras selama 4 hari itu terbayar sudah. Bahkan temuan ini dikuatkan oleh rekan-rekan yang meneliti elang endemik ini lebih jauh... syukurlaah.. Belum lagi bonus dari Tuhan, yaitu temuan Rangkong Badak (Buceros rhinoceros) di area sekitar lokasi temuan Elang Jawa. Burung yang saya pikir hanya mitos di Bandealit ini ternyata muncul, bahkan dengan pasangannya. Whoow... benar-benar perjumpaan pertama bagi saya untuk burung raksasa ini. Siapa sangka dua penemuan penting ini terjadi dalam hitungan jam sebelum saya beranjak pulang? Selain itu, banyak foto spesies yang mulai terbaharui lagi setelah trip saya ke Bandealit ini. Kabar bagusnya yang lain adalah Balai menerima banyak sekali alat dokumentasi. Artinya, temuan-temuan yang selama ini tanpa terdokumentasi, sekarang akan lebih reliable dengan alat dokumentasi yang maaknyuss...  :D

Jika saya boleh berbagi kepada sodara-sodara sekalian, bahwa Tuhan itu sangat baik, adil, tur Maha-Sayang kepada kita. Ora bakal ngapusi seperti calon-calon anggota legislatif yang fotonya mulai memenuhi perempatan jalan, dan selalu up-to date tentang kabar kita, alias Maha-Pirsa. Sory bro, Beliau beda dari tokoh-tokoh politik yang notabene penuh dengan kekhilafan. Pokoke percaya saja. Beliau tidak akan pernah menutup telinga, walaupun terhadap keinginan atau isak tangis yang kita bisikkan di dalam hati. Daaan, sekali lagi, Tuhan juga akan mengingatnya.. Artinya ketika kita tidak diberi, mungkin ada saat dan jumlah takaran yang tepat untuk itu diberikan. Mangkane, hayok podo semangat, dan jangan putus asa :D

Si Supri dan jalanan Aduhay di depan Blok Krecek
Target utama : Elang Jawa dan anaknya! (lokasi masih dirahasiakan)
Individu muda Elang Jawa
Si Rangkong Badak melintas dengan berisiknya. But, nice to see you, guys.. :)
Ah, daripada ga dishare, hehe : Kekep Babi (Artamus leucorynchus)

Si Cangak Merah (Ardea purpurea) yang keep silent

Kamis, 05 Desember 2013

Gelar Foto Konservasi : Yang penting blusak-blusuk! (Part II-end)

   Alkisah ketika acara ini memasuki waktunya, terkumpulah 31 orang yang bersiap dengan gear masing-masing untuk hunting foto. Meskipun kawan-kawan paling jauh sudah datang semalam sebelumnya, tapi nyatanya mereka masih punya balung enom! Terbukti ketika diuyel-uyel  di truk pengangkut sapi, mereka masih happy-happy. Bahkan, para bioder yang juga spesialis pencuri buah ini tak henti-hentinya memanen semua buah yang mereka temui di pinggir jalan, mulai pencit, jambu, dan rambutan. Untung saja mereka tidak mengangkut kelapa, jagung, tebu, atau durian. Khayal memang menurut saya. Tapi saat saya konfirmasi kepada salah seorang peserta yang saya rahasiakan namanya, ia hanya menjawab : "Kadohan mas, ora sempat njupuk..." Wih, wedan tenan... tentu saja saya menggumam sambil mengunyah pencit  :D
   Saat truk memasuki kawasan Meru Betiri, satu kesan yang saya tangkap adalah mereka tidak punya pantat cadangan karena perjalanan ini membuat pantat menjadi luka dalam, tergores-gores bak truk. Yah, mungkin dengan ini mereka sadar bahwa salah satu 'keunikan' Meru Betiri adalah akses masuknya yang sedikit 'mahal'. Yapp, terbatas dengan jenis kendaraan tahan banting, jaraknya yang jauh, dan juga biaya yang tidak sedikit membuatnya nampak terisolir dari dunia luar. 
   Masuk gapura Bandealit, mata saya ngelayap-layap tidak jelas. Sebenarnya bukan saya saja, tapi kawan-kawan yang lain sedari masuk kawasan sudah terlebih dahulu jelalatan, hehehe.. Namun, jelalatan saya berbuah manis, nampak bunga-bunga kuning ranum mencuat dari batang pohon jati yang tumbuh tidak jauh dari kantor Resort Bandealit. Itu pasti anggrek.
   Nah, beruntung sekali ada seorang 'yang-tahu-banyak' tentang anggrek di acara ini. Sebut saja dia Lutfian Nazar. Orang yang mukanya mirip dengan Eyang Subur ini sedang mengoleksi foto-foto anggrek di Gunung Ungaran, Jawa Tengah. Dan seperti dugaan saya, tanpa cang-cing-cong setelah melepas ranselnya, ia langsung mengikuti saya untuk ditunjukkan lokasi anggrek tadi. Makin lewat gerombolan kawan lain, eh, makin besar jumlah orang yang ingin moto anggrek.Padahal, tidak ada kategori foto flora di lomba ini.
   Anggrek-anggrek itu tumbuh cukup jauh dari jangkauan makro. Namun, akhirnya, salah seorang peserta malah menemukan mereka tumbuh di kayu roboh yang cukup mudah dipanjat. Sayangnya, ia tepat di atas sarang semut. Hanya 3 orang yang sanggup menahan rasa gatal akibat digigit semut. Bahkan, salah seorang peserta yang berinisial 'BH' alias ' Bayu Hendra', mengaku digigit semut hingga ke dalam celana dalamnya. hahaha, can you imagine that? modharo kon!

Banyak Mata, Banyak Rejeki
   Dalam hari-hari yang penuh bahagia itu, rupanya dalam kamera beberapa peserta terselip sebuah foto menarik. Apalagi kalau bukan si mitos Burung Pancasila : Elang Jawa! Awalnya saya tidak yakin ketika salah satu guide yang menemani mereka, Mas Alif, bercerita kalau segerombolan tukang poto mendapatkan foto yang disinyalir sebagai Elang Jawa. Baru setelah bertemu di wisma, ternyata beberapa peserta, yaitu Mas Heru, juga Mas Eko, berhasil menjepretnya. Dan... setelah didiskusikan, akhirnya deal... itu adalah seekor Elang Jawa. Suatu temuan yang mengagetkan karena selama ini belum pernah ada kabar maupun catatan tentang elang endemik jawa ini.
   Bagi saya, ini adalah sebuah tamparan. Yup, jelas, memang jika kita bicara keterbatasan, tentu tak kan ada habisnya. Apalagi saya dan kawan-kawan baru sebulan lalu mengadakan raptor watching di Sukamade dengan hasil yang kurang menggembirakan. Lagipula, kawan-kawan PEH nyatanya selalu mengadakan monitoring secara berkala. Lha mereka ini (peserta GFK) datang dalam waktu hanya sehari, lalu berhasil menjepret... Elang Jawa lagi. Sungguh terwelu, hehehe...
   Tapi apapun lah, memang keberuntungan itu datangnya dari Tuhan semata. Beliau sudah mengkode elang ini untuk muncul di area Bukit Sodung, mungkin supaya kami terbuka mata dan hatinya, bahwa tiap seluk TNMB harus kami kenal dengan baik. Yap, dengan demikian, Beliau mengisyaratkan agar terus menjaga keberadaan berbagai jenis hewan dan tanaman itu, terkadang harus mengabaikan harapan akan dana yang menetes dari langit-langit birokrasi. Niscaya, tanaman, hewan, dan segala makhluk di dalam hutan akan mendoakan para PEH, polhut, penyuluh, staff, hingga tukang sapu agar mendapatkan kebahagiaan dan kehidupan yang berkecukupan jika kita bekerja dengan sungguh-sungguh dan hati yang gembira :)

Terima Kasih peserta GFK sekalian... terima kasih sudah sudi mampir di Meru Betiri :)
Foto bareng sebelumberangkat ke Bandealit
Tidak masuk kategori penjurian? Cuek sajaaa... yang penting blusak-blusuk.
 Acara hunting foto malam
Menjarah hasil pekarangan warga :D
Peserta Gelar Foto Konservasi dalam formasi lengkap

Sabtu, 30 November 2013

Gelar Foto Konservasi : The Turning Point of Meru Betiri (part I)

    Suatu saat di hari Jumat, tidak biasanya saya mengunjungi 'rumah' Balai TNMB di jl. Sriwijaya, Jember itu. Rencananya, saya hanya ingin mengecek data-data lawas tentang penelitian-penelitan satwa di TNMB. Tentu saja jauh dari tujuan 'pintar' yang mungkin anda pikirkan sebelumnya, hehehe... saya cuma... bosan di rumah dan menghindari piket mbersihkan pot bunga yang sakabreg di rumah, huahaha... 
Kebetulan orang kenalan saya yang baik hati, sekaligus menjabat sebagai kooerdinator PEH, ada di tempat. Namanya Mas Alif. Beliau ini saya tunggu di ruangannya kurang lebih 15 menit. Entah kemana, tahu-tahu ia njedul dengan sebuah poster berjudulkan "Gelar Foto Konservasi". 
"Nhaaah... iki koreksien sek" katanya,
   Sambil mengesampingkan tujuan awal, saya kemudian memperhatikan bentuk acara, tanggal, judul, lalu semakin tertarik ketika melihat besaran nominal yang tertera: Rp. 1.700.000 !!! itu hanya untuk juara 1, sedangkan juara 2 dan 3, masih berkisar dengan huruf "juta". Wheladah, aku yoo gelem iki...
Saya sama sekali tidak berminat untuk menjadi bagian dalam panita yang ngurusi barang-barang seperti ini. Wes katog aku... gah, Namun yang menarik, adalah saya berpikir, agar jangan sampai momentum langka ini hilang begitu saja. Apalagi nilai-nilai rupiah yang telah saya sebutkan menguap.. whuzzz.. Langsung saja dengan spontan, saya menyatakan untuk membantu mempublikasikan lomba yang dibatasi untuk 30 orang ini, meskipun bekerja di luar panitia tentunya. 
   Yang saya pikirkan pertama adalah nama Meru Betiri sebagai Taman Nasional terluas di Jatim ini. Hampir semua dari orang mbolang yang pernah saya kenal tidak tahu tentang nama itu. Bahkan, hanya sedikit yang mengetahui dan mengunjungi tempat tersohor seperti Teluk Ijo dan Sukamade. Well-geduwelll, ini benar-benar kelewatan. Padahal nama-nama itu begitu terkenal di antara turis mancanegara. Jika bule-bule itu banyak mengunjungi Plengkung di TN Alas Purwo pada musing-musim ombak surfing, maka hampir pada semua musim mereka wajib hukumnya mampir ke Sukamade. Bahkan, puluhan hotel yang ada di Kabupaten Banyuwangi, Jember, dan sekitarnya, mengagendakan 'mampir massal' ke Sukamade, yang notabene merupakan andalan wisata Meru Betiri. Jadi, kalau kawan Endonesah yang terdiri dari pengamat burung, reptil, bioder, dan tukang ilmu kere lainnya malah belum mampir? itu keterlaluan! Harus dirubah... 
   Kembali lagi ke dalam acara lomba tersebut, saya melirik acara ini sebagai momentum yang benar-benar baik. Meskipun dikategorikan untuk umum, namun saya lebih mengabarkannya kepada bioder-bioder muda yang selama ini mempunyai jiwa petualang yang haus akan ilmu. Selebihnya tentu terhadap komunitas-komunitas fotografi wildlife (cenderung bukan indoor). Saya kenal betul watak mereka meskipun sebagian baru pertama kali saya lihat wajahnya pada acara ini (temen pesbuk bro, hehe). Artinya, mereka mengenal apa yang mereka lihat dan apa yang mereka foto di lapangan, jadi terlepas dari esensi utama fotografi yang mengutamakan keindahan objek di LCD kamera, mereka juga dapat membantu Meru Betiri untuk berburu data Kekayaan Hayati (Kehati) yang selama ini hampa. Yapp, mau tidak mau, saya dan kawan-kawan harus mengakui, selama ini SDM menjadi permasalahan utama dalam pengumpulan data Kehati di lapangan. Please, i won't talk about plants, just animal. Itu saja ketika dipilah-pilah, digabung dengan data pengamatan pribadi, dan catatan-catatan lama yang reliable, akhirnya membuahkan angka-angka yang jauh dari harapan. 
   Belajar dari masa lalu yang kelam ini, sekali lagi saya membulatkan tekad untuk mengundang para bioder.fotografer alam, dan pecinta alam (yang beneran), yang haus akan ilmu itu untuk datang. Kesan-kesan mereka nantinya akan saya tuliskan di bab berikutnya. Sebagai penutup, saya katakan sekali lagi bahwa ini adalah the turning point, sebuah titik balik dari diamnya Taman Nasional Meru Betiri ini. Mulai saat ini, data-data yang reliable akan disusun untuk membangun nama Meru Betiri sebagai empunya database Kehati terlengkap. Kita harus yakin itu!


Kamis, 14 November 2013

Status Quo : sebuah portal masa depan

Status quo itu adalah dimana ketika suatu pemasalahan mandhek, alias berhenti. Misalnya ketika Indonesia sedang dijajah Jepang, tapi ternyata Jepang kalah. Nah, saat itu, Jepang sudah tidak punya hak memimpin, namun Indonesia belum punya pemerintahan. Belanda sendiri masih baru 'melek' dari jajahan Jerman. Tidak ada yang memimpin, akhirnya Indonesia disebut sedang dalam masa status quo, alias kosong.

Manusia juga dikaruniai status quo. Pernah anda merasakan peralihan identitas anda? Biasanya, yang sering dikenal dalam fakta-fakta simple : Berganti pacar lama dengan yang baru; sekolah dari SD beranjak ke SMP, lalu dari bujang menjadi seorang suami atau istri. Ke-simple-an ini rasanya tidak serta merta benar-benar simple. Orang perlu mempersiapkan 'pendanaan' untuk beralih ke identitas baru yang harus dialami. Paling tidak, bukan nilaian rupiah, tapi juga hati dan kemantapan pribadi.

Status quo memiliki peranan penting dalam mengadaptasikan diri kita terhadap perubahan identitas itu. Ibarat kepompong, ia telah berjasa dalam mentrasformasikan bentuk hidup yang lebih baru, bahkan benar-benar baru. Jadi kekosongan yang harus dijalani manusia itu memang harus benar-benar terjadi!

Sebagai sebuah peristiwa penting, akhirnya status quo dirasa berdampak besar dalam identitas baru yang akan ditempuh. Tidak jarang, menjalani status quo adalah sebuah ketakutan tersendiri. Ada yang menjalaninya dengan ala kadarnya, berdiam, dan akhirnya jalan kehidupan berikutnya pun berubah...menjadi lebih buruk. Segala yang ia mimpikan tenggelam. Namun, banyak pula yang bijak memanfaatkan status quo ini dengan penuh gairah : evaluasi apa yang telah ia lakukan, dan mengerjakan apa yang ia bisa, sembari terus-menerus berserah di Tangan Tuhan. Yap, saya pikir, opsi kedua adalah yang terbaik untuk dilakukan.

Belajar menjalani status quo, akhirnya harus kembali kepada sebuah metode kuno : sabar. Kesabaran juga berarti ketika kita melakukan sebuah hal paling simple (atau rendah?) di antara kalangan yang pernah mengenal kita. Kesabaran juga berarti ketika kita terus bertekun, menunggu, dan berdoa. Kesabaran juga berarti ketika bekerja semampunya dalam menyelesaikan segala permasalahan yang ada di sekitar kita, walaupun bukan deskripsi tugas yang tertanam dalam otak kita. Kesabaran juga berarti ketika kita akhirnya duduk, diam, dan memikirkan betapa besar kuat tangan Tuhan dalam menolong kita di masa lampau, dan nama besar-Nya untuk terus kita percayai di masa yang akan datang.. amin.


Selamat menjalani status quo.

Minggu, 13 Oktober 2013

Melawan Ragu di Kupu-kupu Malang Raya (edisi nulis ngasal)

   Meskipun sudah banyak tidak ada di malang, tapi saya tetap ingin mewujudkan cita-cita untuk mengabadikan hasil jalan-jalan saya. Apalagi kalau bukan tentang kupu-kupu? catatan harian sudah punya, tabulasi oke,  foto-foto rasanya sudah cukup, identifikasi lanjutan.... ada mas Wafa (kapok koen, hehe, piss). Hanya kurang satu sebenarnya, niat... nah ibarat tangga, mas niat ini sedang memegangi tangga ketika kita sedang mengerjakan sesuatu di tempat yang lebih tinggi dari lantai. Lhah, kalau mas niat sedang garuk-garuk pantat, tanpa menunggu waktu lama, kita langsung ngglundhung ra karuan. Apalagi saat kita di bawah, ada bagian yang sangat sakit, namanya percaya. Lhoh? yap benar sekali, artinya anda akan mengalami keraguan kronis akibat kerusakan percaya, yang bisa-bisa, membuat anda diopname. Lama sekali pekerjaan itu akan tertinggal menunggu anda sembuh. 
    Mungkin ya begitulah saya. Sekitar 2 bulan mengalami opname, akhirnya pekerjaan nulis buku-tanpa-mikir dari seorang-keranjingan-moto ini dilanjut. Ada beberapa yang berubah, ada bebeberapa yang tidak. Awalnya, ini adalah sebuah bentuk kerinduan untuk mengabadikan hasil jalan-jalan saya dan Faldy di sekitaran Malang. Ah, semuanya hasil jerih payah yang isinya cantik-cantik dan bohay, memang layak untuk diabadikan. Belum lagi pengetahuan kami dan orang di sekitar kami yang masih nol terhadap kupu-kupu, membuat kami makin gatal-gatal untuk meniati-niatan ini mulai awal tahun ini. Semoga saja terus terwujud. Kami hanya bisa bermodalkan dengkul dan kesabaran, serta kepercayaan kepada Tuhan. Yupp, hanya dengan percaya kepada Dia saja yang membuat upah pekerjaan ini menjadi layak dan semakin besar.  ... :)

Sheet yang baru dikerjakan hari ini setelah 2 bulan vakum. Nampak gerakan kupu sudah tidak ada lagi, karena sebagian jenis dalam data sulit ditemukan literaturnya, sehingga diputuskan untuk menghilangkannya. Mungkin nanti ditambah dengan perbandingan ukuran dan untuk beberapa jenis yang dibutuhkan detail khusus identifikasi, perlu ditambah halaman khusus yang baru. Ada ide segar lagi?
Sheet yang dikerjakan pada awal agustus. Untuk format sheet marga masih digunakan seperti gambar.


Ukuran A5, beberapa foto capture untuk jenis yang memiliki upperside sulit dilihat. Nama lokal dibuat, juga dalam tingkat 'akar rumput', untuk mengenalkan jenis invertebrata ini kepada masyarakat lokal maupun secara luas (semoga bisa). Much inspired by Naga Terbang Wendit : a book of IDS


Much more notes for Malang-Raya: vegetation and its ecological problems. The serious factors that influence a conservation for butterfly, and will be added by another important issues.

Senin, 23 September 2013

Capuuunggg.... tidaaaak.....!


   Mungkin saya termasuk orang yang 'agak alergi' dengan kata-kata pengamatan capung. Beuh, kok bisa? yap... saya sebenarnya merasa agak malas untuk mengeidentifikasi jenis-jenis anggota ordo Odonata ini, masih merasa sulit. Alasan kedua tentu saja.... saya takut air. hehe, apalagi hewan ber'buntut' panjang ini banyak sekali main di air-air. Lagipula, saya termasuk orang yang telat terinfeksi virus pengamatan capung yang sudah disebar oleh kawan-kawan Indonesia Dragonfly Society (IDS), bahkan, meskipun mereka mengawali karirnya yang luar biasa di Kota Malang, tempat saya selama ini kuliah. Saya heran, mereka kok mau ya, bawa jaring serangga, pakai celana pendek, moto capung, apa  ga ada kerjaan kali ya? (padahal, saya berucap sambil bawa jaring kupu-kupu, wkwkwk).
   Alhasil, ke-dengki-an saya terhadap hewan yang satu ini harus diuji di pertengahan bulan September ini. Pasalnya, ketika saya enak-enak menikmati pertunjukan karnaval di depan rumah, lha kok hampir ditabrak 'benda-putih' yang terbang cepat sekali. Hanya sekilas, kemudian menghilang. Asyem, mungkinkah itu si capung Putih alias Zxysomma obtusum? Hehe, saya sedikit ngerti, karena teman kuliah saya sempat cari-cari capung ini sebagai bahan Tugas Akhir (TA). Namun, namanya juga ogah, ya sudah, saya masih malas ngejar. 
    Esoknya, lha kok capung putih ini ketemu di kebun salak belakang rumah. Sehari berikutnya juga. Capung yang punya kebiasaan keluar di sore dan pagi redup ini benar-benar gemar bertengger di rumpun salak yang gelap. Saya ambil kamera saya, dan langsung jepreet-jepreet... Tiap jepretan, saya berhenti untuk mengaguminya. Hwaduuh, kamu kok keren sekali seh? warnanya perak, kontras sekali dengan lingkungan yang gelap. Tiap jepretan selalu mengandung penasaran. Langsung saja saya tanya ke kawan saya yang pernah meneliti hidup Zxysomma obtusum ini. Wah, ternyata, hewan ini cukup jarang ditemui, terutama di wilayah-wilayah tertentu. Lagipula, tentang si 'putih' ini, masih banyak tidak diketahui. Mungkin, inilah yang membuat saya agak menyunggingkan senyum..."ternyata, kamu unik juga..."

Bagian atas Capung Putih

Bagian bawah

Bagian samping


Rabu, 18 September 2013

Sebut saja kami pekerja (Gacorane Sie Konsumsi PPBI : selesai)

"Ini unik saudara-saudara... Anda ada di sini 4 hari, tapi diberi makan 3 kali, tidur di lantai, kedinginan, berangkat naik truk, bahkan kalau mau bikin kopi, juga buat sendiri. Selain daripada itu, semuanya itu harus anda bayar....Ada tiga kemungkinan mengikuti PPBI 2013 ini:
1. Anda sudah ditipu panitia,
2. Anda memang mudah ditipu, 
3. Anda benar-benar tulus untuk datang bertemu di PPBI 2013 ini."

... begitu mak degg saya pribadi mendengar perkataan dari Mas Swiss, salah seorang pengisi acara di tempat ini. Memang, mungkin maksudnya adalah mengkritik secara halus, atau memang niat dalam mengisi acara serius malam terakhir itu, ia memilih satu 'isu seksi' untuk memulainya, alias guyon belaka. Bukannya bagaimana, tapi kami dari panitia sudah berbisik-bisik tidak enak dalam hal-hal yang sudah disebut di atas, bahkan sebelum mulai acara ini. Kekhawatiran tentang masalah dana mungkin lebih enak tidak diceritakan. Intinya, banyak hal dalam persiapan ini tidak berjalan mulus, sehingga untuk 'memotong dana', semua acara di-sumpel-kan di Cangar, dengan segala fasilitas yang rekoso temen...
   Mungkin, di sinilah, saya pribadi harus mengangkat semua jempol yang saya punya untuk barisan panitia yang bekerja dengan sangat keras. Segala keadaan yang tidak enak, 'harus' dibikin enak. Dari perlengkapan, barang-barang wajib-cangar seperti alas tidur (tikar, karpet), juga perangkat kelistrikan, diusahakan sebisa-bisanya. Entah, usaha jungkir-walik model apa, sehingga semua barang-barang itu terkumpul, yang jelas, dengan senyum mereka selalu laporkan: "beress mas bro". Dari transport, tiga orang lelaki yang disibukkan dengan urusan ngojek peserta. Yapp, inilah yang terberat dari yang terberat, alias yang kasar dari yang kasar. Mulai dari disibukkan urusan jemput peserta dari luar jawa, hingga medan Cangar yang berbahaya ketika malam hari, apalagi jika setelah hujan. Kabut tebal membuat jarak pandang hanya berkisar 2 meter, dan dalam keadaan inilah mereka bekerja. Bahkan, salah seorang anggota dari mereka harus tumbang karena kedinginan berat di malam terakhir, salute... 
   Ada beberapa sie-keputrian yang ada di sekitar saya, hehe.. eits, jangan berprasangka apa-apa dulu, tapi mereka inilah yang secara langsung menjadi 'tangan kanan' saya. Mulai dari konsumsi, kesekretariatan, hingga acara, langsung di-embat saja. Mungkin, mereka inilah yang selalu saya cari untuk berdiskusi dan memutuskan sesuatu. Saking sibuknya, mereka pernah menghela napas saat saya harus memanggil mereka waktu bangun pagi, hehe... 
   Saya menyebut mereka adalah panitia terbaik, karena banyak sekali alasan, tapi satu hal yang perlu saya bocorkan... mereka tidak pernah saling lempar tanggung jawab, saling tuduh, atau saling-saling yang lain, yang bersifat jelek. Kalaupun ada, mungkin ya dari saya, hehe... Saking sopannya, mereka selalu tidak lupa menambahkan kata "tolong" tiap ingin yang lain melakukan sesuatu. Atau tiap sms, tidak pernah lupa emote senyum atau ketawa, atau bahkan diimbuhi "hehehe".
   Tidak ada kerja keras yang tidak membuahkan hasil, mungkin itu yang saya yakini secara pribadi. Saya ndak ngerti, apa yang ada ada di benak para peserta tentang berbagai kekurangan di PPBI 2013 ini. Baik atau buruknya, lebih atau kurangnya, kami hanya bisa bekerja dan bekerja saja. Mungkin lebih tepatnya, kami ini adalah pekerja. Tentu, kami sangat bahagia jika PPBI 2013 ini menghasilkan buah-buah yang manis. Salah satunya yang paling manis adalah adanya kejelasan bersatunya ouput pengamatan burung dalam skala nasional! Kita tidak lagi bicara daerah, komunitas atau instansi. Sekali lagi, kita semua akhirnya bersama-sama menyingsingkan lengan baju, untuk tujuan bersama. Macam sumpah pemuda saja, hehe... Outputnya adalah Atlas Burung yang mulai digarap konsep fisiknya. Database dengan sistem online akan mempercepat dan mempermudah pihak pengamat yang meng-upload datanya, atau dari pihak yang membutuhkan ingin mengakses. Saya hanya membayangkan, jika output ini berhasil, maka progress kemajuan pengamatan burung akan benar-benar nyata, cepat, transparan, dan skala besar brooo... Memang tidak dipungkiri, jika ini mungkin awalnya hasil ide dari beberapa orang saja. Tapi saya pribadi, mengakui ini adalah brilian.. hm, 
     Aah... saya mulai bingung untuk merangkai kata lagi, untuk menceritakan banyak hal tentang PPBI 2013. Mulai dari tamu-tamunya, pengalaman-pengalaman kocak, atau dari acara-acara yang ada, tentang jajak pendapat kelangkaan burung, kabar pengamatan burung di daerah, waaah... saya makin bingung. Yang jelas, semua peserta sudah damai di kotanya masing-masing, dengan kegiatannya masing-masing, dan hidupnya masing-masing. Namun, semangat untuk bersatu, kiranya tidak ditelan oleh waktu. Pun satu hal yang paling penting, output yang pondasinya dibangun di masing-masing daerah, tetap harus dilakukan. Tak ada waktu istirahat rasanya untuk dunia pengamatan burung Indonesia yang lebih baik. Bagaimana lanjutannya? yang jelas, persiapkan data-data pengamatan burung anda dengan rapi, karena sudah pasti, data tersebut akan turut membangun program nasional ini. 

So, sampai jumpa tahun depan. Bersamaan dengan ulang tahun PA Haliaster, Undip, kita akan bertemu di PPBI 2014, Semarang. 

Sugeng Rahayu,
Sukses Selalu.

Selasa, 10 September 2013

Warnet Bebas (Gacorane Sie Konsumsi PPBI : part II)

   Warnet apa yang bisa kongkow dari siang sampai malam, bisa bikin kopi dengan kompor lapang, dengan tiduran maupun ngobrol serius??? dan, ditambah lagi... gratis. Apalagi kalau bukan kaaaampuuus... yepp, kampus Universitas Brawijaya, lebih spesifik lagi gazebo depan biologi, adalah tempat paling indah dalam menyusun acara PPBI 2013 ini. Mungkin, inilah satu-satunya jasa almamater saya dalam mendukung acara ini :D
   Tidak ada agenda khusus untuk kumpul bareng bertajuk rapat ini. Tiap anggota melakukan tanggung jawabnya sebagai 'pelancar' mencari sponsor, mbuh dia sie apa. Selagi kerja untuk mencari yang namanya duit, usaha publikasi terus dikipasi. Segala kesaktian merayu-rayu calon sponsor digunakan. Segala daya-upaya nggedabrus sudah digunakan. Apa yang bisa diusahakan, yo weslah, dikerjakan. 
   Lama-kelamaan, ketemuan-ketemuan semakin meningkat. Awalnya, ketemuan yang hanya dilakukan 1-2 minggu sekali untuk melaporkan progress, dan membahas langkah ke depan, semakin lama, hanya dapat jeda 2 hari, atau bahkan 1 hari. Ke-ribet-an, berlalu dalam hari-hari panitia. Syukurlah, sebagian besar ada dalam keadaan libur. Kawan-kawan Universitas Negeri Malang (UM) memang kebanyakan PKL (Praktek Kerja Lapang), termasuk salah satunya posisi vital: sekretaris dan bendahara. Wealah, untung yang bendahara PKL di malang saja. Kawan-kawan dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang banyak menempati bagian teknis, malah praktek mengajar... ampun. Berbagai kerjaan akhirnya terpaksa dirangkap-rangkap, ditekuk, diemplok sama-sama. Pokoknya, panitia tiba-tiba jadi multitalent lah... hehe,
   Semakin dekat, napas panitia makin kembang-kempis. Mbuletnya uang setan (karena adanya cuma angka), juga harus ditambah dengan onlen yang tiada henti. Jika pembaca melihat sarana publikasi acara yang selalu online (OL), itu dikarenakan server digilir saja. Siapa yang bisa, ya OL. Nah, warnet bebas ini memainkan peran besar. .Mau ngenet sampai dhobos wudele ya ndak papa. Namanya juga bebas, orang bisa bebas komen kegiatan kami. Mulai dari sekedar bertanya : "rapat tah?" hingga tatapan aneh yang tertuju pada panitia yang selalu penuh dengan kelakar. Secara khusus, karena banyak staf, dosen, mahasiswa (adik kelas) yang kenal saya, selalu tertuju pada pertanyaan-pertanyaan berikut:: lho,kowe kok ra megawe?", "kowe kok ra sekolah?", atau yang sarkastik: "gunamu nang kene opo?". Pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa saya jawab dengan senyum simpul....Saya yakin, tidak pernah ada seorangpun dari antara mereka bermaksud jahat atau saya yakin mereka hanya guyon semata. Mungkin juga ini menjadi pengingat, secara pribadi saya masih memiliki agenda hidup yang harus diperjelas. Artinya, PPBI bukan satu-satunya hal yang njlimet yang harus dihadapi: masih ada hari yang lebih rumit, dan hanya tunggu Tuhan menurunkannya untuk kita, sekaligus solusinya :D
   Kalau kami sumpek bahas kerjaan panitia, ya bahas sepakbola, tempat belanja murah, kuliner, pengalaman PKL, dan mungkin yang agak nggenah adalah jadwal pengamatan. Aah... berlama-lama di warnet bebas, membuat saya terkenang. Masa-masa dietrek-etrek, dianggap memiliki hidup nestapa karena tanpa status yang jelas (demikian tentunya dirasakan juga oleh para panitia lain). Wealaah... kapan kumpul di warnet bebas lagi? :)

Kamis, 05 September 2013

Angkringan Panas (Gacorane Sie Konsumsi PPBI : part I)

   Perkenalkan, saya adalah Sie Konsumsi sejati. Bukan karena pintar masak sehingga layak dijuluki Master Chef, tapi karena memang tukan ngempil makananan :D . Mungkin dari beberapa kawan sudah tahu tentang acara Pe-Pe-Be-I, atau lebih panjang lagi bernama Pertemuan Pengamat Burung Indonesia. Nah, di dalamnya saya sudah tersedot ke dalam lobang kepanitiaan yang kompleks dan mungkin tak sanggup diceritakan dalam dua episode sinetron. 
   Masih teringat jelas ketika beberapa anak malang diam di pojokan salah satu homestay Kaliurang, Jogja, pada tahun lalu, untuk mendengarkan celotehan para pengamat burung yang membahas banyak hal. Sekedar tersadar dari kantuk, nama-nama Malang tiba-tiba disebut-sebut. Lhoh-lhoh, apa ini? wealah, ternyata, mereka secara aklamasi memilih nama malang sebagai tuan rumah untuk PPBI tahun 2013. Sialnya lagi, arek-arek malang yang duduk di seberang (saya sendiri duduk di antara anak jogja, sendirian), malah ikut tepuk tangan sambil bersorak-sorai. Weh, pengkhianat ini namanya!
   Jadilah pada malam-malam bulan Maret, kami arek pengamat burung malang, yang lebih sering dicap :SERIWANG, menghabiskan waktu dengan berkumpul. Awalnya sih hanya ndobos tentang PPBI, terutama setelah ada susunan panitia. Sok ngerti masalah konsep, keblinger dengan masalah uang, weaaalaah... ketika dobosan kami sadari menghabiskan banyak konsumsi kalori, cafein, dan nikotin, akhirnya kami jadi ngantuk! Hoaahem.... malam-malam kelam tanpa hasil terus berlanjut. Mungkin, sekitar dua atau tiga minggu setelahnya, kami berhasil mengerucutkan sesuatu hal, termasuk pondasi penting dalam event ini: hubungi sebanya-banyaknya orang yang bisa mewakili, dan publikasikan segiat-giatnya. Masalah waktu, langsung kami tembak akhir agustus, padahal acara masih nol. Masalah wakil, keinginan kami hanya satu, yaitu membawa daerah-daerah itu untuk berbicara, menunjukkan eksistensi kegiatan pengamatan di daerah, dan tentu saja, kesan Java-sentris, atau bahkan Jogja-sentris, itu memudar. Dari sini kita harus tahu, bahwa keragaman informasi dari seputar nusantara masih perlu digenjot. Nanti bicaranya tentang apa? Saya hanya memberi satu kata : sembarang. Artinya, perwakilan nanti bebas berbicara tentang temuan baru, progress komunitas di daerahnya, kegiatan pengamatan, spesies-spesies yang menarik, atau apapun lah, selama temanya masih burung di daerahnya. Dari para panitia mungkin hanya bisa berharap, nantinya ketika mereka bicara, mindset para pengamat burung bisa terbuka, bahwa sebenarnya Indonesia itu luas brooo.... tidak tergambarkan ketika mereka upload foto atau info di facebook saja. Dengan membawa orang-orang asli dari daerah itu, niscaya, ke depan sharing informasi semakin akrab, lancar, dan makin kental nuansa Indonesia. 
   Nama-nama pun kami kantongi, semuanya dihubungi. Kriteria utamanya adalah: pengamat burung, termasuk kawakan, dan kalau bisa... muda. Oleh karena itu, banyak dari beberapa kawan perwakilan yang hadir merupakan anak gahoool. Hanya sebuah harapan, ketika yang muda-muda ini sudah benar-benar senior, mereka akan menggantikan nama-nama legenda yang sampai bosen didengar oleh kaum pengamat burung. Pondasi pertama digarap, lalu pondasi kedua juga akhirnya beranjak digarap, yaitu dana. Whealaaah, yang satu ini saya serahkan ke teman-teman yang lebih ahli (saya kan sie konsumsi). Yang pasti, jatuh bangun untuk sekedar mendapatkan diskon dan sumbangan barang itu susahnya minta ampun. Mungkin, memang benar kata Mas Swiss, kita itu tidak dikenal oleh masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan aneh mirip:"apa itu pengamat burung? atau, ini logonya burung apa ya?", selalu mampir di telinga. Weh-weh, belum lagi prediksi kenaikan BBM yang akan datang sebentar lagi, membuat kami mikir sampai uraten. Tak sanggup rasanya memutuskan kontribusi itu sebesar 150 ribu. Dhuh, meskipun mereka bisa nabung dulu toh, kami tetap penuh keterbatasan, tidak ada beking, dan sampai-sampai ndak enak tenan. Namanya juga sebagian besar calon peserta masih mahasiswa. 
     Dari sini kami benar-benar gelap. Apa yang bisa dikerjakan, langsung dikerjakan saja. Dua pondasi utama yang dikejar, tetap diimbangi dengan doa: mugo-mugo, nanti acaranya bisa benar-benar menjadi wadah pengayom, silaturahmi, dan ada sesuatu yang clear, dapat dihasilkan untuk masa depan pengamat burung di Indonesia. Angkringan Pak Klaten ini jadi saksi bisu anak-anak muda yang ngobrol ngalor-ngidul. Makin hari makin panas: panas kopinya, panas gorengannya, dan akhirnya... panas juga harganya setelah BBM harganya dinaikkan. Wheladalah, terpaksa angkringan yang jadi rumah kami selama ini, harus ditinggalkan pada bulan Juli itu... 

Rabu, 21 Agustus 2013

Ada apa di balik sebuah buku itu?


   Yang namanya buku, sejauh cerita, tentu memerlukan waktu, tenaga, pikiran dalam menyusunnya. Hal ini menjadi kisah tersendiri saat saya teringat kepada penyusunan buku pertama Zoothera yang berjudul: 'Burung-burung di Kampus Brawijaya' ini. Saya masih ingat ketika kami pada awalnya tidak pernah terpikirkan untuk membuat catatan, ataupun sebuah buku (najis tralala tenaan!). Yang kami pikirkan pada saat itu adalah: belajar burung, foto, dan tentu jalan-jalan. Sebagai mahasiswa biologi yang baik, tentu kami membuat kegiatan pengamatan itu sebagai sarana 'tempat sampah' kemuakan kami terhadap kegiatan kuliah dan praktikum yang padat. Lha kok ndilalah, timbul perasaan eman-eman di benak saya saat melihat foto semakin berjubel di harddisk. Apalagi, buku "Bird of Baluran"-nya mas Swiss masih anget-angetnya, sehingga membuat kami tambah semangat... 
"Lha, wong sak-Mbaluran ae manuk e dibukukne kok, la opo kok awak dhewe ra melu nggawe? Sopo arep nggegeri? (Lha, hanya Baluran saja burungnya dibukukan kok, kenapa kita tidak ikut buat? siapa yang mau marah-marah?)
   Akhirnya, terbawa nafsu muda, kami semakin santer berburu foto. Nah, ternyata, di sinilah keteguhan mimpi itu diuji. Baru kami sadar, pikiran koplak kami yang dibuai oleh kata : nggawe buku kuwi sepele, harus diralat dengan dua kata: ampuuun boss... 
   Mulai dari anggota pengamat yang semangat 45, kadang loyo, atau bahkan prothol kena jadwal kuliah, hingga masalah basis data yang kurang cermat.  Padahal, data itu adalah segala-galanya. Di sini mungkin terbukti pernyataan Pak Bas yang demikian : wong Indonesia itu budayanya adalah budaya ngomong, bukan nulis. Akibatnya, nyaris data-data pengamatan itu bablas jika tidak ada yang mencatat. Setelah dikompilasi, dasar data masih terus dibangun dengan berburu literatur. Nah, beruntung salah satu kakak tingkat mengambil skripsi tentang diversitas burung di Kampus Brawijaya, sehingga datanya pun dapat dijadikan perbandingan. Berburu data di komunitas lain, seperti pecinta alam UB dan ex-pengamat burung era 90-an, ternyata datanya sudah... hilang.
   Kesulitan berikutnya, tentu saja nulis. Nah, untuk yang satu ini, selain butuh ketelatenan, latihan dan sabar, mungkin beberapa orang percaya ini butuh bakat (saya sendiri ndak percaya). Masih ingat betul, malam-malam ndak bisa tidur di kost tempat KKN, saya ngetik pelan-pelan sambil ngantuk-ngantuk. Tulisan yang makin aduhay tidak karuan itu masih harus dikoreksi oleh orang lain. Saya ndak ngira, orang se-kaliber mas Imam Taufiqurahman masih mau ngoreksi tulisan saya. Apa ndak terharu sedih ya? :D
   Yang terakhir, adalah masalah penerbitan. Bersyukur tenan salah satu dosen menaruh perhatian besar terhadap kerja kami ini. Meskipun ia dan secara institusi tidak memiliki dana untuk membiayai percetakan, ia masih mau untuk membantu penerbitan isbn buku tersebut. 
   Saya kemudian mikir-mikir, apapun dan bagaimanapun, buku ini harus dibaca oleh orang yang membutuhkan. Jika harus menunggu perjuangan untuk mencetak, entah berapa lama lagi waktu yang harus dihabiskan, tenaga yang harus digunakan, dan darah (jerawat) yang harus diteteskan. Bukannya saya emoh atau kapok untuk berkecimpung di sana, tapi makin banyak pekerjaan yang menumpuk membuat tidak berdaya. Apalagi ancaman hengkang dari tanah malang semakin nyata saja. Belum lagi sebuah harapan untuk membuat buku ini gratis, tentu akan sulit didapat jika tidak bekerja sama dengan lembaga besar yang punya concern di bidang konservasi. Akhirnya, saya putuskan untuk membuat versi pdf yang bisa di-download oleh kawan-kawan semua. Semoga buku sederhana ini memberi manfaat bagi kawan-kawan semua. Maklum, kami pun memulai selangkah kecil dari ribuan langkah pembelajaran ilmu pengetahuan.

Kiranya dapat bermanfaat, 

penulis,


password: 12345


Senin, 05 Agustus 2013

Rahasia yang harus dibagi Part II : Orang mikir saya gila!!!

   Saya punya seorang kakak angkatan di tempat saya kuliah. Kakak angkatan yang satu ini sangat berkesan bagi saya. Bukan karena ia sekedar perempuan yang menarik, tetapi karena ia pernah melontarkan perkataan yang cukup keras kepada saya. Kejadian ini terjadi satu tahun lalu ketika saya berburu foto Celepuk Reban yang katanya pernah ditemukan di Hutan Mipa. Nah, memang sebelum janjian bertemu dengan Strix (panggilan untuk Adityas) saya sempat mencari-cari arah suara burung kecil ini dengan menyenteri Hutan Mipa. Lalu, ketika saya sampai di depan gedung jurusan, saya bertemu dengan beliau, dan terjadilah percakapan berikut:

Kakak kelas: "Aguuung... ngapain kamu malam-malam senter-senter di pohon-pohon???"
Saya: "ng..."
Kakak kelas: "Kamu sudah mirip orang gila yang ga ada kerjaan aja."
Saya: "hehe..."

   Memang, ini adalah salah satu hal yang membuktikan kalau banyak orang menganggap saya dan beberapa kawan telah menapaki jalan yang unik, dibilang aneh, atau jika lebih sopan: 'kurang populer'. Tapi bukannya berhenti, saya makin senang saja menggeluti dunia jepret-menjepret foto sambil jalan-jalan. Kalau tidak ada teman yang mau diajak jalan-jalan jauh, ya saya pergi berjalan-jalan di sekitar habitat saya, termasuk kampus ini. Nah, demikian juga terjadi saat harus mengamati geliat larva Euploea mulciber yang saya temukan. 
   Berbekal kamera, buku catatan, pensil, dan penggaris, juga dengan memakai seragam kebesaran: Kaos oblong, topi lapang, sandal gunung, dan tak lupa celana pendek (hehe), saya menyusuri jalanan kampus yang ramai, dan tentu saja ngetem di gapura jalan F. Pertanian. Beruntung terkadang Strix dan Aan, duo 'gila' saya, bisa menemani, tapi jika tidak, ya... sendiri saja. Bisa dibayangkan toh bagaimana orang-orang memandang saya? agak bagaimana gitu,, haha..
   Pengamatan dimulai dengan memotret telur atau ulat, saya kemudian menghitungnya. Tidak kurang dari 9 butir disebar di 5 pucuk Alamanda cathartica pada hari pertama. Pada hari berikutnya, nampaknya induk kupu ini menyebar lagi telurnya. Hal ini terlihat dari adanya telur-telur baru yang diletakkan diluar daun yang telah ditandai. Pun saya mengetahui sebuah fakta yang unik. Telur-telur ini nyatanya menetas kurang dari 24 jam! Begitu menetas, ulat-ulat kecil ini segera memakan cangkang telur mereka dan bergerak untuk mengunggis pucuk-pucuk daun. Terlihat permukaan daun muda itu mulai cokelat dan mengeriput. Berdasarkan literatur yang saya dapat, ulat-ulat mngeluarkan sebuah enzim pencerna untuk mempermudah mereka memakan daun. 
   Dua hari berikutnya, saya seperti biasa mengamati ulat-ulat ini. Wah-wah, ternyata mereka kedatangan tamu. Tamu asing ini nampak menusuk-nusukkan mulutnya yang berbentuk jarum pada telur-telur yang belum menetas. Tamu yang seperti alien ini dengan rajin juga mendekat pada ulat-ulat, entah apa maksudnya. Kami hanya bisa menduga, kalau tamu asing ini adalah sejenis parasitoid. Jika melihat-lihat literatur, memang mirip dengan tawon ichneumon, sang parasitoid larva sejati. Lambat-laun, saya tidak lagi menemukan banyak ulat-ulat itu. Ataupun jika ditemukan, letaknnya berada di daun yang cukup jauh. Nampaknya, mereka sudah menambah area jelajahnya. Selain itu, saya juga menemukan beberapa ulat mati. Wah, efek dari parasitoid-kah? Hasil yang kurang menggembirakan sebenarnya.
   Pada suatu hari pengamatan, ada sesuatu hal yang membuat saya bahagia. Bahkan, lebih bahagia daripada menemukan Euploea mulciber bunting ini. Bukan karena ulat-ulat itu ditemukan kembali, tapi ternyata beberapa adik kelas saya ngikut pengamatan! Terhitung 5 orang akhirnya nginthil karena penasaran akan larva-larva Euploea mulciber yang dikoar-koar oleh saya dan strix. Pada lokasi perkara, saya dan strix memberikan penjelasan dengan semangat bagaimana kronologi kejadian fase larva E.mulciber, dan dari mata mereka, saya bisa menangkap kehausan mereka akan ilmu pengetahuan. Bukan jenis ilmu yang dibatasi tembok-tembok otak praktikum, tapi benar-benar membawa diri mereka ke laboratorium alam terbesar di dunia. Tentu saja dengan alam yang selalu baik sebagai sang guru. Hanya 'ngedan' dan keluar dari tembok-tembok masif pikiran yang membuat kita semua semakin paham berbagai rahasia alam ciptaan Sang Khalik.
   Memang, mungkin jiwa-jiwa dan metode 'menggila' ini sudah cukup terkenal di kampus-kampus lain, tapi sayangnya, di departemen biologi almamater kami masih kurang. Sedihnya lagi, terlalu banyak SDM segar yang enggan berkarya, entah, macam-macam alasannya. Yang jelas, saya hanya bisa berdoa, agar saya tidak mendengar gerombolan anak-anak biologi ngobrol ngalor-ngidul atau menjelma menjadi satria bergitar tiap malam. Nakal itu boleh, karena saya sendiri merasa orang mbethik, main-main itu juga perlu.. Tapi kalau dibuat main-main saja, itu yang tidak boleh. Sebisanya, jangan sampai kita mendengar arek biologi bertanya-tanya: "apa yang bisa kuteliti?", sementara publikasi dari pihak asing terus menerus membanjiri kita.
   Baiklah, inti dari semua perkataan ini adalah, jangan ragu untuk berbuat sesuatu demi hal yang lebih baik. Jika boleh mengutip perkataan salah satu guru saya dari Gunung Baluran : bahwa sebenarnya manusia itu sudah diprogram software-software luar biasa di otaknya. Hanya bagaimana kita dapat mengasahnya. Saya karena bisa moto, nulis, maka saya membawakan kisah kelahiran Euploea mulciber ini kepada sampeyan-sampeyan yang membaca. Sampeyan tentu memiliki keahlian-keahlian macam-macam, entah di laboratorium dengan mikroskop, entah pinset dengan mencit, menggambar, melukis, menulis, memotret, jalan-jalan, berbicara, atau apapun. Yang sampeyan perlukan, adalah terus menerus mau tekun berkarya, agar rahasia-rahasia ilmu yang ada di depan mata, dapat diproses dengan bekal software made in Gusti Allah. Hasilnya, dapat dibagi bersama, agar semakin banyak orang-orang yang 'gila' akan kebesaran Tuhan, dan tentu saja, 'gila' akan kata-kata ungkapan syukur...

nuwun,

Telur Euploea mulciber


Ulat-ulat berukuran 1 mm, siap mengunggis daun muda


Parasitoid kah?

Predator

Alien yang lain, parasitoid juga?

Stix, sedang mengamati ujung Allamanda cathartica berkode 1





Jumat, 02 Agustus 2013

Rahasia yang harus dibagi (Part 1)

   Judul postingan saya kali ini benar-benar nggombal tenaaan... Sebenarnya, ini berawal ketika saya dan Strix sedang berjalan-jalan pengamatan biasa di kampus, pada tanggal 18 Juni. Mungkin, hanya sekedar menghilangkan penat berkutat di area indoor yang cupet dan sepet. Seperti biasa, track awal berkutat di sebelah gedung Fakultas Perikanan yang belum jadi. Daerah ini memang memiliki banyak tanaman-tanaman semak yang tumbuh di daerah terbuka. Kebetulan, banyak tanaman tersebut yang sedang berbunga. Suatu kesempatan yang menarik untuk berburu kupu-kupu, karena sinar matahari pagi juga sedang terik-teriknya. Pertunjukan pun dimulai... 
   Dimulai dengan Doleschlia bisaltide yang berjemur, Leptosia nina yang rajin mengunjungi bunga, dan masih banyaaak lagi. Nah, salah satu yang menarik adalah Euploea mulciber. Si kupu yang satu ini terlihat paling menawan dibandingkan yang lainnya pada saat itu. Karena bobotnya, saat hinggap pada bunga, dahan-dahan tersebut menjadi melengkung ke bawah. Seakan-akan ada pendaratan tangan-tangan tarzan yang bergelantungan dari satu tanaman ke tanaman lainnya. Belum lagi ketika hewan ini membuka sayapnya... Wuaaah, warna birunya gemerlapan memantulkan sinar mentari yang terik. Benar-benar seperti permata safir yang tanpa cacat!
   Nah, perjalanan terhenti sejenak ketika kami putuskan untuk beristirahat di rerumputan dekat depan Fakultas Pertanian. Dengan menikmati pemandangan hari sabtu yang libur, kami leyeh-leyeh di rerumputan, jan mirip wong ilang tenan. Nah, lho... ada seekor kupu yang terbang dengan begitu panik. Suatu saat terbang kesana, lalu kemudian mendekat. Gaya terbangnya juga seakan 'terpincang-pincang'. Wealah, ternyata dia Euploea mulciber betina... dan dia sedang mencari-cari lokasi bertelur. Nah, ketahuan ternyata, ia bertelur di balik daun pucuk Allamanda cathartica atau bunga terompet. Kami langsung mendekatinya, dan sang ibu kupu ini tidak terlalu mempedulikan kami. Tiap telur diletakkan terpisah, terkadang antar tanaman. Setelah beberapa kali dipotret, rupanya kupu ini pergi. Kamipun sepakat besok akan mengunjunginya untuk melihat keadaan calon anak-anak kupu ini. Bukan hanya besok, kami pun sepakat untuk menilik mereka tiap hari demi memuaskan dahaga penasaran kami. Rupanya, awal pertunjukan rahasia dari Tuhan sudah dimulai... 

Euploea mulciber jantan sedang berjemur

Euploea mulciber betina sedang meletakkan telur



Rabu, 24 Juli 2013

Mud-puddling : upacara pungkasan kangge kupu wadon

- Saderengipun, kulo nyuwun pangapunten tumrap pamaos, amargi nulis bab niki ndhamel basa jawi. Tujuanipun namung nguri-uri kabudayan jawi ingkang sampun wonten salebeting rah kula lan sampun dados kewajiban tumraping sedaya tiyang nem Indonesia amrih sami-sami nguri-uri basa daerahipun piyambak-piyambak -

   Kapethik saking tontonan TV ingkang kula tingali kalawau, wonten bab ingkang narik kawigaten kulo, yaiku bab "mimpi sebelum kematian". Saking mriku, kula kaengetaken bab ingkang sami inggih kalampahan dening salah-satunggile mahkluk ingkang naminipun kupu-kupu. Lha kok ngoten? Nyatanipun, kupu-kupu sampun dhangu disumerepi gadhah nyawa mung sakeplasan mawon. Menawi sampun rampung tumindhake bab reproduksi, anggota ordo Lepidopera punika sami pejah, ninggalaken anak-anakipun ingkang awujud larva (uler).
   Kalandhesan bab punika, kula pados bahan ingkang nuntun kula dhateng bab mud-puddlingMud-puddling, utawi penyerapan mineral punika fenomena penyerapan mineral dening kupu-kupu. Mud-puddling kalampahan wonten ing kubangan, pinggiripun lepen, kotoranipun rajakaya, lan sapanunggale ingkang ngandhut bahan-bahan mineral. Prastawa mud-puddling punika umumipun kalampahan dening kupu-kupu jaler. Wonten sawetara alasan punapa prastawa wau kadados:

1. Kupu jaler perlu mineral
    Kupu jaler perlu sanget nyerep mineral. Bab punika mbothen ateges kupu wadon mbothen butuh mineral. Kupu jaler ngluwihi kabutuhanipun kupu wadon amargi jarak jelajahipun luas lan mabur luwih kathah tinimbang kupu wadon. Mineral, umumipun natrium, tansah dibutuhaken dhamel aktivitas neuromuscular, yaiku proses penggerakipun otot swiwi ingkang dhamel mabur.
2.  Transfer mineral
   Kupu jaler badhe kelangan kathah mineral menawi kawin kaliyan kupu wadon. Prastawa punika kadados amargi kupu jaler mindahaken sawetara mineral dhateng kupu wadon. Mineral punika minangka 'bekal' ndhamel ndhog (telur). Kupu wadon sarampungipun ngendhog, umumipun kathah ingkang pejah. Umur kupu punika mbothen sami, manut kaliyan jenis spesiesipun piyambak-piyambak. Kupu jaler taksih saged gesang ngantos reproduksi ingkang kaping kalih utawi tiga, lan wangsul dhateng area mud-puddling supados nggantosi mineral ingkang sampun ical. 

Mula saking prastawa punika, kula saged nggambaraken mineral punika inggih hadiah pungkasan dhamel kupu wadon, lan mud-puddling punika inggih prastawa utawi fenomena ingkang sami kaliyan upacara kematian, ingkang saged kaladhosan kanthi endah manut kaliyan tata-aturipun Gusti. Mungguh Ageng Gusti Allah kita, ingkang sampun nyabda kupu-kupu, ugi prastawa-prastawa ingkang mboten saged mlebet dhateng nalar kita. 

nuwun, 

Prastawa mud-puddling dening Cyrestis lutea ing Coban Rais

Sumber rujukan:

Boggs, CarolL. dan Lee A.J. 1991. Mud puddling by butterflies is not a simple matter. Ecological Entomology (1991) 16, 123-127
Beck, J., Eva M., dan Konrad F.. 1999. Mud-puddling behaviour butterflies: in search of proteinsor minerals? Oecologia (1999) 119:140-148

Rabu, 10 Juli 2013

Bentet Kelabu dan Saktinya Libur Semester

    Bentet Kelabu (Lanius schach) atau yang akrab disebut penthet, cendhet, atau sebutan lokal lain, ternyata juga 'ditemukan' di Kampus Brawijaya. Walaupun burung ini oleh sebagian pengamat burung kampusan di-cap sebagai catatan ecek-ecek, namun betapa berharganya namanya di list Kampus Brawijaya. Nampaknya, burung ini tidak terima ketika namanya tidak disertakan dalam list burung-burung Kampus Brawijaya tahun 2013, sehingga mendadak seperti hantu, muncul. Berawal pada tanggal 22 Juni 2013, beberapa mahasiswa suka keluyuran (biar kelihatan sukses) ingin sekedar hunting foto kupu-kupu di Kampus Brawijaya. Sebut saja orang-orang macam Adityas Arifianto (Strix nebulosa), Faldy, Bayu Hendra, dan terakhir Arief Budiawan (Budhek, pacarnya sasha) bergabung dalam acara keluyuran ini. Dimulai dari penyisiran Gedung Fak. Perikanan yang setengah jadi, kami mendapatkan banyak foto-foto kupu yang sexy abis. Ditambah lagi hasil dokmentasi Klarap (Draco volans) yang seringkali cuma ngece ketika hewan ini serius dicari. 
Sendirian Saja, ada yang mau menemani?
   Penyisiran diperluas ke arah Glass house F. Pertanian dan kemudian masuk ke kebun percobaan. Nah, di sinilah sang Kuping Copet, Bayu Hendra mendengar suara Cendhet yang bertalu-talu. Setelah itu, beliau segera melihat burung dengan ekor panjang yang bergerak-gerak di rangka besi tempat penyimpanan tanaman. Memang dasarnya mata saya minus, saya selalu bertanya-tanya ke Bayu: "Endi seh...? Endi seh?". Rasa frustasi ini makin ditambah ketika di sebelah saya, Budhek, berkata dengan tenangnya: "oh.. kae toh...", lalu bergabung dengan Bayu untuk memotret. Siaaal.... saya yang terakhir belum dapat. Ketika kami makin mendekat, akhirnya burung ini terbang. Lhaah... syukurlah, ternyata tidak jauh-jauh, hanya mampir di cabang Trembesi bagian bawah. Akhirnya saya pun bisa ikut memotret.
   Menurut analisa pengira-ngira saya, memang burung ini adalah Bentet Kelabu muda. Bulunya masih njerabut alias kusam dan tidak rapi. Ekornya pun masih pendek. Nah, pertanyaan yang kemudian kami diskusikan hari itu adalah: kenapa, dan mulai kapan? Yap, Bayu sendiri mengira burung ini mungkin bukan lepasan. Saya pribadi tidak tahu alasannya apa, yang jelas, menurutnya, burung lepasan sangat mudah didekati dan ditangkap kembali. Selain itu, tentu burung ini hanya akan berputar-putar di sekitar rumahnya dahulu, bukan di semak-semak seperti ini. Lalu pertanyaan kedua coba saya cari jawabannya dengan membuka data-data tahun 2008,  nihil. Data pengamatan anak-anak zoothera pun tidak ada. Wah, semakin penasaran.... kok iso yo? macam hantu saja. 
   Belakangan, Adityas alias Strix nebulosa ikut nimbrung. Menurut pendapatnya, Kampus Brawijaya sangat ghoib bila liburan, entah Sabtu, Minggu, atau bahkan libur semester. Seakan-akan, hewan-hewan yang aneh-aneh dikeluarkan dari perut kampus yang super-sibuk ini. Hm, masuk akal juga. Kampus yang memiliki jumlah mahasiswa terbesar di Jawa Timur ini tidak heran akhirnya turut menyumbang penurunan habitat hewan di lingkungannya, ya secara kuantitas, ya kualitas Bahkan, kabarnya, dengan mahasiswa baru yang berjumlah 17.530 orang pada tahun 2012, membawa kampus ini menjadi kampus yang terpadat di Malang untuk sebuah luasan 58 ha. Nah, bisa anda bayangkan kan, betapa ramainya kampus kami ketika hari aktif perkuliahan. Sebagai gambaran, menyeberang jalan di kampus sangat susah. Bukan karena takut ditabrak oleh lalu-lalang kendaraan broo... (itu cuma no 2!), yang pertama adalah, tidak bisa melewati jajaran motor yang diparkir rapi! Seakan-akan, motor-motor tersebut menjadi pagar pembatas antara jalan aspal dengan trotoar, dan bukan hanya satu sisi, tapi dua sisi! Luarrr biasaaa....Apakah ada parkiran? oh, jelas ada, tapi akan segera penuh ketika jam menunjukkan pukul 07.00 WIB, sisanya... ya mblangkrak di pinggiran jalan seperti yang saya sebut di atas.
   Meskipun papan perlindungan hewan dipasang di seluruh penjuru kampus, tapi rasanya kami masih ketar-ketir juga. Pasalnya, beberapa satpam juga anggota kicaumania. Apalagi Bentet Kelabu merupakan salah satu burung kicauan favorit yang diincar, yaah... siapa tahu? Belakangan burung Bentet Kelabu yang kesepian ini masih sering nampak di kebun percobaan F. Pertanian. Mungkin hanya di sanalah ia bisa tenang dan sembunyi dari hiruk pikuk manusia dengan menelisik semaknya. Rasanya, burung unyu ini ingin saya bisiki: "kasihan kamu... sekecil ini harus hidup di tengah ganasnya manusia..."

Suasana Kampus saat Hari Aktif: Luar Biasa... !



Senin, 08 Juli 2013

Nyruput Teh Ala Wonogiri

   Wonoooogiriiii..... mungkin inilah teriakan saya ketika mulai berpikir tentang perjalanan kami di sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Tengah ini. Awalnya, saya tidak pernah terpikirkan seperti apa perjalanan atau tempat yang akan saya kunjungi ini. Hanya saja, bayangan saya : jawa selatan = kering, kapur (karst), panas, dan eksotis, just it! Keluaran hasil magang Adityas Arifianto (alias Strix nebulosa) yang memuat banyak sekali jenis burung air, pantai, atau burung 'aneh-aneh' di awal tahun ini sempat membuat arek zoothera untuk menyandang perjalanan bertitel 'ekspedisi'. Namun, belakangan anggota pelaksananya harus prothol satu per satu karena menanggung permasalahan birokrasi tingkat keluarga :D
   Mengambil setting waktu setelah Lomba Birdwatching Baluran, akhirnya saya dan Strix berangkat secara mandiri. Walau dengan badan pegal-pegal efek menginap di 'halaman belakangnya' Mas Swiss, rasanya semangat juga berangkat membayangkan seperti apa Wonogiri, atau target spesifiknya: Waduk Gajahmungkur. Perjalanan dimulai hari Senn malam (1 Juli 2013) dengan menggunakan bus. Dari Malang-Surabaya, perjalanan teramat lancar walau bus cukup padat. Nah, perjalanan Surabaya-Solo inilah yang membuat saya menggumam: aselole tenaaan.. Bagaimana tidak? Kami naik bus favorit Sumber Rahayu. Ia adalah salah satu 'anak' dari PO Sumber Group yang terkenal dengan kecepatannya. Naik bus ini serasa naik pesawat ulang-alik: gorden melambai-lambai, tas-tas bergeser-geser (otak-pun demikian), kening mencium bangku. Bahkan, ketika pukul 03.50 WIB kami sampai di Terminal Tirtonadi, Solo, rasanya benar-benar jetlag. Kaki saya bahkan membentuk huruf O seperti orang kena polio. Selanjutnya, perjalanan dilanjut dengan bus lokal ke Wonogiri hingga akhirnya kami datang dengan selamat pukul 06.30 WIB. 
    Tanggal 2 Juli tidak ada agenda pengamatan yang merujuk pada Waduk Gajahmungkur. Strix membawa saya (sesuai rencana) ke Gunung Munyuk pada sore hari. Gunung yang tersusun oleh batu ini merupakan salah satu bagian gugusan pegunungan yang menjadi areal pertambangan batu milik rakyat. Hampir tidak ada burung yang secara kualitas menarik di sana. Kami mulai membicarakan bahwa kabarnya, waktu-waktu seperti ini bukan merupakan musim yang baik untuk birding. Walau demikian, kami sempat melihat atraksi udara antara Elang Ular Bido yang 'dihajar' oleh 5 ekor Kekep Babi setelah melanggar wilayah kedaulatan mereka. 
    Tanggal 3 Juli, setelah kami menghimpun logistik, kami berangkat ke Waduk Gajahmungkur yang tersohor itu. Rencananya, kami akan berkemah di salah satu spot pengamatan ala Strix dalam dua hari 1 malam. Perjalanannya membutuhkan waktu 1,5-2 jam dengan melewati kampung-kampung. Satu kampung yang menurut saya mengesankan adalah yang bernama Pogoh. Kampung ini terletak tepat di tepi barat Waduk Gajahmungkur. Begitu terkesannya, saya mengambarkannya dalam catatan harian saya demikian:

"Warga Pogoh pandai menata lingkungannya. Tanaman pagar ditata rapi di tiap sisi jalan. Kaum perempuan terlihat menyapu halaman. Rumah-rumah joglo berdiri dengan eloknya. Meskipun sederhana, namun semuanya nampak rapi dan bersih. Pogoh menjadi asri karena banyak tanaman dipertahankan. Hawanya menjadi sejuk, bahkan terkesan lembab, membuat jalanan yang dibuat dengan semen berlumut. Hal ini sangat kontras dengan hawa Wonogiri pada umumnya yang panas dan kering. Kearifan lokal, seperti memelihara Pohon Dhanyangan masih ada, sehingga sumber-sumber air tetap terjaga. Burung-burung pun banyak berkeliaran di antara kehidupan mereka."

   Setelah mendirikan tenda, kami segera melakukan pengamatan di sekitarnya. Alhasil, nampaknya kami membuktikan kebenaran tentang sepinya burung di musim ini. Entah apa yang menyebabkannya : musim yang tak kunjung teratur? atau peralihan musim migrasi? Entahlah... Yang jelas, kami kesepian. Namun, di balik semuanya itu, kami menemukan juga salah satu burung migran selatan, yaitu Cekakak Suci (Todirhamphus sanctus). Burung yang menurut saya aneh lagi adalah adanya Remetuk Laut (Gerygone sulphurea). Meskipun kitab SKJB menyebutnya 'umum hingga 1500 m', namun tetap saja ini kali pertama saya melihatnya di sebaran yang sangat jauh dari pantai. Waktu-waktu berikutnya, kami justru punya banyak waktu luang. Selain untuk pengamatan, motret, akhirnya Strix memiliki hobi baru, yaitu memberi makan ikan di waduk layaknya peliharaanya. Aneh memang, tapi seperti itulah efek dari musim.. otak pun menjadi tergeser-geser saat target nihil. 
    Tanggal 4 Juli, kami membongkar tenda di tengah hari. Setelah itu, kami beristirahat dan pada tanggal 5, saya kembali ke Malang. Well, hampir dipastikan catatan kami berdua tidak melebihi catatan di musim awal tahun. Namun, bagi saya, ini merupakan pengalaman yang berkesan ketika melihat warga tepian waduk yang sederhana. Kultur jawa yang masih melekat menjadi selaras dengan pemandangan dan ketenangan atmosfer air waduk ini. Dari sana, saya belajar bagaimana membayangkan warga negeri penggemar teh ini dalam menghadapi peliknya masalah. Semuanya dihadapi dengan Sak Madyo (secukupnya, tidak berlebihan). Jauh dari hiruk pikuk metropolis membuatnya tidak minder. Bahkan, dari sanalah bangkit pikiran-pikiran jernih yang menjadi embrio kesadaran akan hidup selaras dengan alam.

Monggo tehnya mas... :)

Burung: 
Gerombolan Kowak Malam Abu (Nycticorax nycticorax)

Remetuk Laut (Gerygone sulphurea)

Cekakak Suci (Todirhamphus sanctus)

Kipasan Belang (Rhipidura javanica)
 Bonus:

Pemandangan Wonogiri: gunung, hutan, dan tentu saja waduk.
Sejenak Beraktivitas di Tenangnya Air Waduk

Menikmati Malam dengan Api Unggun
Jangan Lupa Bawa Pancing karena Ikan Melimpah
Daftar Temuan:
1. Burung Gereja Erasia (Passer montanus)       
2. Walet Linci (Collocalia linchi)                         
3. Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides)      
4. Bondol Peking (Lonchura punctulata)           
5. Burung Madu Sriganti (Nectarinia jugularis)  
6. Cabai Jawa (Dicaeum trochileum)                  
7. Cuca Kutilang (Pycnonotus aurigaster)          
8. Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier)       
9. Wiwik Kelabu (Cacomantis merulinus)          
10.Bubut Alang-alang (Centropus bengalensis)   
11. Cekakak Jawa (Halycon cyanoventris)         
12. Cekakak Sungai (Todirhamphus chloris)      
13. Cekakak Suci (Todirhamphus sanctus)        
14. Cinenen Jawa (Orthotomus sepium)             
15. Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius)
16. Perenjak Jawa (Prinia familiaris)
17. Perenjak Padi (Prinia inornata)
18. Kipasan Belang (Rhipidura javanica)
19. Kareo Padi (Amaurornis phoenicurus)
20. Cipoh Kacat (Aegithina tiphia)
21. Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis)
22. Caladi Ulam (Dendrocopos macei)
23. Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus)
24. Kowak Malam Kelabu (Nycticorax nyticorax)
25. Kowak Malam Merah (Nyticorax caledonicus)
26. Layang-layang Batu (Hirundo tahitica)
27. Gagak Kampung (Corvus macrorhynchos)
28. Blekok Sawah (Ardeola spceiosa)
29. Kuntul Kecil (Egretta garzetta)
30. Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis)
31. Cangak Merah (Ardea purpurea)
32. Cangak Abu (Ardea cinerea)
33. Kekep Babi (Artamus leucorhynchus)
34. Elang Ular Bido (Spilornis cheela)