the biodoversity

the biodoversity

Rabu, 24 Juli 2013

Mud-puddling : upacara pungkasan kangge kupu wadon

- Saderengipun, kulo nyuwun pangapunten tumrap pamaos, amargi nulis bab niki ndhamel basa jawi. Tujuanipun namung nguri-uri kabudayan jawi ingkang sampun wonten salebeting rah kula lan sampun dados kewajiban tumraping sedaya tiyang nem Indonesia amrih sami-sami nguri-uri basa daerahipun piyambak-piyambak -

   Kapethik saking tontonan TV ingkang kula tingali kalawau, wonten bab ingkang narik kawigaten kulo, yaiku bab "mimpi sebelum kematian". Saking mriku, kula kaengetaken bab ingkang sami inggih kalampahan dening salah-satunggile mahkluk ingkang naminipun kupu-kupu. Lha kok ngoten? Nyatanipun, kupu-kupu sampun dhangu disumerepi gadhah nyawa mung sakeplasan mawon. Menawi sampun rampung tumindhake bab reproduksi, anggota ordo Lepidopera punika sami pejah, ninggalaken anak-anakipun ingkang awujud larva (uler).
   Kalandhesan bab punika, kula pados bahan ingkang nuntun kula dhateng bab mud-puddlingMud-puddling, utawi penyerapan mineral punika fenomena penyerapan mineral dening kupu-kupu. Mud-puddling kalampahan wonten ing kubangan, pinggiripun lepen, kotoranipun rajakaya, lan sapanunggale ingkang ngandhut bahan-bahan mineral. Prastawa mud-puddling punika umumipun kalampahan dening kupu-kupu jaler. Wonten sawetara alasan punapa prastawa wau kadados:

1. Kupu jaler perlu mineral
    Kupu jaler perlu sanget nyerep mineral. Bab punika mbothen ateges kupu wadon mbothen butuh mineral. Kupu jaler ngluwihi kabutuhanipun kupu wadon amargi jarak jelajahipun luas lan mabur luwih kathah tinimbang kupu wadon. Mineral, umumipun natrium, tansah dibutuhaken dhamel aktivitas neuromuscular, yaiku proses penggerakipun otot swiwi ingkang dhamel mabur.
2.  Transfer mineral
   Kupu jaler badhe kelangan kathah mineral menawi kawin kaliyan kupu wadon. Prastawa punika kadados amargi kupu jaler mindahaken sawetara mineral dhateng kupu wadon. Mineral punika minangka 'bekal' ndhamel ndhog (telur). Kupu wadon sarampungipun ngendhog, umumipun kathah ingkang pejah. Umur kupu punika mbothen sami, manut kaliyan jenis spesiesipun piyambak-piyambak. Kupu jaler taksih saged gesang ngantos reproduksi ingkang kaping kalih utawi tiga, lan wangsul dhateng area mud-puddling supados nggantosi mineral ingkang sampun ical. 

Mula saking prastawa punika, kula saged nggambaraken mineral punika inggih hadiah pungkasan dhamel kupu wadon, lan mud-puddling punika inggih prastawa utawi fenomena ingkang sami kaliyan upacara kematian, ingkang saged kaladhosan kanthi endah manut kaliyan tata-aturipun Gusti. Mungguh Ageng Gusti Allah kita, ingkang sampun nyabda kupu-kupu, ugi prastawa-prastawa ingkang mboten saged mlebet dhateng nalar kita. 

nuwun, 

Prastawa mud-puddling dening Cyrestis lutea ing Coban Rais

Sumber rujukan:

Boggs, CarolL. dan Lee A.J. 1991. Mud puddling by butterflies is not a simple matter. Ecological Entomology (1991) 16, 123-127
Beck, J., Eva M., dan Konrad F.. 1999. Mud-puddling behaviour butterflies: in search of proteinsor minerals? Oecologia (1999) 119:140-148

Rabu, 10 Juli 2013

Bentet Kelabu dan Saktinya Libur Semester

    Bentet Kelabu (Lanius schach) atau yang akrab disebut penthet, cendhet, atau sebutan lokal lain, ternyata juga 'ditemukan' di Kampus Brawijaya. Walaupun burung ini oleh sebagian pengamat burung kampusan di-cap sebagai catatan ecek-ecek, namun betapa berharganya namanya di list Kampus Brawijaya. Nampaknya, burung ini tidak terima ketika namanya tidak disertakan dalam list burung-burung Kampus Brawijaya tahun 2013, sehingga mendadak seperti hantu, muncul. Berawal pada tanggal 22 Juni 2013, beberapa mahasiswa suka keluyuran (biar kelihatan sukses) ingin sekedar hunting foto kupu-kupu di Kampus Brawijaya. Sebut saja orang-orang macam Adityas Arifianto (Strix nebulosa), Faldy, Bayu Hendra, dan terakhir Arief Budiawan (Budhek, pacarnya sasha) bergabung dalam acara keluyuran ini. Dimulai dari penyisiran Gedung Fak. Perikanan yang setengah jadi, kami mendapatkan banyak foto-foto kupu yang sexy abis. Ditambah lagi hasil dokmentasi Klarap (Draco volans) yang seringkali cuma ngece ketika hewan ini serius dicari. 
Sendirian Saja, ada yang mau menemani?
   Penyisiran diperluas ke arah Glass house F. Pertanian dan kemudian masuk ke kebun percobaan. Nah, di sinilah sang Kuping Copet, Bayu Hendra mendengar suara Cendhet yang bertalu-talu. Setelah itu, beliau segera melihat burung dengan ekor panjang yang bergerak-gerak di rangka besi tempat penyimpanan tanaman. Memang dasarnya mata saya minus, saya selalu bertanya-tanya ke Bayu: "Endi seh...? Endi seh?". Rasa frustasi ini makin ditambah ketika di sebelah saya, Budhek, berkata dengan tenangnya: "oh.. kae toh...", lalu bergabung dengan Bayu untuk memotret. Siaaal.... saya yang terakhir belum dapat. Ketika kami makin mendekat, akhirnya burung ini terbang. Lhaah... syukurlah, ternyata tidak jauh-jauh, hanya mampir di cabang Trembesi bagian bawah. Akhirnya saya pun bisa ikut memotret.
   Menurut analisa pengira-ngira saya, memang burung ini adalah Bentet Kelabu muda. Bulunya masih njerabut alias kusam dan tidak rapi. Ekornya pun masih pendek. Nah, pertanyaan yang kemudian kami diskusikan hari itu adalah: kenapa, dan mulai kapan? Yap, Bayu sendiri mengira burung ini mungkin bukan lepasan. Saya pribadi tidak tahu alasannya apa, yang jelas, menurutnya, burung lepasan sangat mudah didekati dan ditangkap kembali. Selain itu, tentu burung ini hanya akan berputar-putar di sekitar rumahnya dahulu, bukan di semak-semak seperti ini. Lalu pertanyaan kedua coba saya cari jawabannya dengan membuka data-data tahun 2008,  nihil. Data pengamatan anak-anak zoothera pun tidak ada. Wah, semakin penasaran.... kok iso yo? macam hantu saja. 
   Belakangan, Adityas alias Strix nebulosa ikut nimbrung. Menurut pendapatnya, Kampus Brawijaya sangat ghoib bila liburan, entah Sabtu, Minggu, atau bahkan libur semester. Seakan-akan, hewan-hewan yang aneh-aneh dikeluarkan dari perut kampus yang super-sibuk ini. Hm, masuk akal juga. Kampus yang memiliki jumlah mahasiswa terbesar di Jawa Timur ini tidak heran akhirnya turut menyumbang penurunan habitat hewan di lingkungannya, ya secara kuantitas, ya kualitas Bahkan, kabarnya, dengan mahasiswa baru yang berjumlah 17.530 orang pada tahun 2012, membawa kampus ini menjadi kampus yang terpadat di Malang untuk sebuah luasan 58 ha. Nah, bisa anda bayangkan kan, betapa ramainya kampus kami ketika hari aktif perkuliahan. Sebagai gambaran, menyeberang jalan di kampus sangat susah. Bukan karena takut ditabrak oleh lalu-lalang kendaraan broo... (itu cuma no 2!), yang pertama adalah, tidak bisa melewati jajaran motor yang diparkir rapi! Seakan-akan, motor-motor tersebut menjadi pagar pembatas antara jalan aspal dengan trotoar, dan bukan hanya satu sisi, tapi dua sisi! Luarrr biasaaa....Apakah ada parkiran? oh, jelas ada, tapi akan segera penuh ketika jam menunjukkan pukul 07.00 WIB, sisanya... ya mblangkrak di pinggiran jalan seperti yang saya sebut di atas.
   Meskipun papan perlindungan hewan dipasang di seluruh penjuru kampus, tapi rasanya kami masih ketar-ketir juga. Pasalnya, beberapa satpam juga anggota kicaumania. Apalagi Bentet Kelabu merupakan salah satu burung kicauan favorit yang diincar, yaah... siapa tahu? Belakangan burung Bentet Kelabu yang kesepian ini masih sering nampak di kebun percobaan F. Pertanian. Mungkin hanya di sanalah ia bisa tenang dan sembunyi dari hiruk pikuk manusia dengan menelisik semaknya. Rasanya, burung unyu ini ingin saya bisiki: "kasihan kamu... sekecil ini harus hidup di tengah ganasnya manusia..."

Suasana Kampus saat Hari Aktif: Luar Biasa... !



Senin, 08 Juli 2013

Nyruput Teh Ala Wonogiri

   Wonoooogiriiii..... mungkin inilah teriakan saya ketika mulai berpikir tentang perjalanan kami di sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Tengah ini. Awalnya, saya tidak pernah terpikirkan seperti apa perjalanan atau tempat yang akan saya kunjungi ini. Hanya saja, bayangan saya : jawa selatan = kering, kapur (karst), panas, dan eksotis, just it! Keluaran hasil magang Adityas Arifianto (alias Strix nebulosa) yang memuat banyak sekali jenis burung air, pantai, atau burung 'aneh-aneh' di awal tahun ini sempat membuat arek zoothera untuk menyandang perjalanan bertitel 'ekspedisi'. Namun, belakangan anggota pelaksananya harus prothol satu per satu karena menanggung permasalahan birokrasi tingkat keluarga :D
   Mengambil setting waktu setelah Lomba Birdwatching Baluran, akhirnya saya dan Strix berangkat secara mandiri. Walau dengan badan pegal-pegal efek menginap di 'halaman belakangnya' Mas Swiss, rasanya semangat juga berangkat membayangkan seperti apa Wonogiri, atau target spesifiknya: Waduk Gajahmungkur. Perjalanan dimulai hari Senn malam (1 Juli 2013) dengan menggunakan bus. Dari Malang-Surabaya, perjalanan teramat lancar walau bus cukup padat. Nah, perjalanan Surabaya-Solo inilah yang membuat saya menggumam: aselole tenaaan.. Bagaimana tidak? Kami naik bus favorit Sumber Rahayu. Ia adalah salah satu 'anak' dari PO Sumber Group yang terkenal dengan kecepatannya. Naik bus ini serasa naik pesawat ulang-alik: gorden melambai-lambai, tas-tas bergeser-geser (otak-pun demikian), kening mencium bangku. Bahkan, ketika pukul 03.50 WIB kami sampai di Terminal Tirtonadi, Solo, rasanya benar-benar jetlag. Kaki saya bahkan membentuk huruf O seperti orang kena polio. Selanjutnya, perjalanan dilanjut dengan bus lokal ke Wonogiri hingga akhirnya kami datang dengan selamat pukul 06.30 WIB. 
    Tanggal 2 Juli tidak ada agenda pengamatan yang merujuk pada Waduk Gajahmungkur. Strix membawa saya (sesuai rencana) ke Gunung Munyuk pada sore hari. Gunung yang tersusun oleh batu ini merupakan salah satu bagian gugusan pegunungan yang menjadi areal pertambangan batu milik rakyat. Hampir tidak ada burung yang secara kualitas menarik di sana. Kami mulai membicarakan bahwa kabarnya, waktu-waktu seperti ini bukan merupakan musim yang baik untuk birding. Walau demikian, kami sempat melihat atraksi udara antara Elang Ular Bido yang 'dihajar' oleh 5 ekor Kekep Babi setelah melanggar wilayah kedaulatan mereka. 
    Tanggal 3 Juli, setelah kami menghimpun logistik, kami berangkat ke Waduk Gajahmungkur yang tersohor itu. Rencananya, kami akan berkemah di salah satu spot pengamatan ala Strix dalam dua hari 1 malam. Perjalanannya membutuhkan waktu 1,5-2 jam dengan melewati kampung-kampung. Satu kampung yang menurut saya mengesankan adalah yang bernama Pogoh. Kampung ini terletak tepat di tepi barat Waduk Gajahmungkur. Begitu terkesannya, saya mengambarkannya dalam catatan harian saya demikian:

"Warga Pogoh pandai menata lingkungannya. Tanaman pagar ditata rapi di tiap sisi jalan. Kaum perempuan terlihat menyapu halaman. Rumah-rumah joglo berdiri dengan eloknya. Meskipun sederhana, namun semuanya nampak rapi dan bersih. Pogoh menjadi asri karena banyak tanaman dipertahankan. Hawanya menjadi sejuk, bahkan terkesan lembab, membuat jalanan yang dibuat dengan semen berlumut. Hal ini sangat kontras dengan hawa Wonogiri pada umumnya yang panas dan kering. Kearifan lokal, seperti memelihara Pohon Dhanyangan masih ada, sehingga sumber-sumber air tetap terjaga. Burung-burung pun banyak berkeliaran di antara kehidupan mereka."

   Setelah mendirikan tenda, kami segera melakukan pengamatan di sekitarnya. Alhasil, nampaknya kami membuktikan kebenaran tentang sepinya burung di musim ini. Entah apa yang menyebabkannya : musim yang tak kunjung teratur? atau peralihan musim migrasi? Entahlah... Yang jelas, kami kesepian. Namun, di balik semuanya itu, kami menemukan juga salah satu burung migran selatan, yaitu Cekakak Suci (Todirhamphus sanctus). Burung yang menurut saya aneh lagi adalah adanya Remetuk Laut (Gerygone sulphurea). Meskipun kitab SKJB menyebutnya 'umum hingga 1500 m', namun tetap saja ini kali pertama saya melihatnya di sebaran yang sangat jauh dari pantai. Waktu-waktu berikutnya, kami justru punya banyak waktu luang. Selain untuk pengamatan, motret, akhirnya Strix memiliki hobi baru, yaitu memberi makan ikan di waduk layaknya peliharaanya. Aneh memang, tapi seperti itulah efek dari musim.. otak pun menjadi tergeser-geser saat target nihil. 
    Tanggal 4 Juli, kami membongkar tenda di tengah hari. Setelah itu, kami beristirahat dan pada tanggal 5, saya kembali ke Malang. Well, hampir dipastikan catatan kami berdua tidak melebihi catatan di musim awal tahun. Namun, bagi saya, ini merupakan pengalaman yang berkesan ketika melihat warga tepian waduk yang sederhana. Kultur jawa yang masih melekat menjadi selaras dengan pemandangan dan ketenangan atmosfer air waduk ini. Dari sana, saya belajar bagaimana membayangkan warga negeri penggemar teh ini dalam menghadapi peliknya masalah. Semuanya dihadapi dengan Sak Madyo (secukupnya, tidak berlebihan). Jauh dari hiruk pikuk metropolis membuatnya tidak minder. Bahkan, dari sanalah bangkit pikiran-pikiran jernih yang menjadi embrio kesadaran akan hidup selaras dengan alam.

Monggo tehnya mas... :)

Burung: 
Gerombolan Kowak Malam Abu (Nycticorax nycticorax)

Remetuk Laut (Gerygone sulphurea)

Cekakak Suci (Todirhamphus sanctus)

Kipasan Belang (Rhipidura javanica)
 Bonus:

Pemandangan Wonogiri: gunung, hutan, dan tentu saja waduk.
Sejenak Beraktivitas di Tenangnya Air Waduk

Menikmati Malam dengan Api Unggun
Jangan Lupa Bawa Pancing karena Ikan Melimpah
Daftar Temuan:
1. Burung Gereja Erasia (Passer montanus)       
2. Walet Linci (Collocalia linchi)                         
3. Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides)      
4. Bondol Peking (Lonchura punctulata)           
5. Burung Madu Sriganti (Nectarinia jugularis)  
6. Cabai Jawa (Dicaeum trochileum)                  
7. Cuca Kutilang (Pycnonotus aurigaster)          
8. Merbah Cerukcuk (Pycnonotus goiavier)       
9. Wiwik Kelabu (Cacomantis merulinus)          
10.Bubut Alang-alang (Centropus bengalensis)   
11. Cekakak Jawa (Halycon cyanoventris)         
12. Cekakak Sungai (Todirhamphus chloris)      
13. Cekakak Suci (Todirhamphus sanctus)        
14. Cinenen Jawa (Orthotomus sepium)             
15. Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius)
16. Perenjak Jawa (Prinia familiaris)
17. Perenjak Padi (Prinia inornata)
18. Kipasan Belang (Rhipidura javanica)
19. Kareo Padi (Amaurornis phoenicurus)
20. Cipoh Kacat (Aegithina tiphia)
21. Tekukur Biasa (Streptopelia chinensis)
22. Caladi Ulam (Dendrocopos macei)
23. Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus)
24. Kowak Malam Kelabu (Nycticorax nyticorax)
25. Kowak Malam Merah (Nyticorax caledonicus)
26. Layang-layang Batu (Hirundo tahitica)
27. Gagak Kampung (Corvus macrorhynchos)
28. Blekok Sawah (Ardeola spceiosa)
29. Kuntul Kecil (Egretta garzetta)
30. Kuntul Kerbau (Bubulcus ibis)
31. Cangak Merah (Ardea purpurea)
32. Cangak Abu (Ardea cinerea)
33. Kekep Babi (Artamus leucorhynchus)
34. Elang Ular Bido (Spilornis cheela)


Sabtu, 06 Juli 2013

Buku Burung-burung Kampus Brawijaya = Jalan untuk Belajar Bersyukur

   Rasanya, sebagian besar kawan pengamat burung di Malang tahu akan adanya tulisan tentang burung-burung di Kampus Brawijaya ini. Atau jika berlebihan, mungkin ada sebagian kecil yang mendengar sayup-sayup bahwa ada yang menulis buku ini. Yap... benar, buku ini sebenarnya telah ditulis semenjak 1 tahun lalu, atau jika saya tidak salah ingat, awal pengumpulan data dan pendokumentasian jenis dimulai lebih lama lagi, yaitu sekitar akhir 2011. Memang cukup lama untuk mengerjakannya. Alasannya klasik: sedikit SDM yang memadai dan mau mengerjakan. Padahal jika menilik luas Kampus Brawijaya yang 'hanya' 58 ha, dan jumlah spesies yang bahkan tidak mencapai 50, tentu dalam waktu singkat seharusnya buku ini segera kelar. Namun, foto tidak boleh dihapus, dan tulisan harus terus dikerjakan. Buku ini akhirnya tetap berjalan perlahan-lahan meskipun hanya memanfaatkan waktu luang mahasiswa lapuk (yang sebenarnya tim penggembira) sebagai penulisnya :)
   Semua orang pastinya men-cap ini semua sebagai hal yang harus segera direalisasikan. Saya pun demikian. Dengan ngos-ngosan, saya mulai dengan mencetak hasil desain layout untuk diberikan kepada pihak jurusan. Apresiasi didapat, tetapi tetap ada beberapa perbaikan dan koreksi dari rekan pengamat burung. Bersamaan dengan itu, file pdf terus saya bagi ke hampir semua teman yang dapat memberikan komentarnya untuk perbaikan buku ini. Masih kurang puas juga, akhirnya dengan semangat, saya perbarui desain layout-nya, supaya yang melihat buku ini tidak nangis sedih :D. Sembari menunggu koreksian berdatangan, saya masih terus bergelimang-nafsu agar buku ini punya dukungan. Bagaimana tidak? secara pribadi, saya berharap membagikan kehidupan burung-burung di sebuah kampus metropolis, agar banyak orang tahu bahwa mereka ini ada. Selebihnya, saya bermimpi ini semua bisa dicetak dan dibagi secara gratis..tis...tis. Namun, nampaknya buku ini masih memiliki tantangan saja. Mulai dari rekan-rekan pihak kampus sendiri atau kesibukan yang membayang-bayangi ex-mahasiswa ini sebagai penulisnya. Mungkin yang paling 'membahagiakan' adalah sulitnya mencari dukungan dari sesepuh-sesepuh kampus, atau jurusan yang  notabene tempat saya belajar. Apalagi nyetak itu butuh duit, dan saya selalu mendapat memori hitam ketika berhubungan dengan kata terakhir tersebut. Saya pun terdiam dan merenung pada pertanyaan-pertanyaan skeptis: pentingkah arti sebuah buku kecil ini? apalagi ini bukan kawasan konservasi, dan tata guna lahan sudah ke arah gedung-gedung nan megah ala kaum metropolis. Bahkan hampir setengah dari jenis burung yang tercatat, menjadi sulit atau bahkan tidak pernah ditemukan lagi. Akhirnya, perasaan skeptis sempit nan tidak berdaya ini menjadi bayangan jahat untuk menyelesaikan sebuah buku perdana ini.
   Tetapi rasanya Tuhan tidak pernah tinggal diam. Nampaknya, Ia sedang tersenyum ketika mengijinkan sebuah proses berlaku dalam kehidupan manusia, termasuk kepada mahasiswa lapuk ini. Jika dukungan dan semangat dari pihak-pihak pengampu kampus masih kurang, namun dukungan dari rekan-rekan pengamat burung sangat 'wah' sekali. Seakan-akan, tulisan sekelas artikel anak SMP ini menjadi setara Bas Van Balen atau legenda hidup pengamatan burung (misal Lik Swiss, Lik Imam, Lik Baskoro). Bahkan, dua minggu lalu salah seorang dosen mau membantu memberikan ISBN secara cuma-cuma dan tanpa proses yang ribet. Hanya saja, beliau sama-sama tidak memiliki kocek untuk membiayai pencetakannya. Tapi lebih daripada itu, syukur dan terus menerus berusaha menjadi pilihan terbaik agar kelak, tiap orang yang bahkan tidak tahu adanya burung di Kampus Brawijaya, akhirnya menjadi tahu. Bahkan cita-cita saya, dan tentu semua orang masih tetap: gratis... atau setidaknya, murah.
   Masih dalam rangkaian yang sama, buah syukur itu menjadi makin terlihat, tatkala seekor burung Bentet Kelabu (Lanius schach) tercatat secara perdana dan terdokumentasikan dengan baik dua minggu lalu. Bahkan, syukur harus diucapkan karena tiap kali sumpek-pek-pek dalam hal ini, Gusti memberikan banyak pilihan kegiatan : motret kupu-kupu bersama Faldy, Bayu, dkk, ngurusi PPBI sebagai tim gembira-ria, atau berekspedisi ria ke kota-kota lain. Selain itu, mulai ada pihak-pihak yang bisa dibidik untuk mendukung buku ini. Bahkan (sekali lagi.. bahkan!), semakin banyak bermunculan calon-calon author buku lokal yang baru, seperti Herpetofauna Kampus Brawijaya, Buku Kupu-kupu Malang, atau dengar-dengar ada Buku Burung Malang juga. 
   Apapun alasannya, yang jelas, saya semakin bersyukur. Coba jika Tuhan tidak mempertemukan tulisan saya dengan dosen yang punya percetakan, atau tidak ada dukungan rekan-rekan pengamat burung, atau bahkan tidak ada kawan yang menemani saya berjalan-jalan, motret, atau sekedar ngopi. Entahlah... yang jelas, ketika melihat tiap warna dan kata dalam buku ini, selalu teriring kata syukur dalam tiap kebaikan-Nya... dan tentu saja, bayangan akan senyum-Nya. :)


Selamat Berkaryaaaaa....


Salah Satu Halaman di Buku Ini