the biodoversity

the biodoversity

Rabu, 21 Agustus 2013

Ada apa di balik sebuah buku itu?


   Yang namanya buku, sejauh cerita, tentu memerlukan waktu, tenaga, pikiran dalam menyusunnya. Hal ini menjadi kisah tersendiri saat saya teringat kepada penyusunan buku pertama Zoothera yang berjudul: 'Burung-burung di Kampus Brawijaya' ini. Saya masih ingat ketika kami pada awalnya tidak pernah terpikirkan untuk membuat catatan, ataupun sebuah buku (najis tralala tenaan!). Yang kami pikirkan pada saat itu adalah: belajar burung, foto, dan tentu jalan-jalan. Sebagai mahasiswa biologi yang baik, tentu kami membuat kegiatan pengamatan itu sebagai sarana 'tempat sampah' kemuakan kami terhadap kegiatan kuliah dan praktikum yang padat. Lha kok ndilalah, timbul perasaan eman-eman di benak saya saat melihat foto semakin berjubel di harddisk. Apalagi, buku "Bird of Baluran"-nya mas Swiss masih anget-angetnya, sehingga membuat kami tambah semangat... 
"Lha, wong sak-Mbaluran ae manuk e dibukukne kok, la opo kok awak dhewe ra melu nggawe? Sopo arep nggegeri? (Lha, hanya Baluran saja burungnya dibukukan kok, kenapa kita tidak ikut buat? siapa yang mau marah-marah?)
   Akhirnya, terbawa nafsu muda, kami semakin santer berburu foto. Nah, ternyata, di sinilah keteguhan mimpi itu diuji. Baru kami sadar, pikiran koplak kami yang dibuai oleh kata : nggawe buku kuwi sepele, harus diralat dengan dua kata: ampuuun boss... 
   Mulai dari anggota pengamat yang semangat 45, kadang loyo, atau bahkan prothol kena jadwal kuliah, hingga masalah basis data yang kurang cermat.  Padahal, data itu adalah segala-galanya. Di sini mungkin terbukti pernyataan Pak Bas yang demikian : wong Indonesia itu budayanya adalah budaya ngomong, bukan nulis. Akibatnya, nyaris data-data pengamatan itu bablas jika tidak ada yang mencatat. Setelah dikompilasi, dasar data masih terus dibangun dengan berburu literatur. Nah, beruntung salah satu kakak tingkat mengambil skripsi tentang diversitas burung di Kampus Brawijaya, sehingga datanya pun dapat dijadikan perbandingan. Berburu data di komunitas lain, seperti pecinta alam UB dan ex-pengamat burung era 90-an, ternyata datanya sudah... hilang.
   Kesulitan berikutnya, tentu saja nulis. Nah, untuk yang satu ini, selain butuh ketelatenan, latihan dan sabar, mungkin beberapa orang percaya ini butuh bakat (saya sendiri ndak percaya). Masih ingat betul, malam-malam ndak bisa tidur di kost tempat KKN, saya ngetik pelan-pelan sambil ngantuk-ngantuk. Tulisan yang makin aduhay tidak karuan itu masih harus dikoreksi oleh orang lain. Saya ndak ngira, orang se-kaliber mas Imam Taufiqurahman masih mau ngoreksi tulisan saya. Apa ndak terharu sedih ya? :D
   Yang terakhir, adalah masalah penerbitan. Bersyukur tenan salah satu dosen menaruh perhatian besar terhadap kerja kami ini. Meskipun ia dan secara institusi tidak memiliki dana untuk membiayai percetakan, ia masih mau untuk membantu penerbitan isbn buku tersebut. 
   Saya kemudian mikir-mikir, apapun dan bagaimanapun, buku ini harus dibaca oleh orang yang membutuhkan. Jika harus menunggu perjuangan untuk mencetak, entah berapa lama lagi waktu yang harus dihabiskan, tenaga yang harus digunakan, dan darah (jerawat) yang harus diteteskan. Bukannya saya emoh atau kapok untuk berkecimpung di sana, tapi makin banyak pekerjaan yang menumpuk membuat tidak berdaya. Apalagi ancaman hengkang dari tanah malang semakin nyata saja. Belum lagi sebuah harapan untuk membuat buku ini gratis, tentu akan sulit didapat jika tidak bekerja sama dengan lembaga besar yang punya concern di bidang konservasi. Akhirnya, saya putuskan untuk membuat versi pdf yang bisa di-download oleh kawan-kawan semua. Semoga buku sederhana ini memberi manfaat bagi kawan-kawan semua. Maklum, kami pun memulai selangkah kecil dari ribuan langkah pembelajaran ilmu pengetahuan.

Kiranya dapat bermanfaat, 

penulis,


password: 12345


Senin, 05 Agustus 2013

Rahasia yang harus dibagi Part II : Orang mikir saya gila!!!

   Saya punya seorang kakak angkatan di tempat saya kuliah. Kakak angkatan yang satu ini sangat berkesan bagi saya. Bukan karena ia sekedar perempuan yang menarik, tetapi karena ia pernah melontarkan perkataan yang cukup keras kepada saya. Kejadian ini terjadi satu tahun lalu ketika saya berburu foto Celepuk Reban yang katanya pernah ditemukan di Hutan Mipa. Nah, memang sebelum janjian bertemu dengan Strix (panggilan untuk Adityas) saya sempat mencari-cari arah suara burung kecil ini dengan menyenteri Hutan Mipa. Lalu, ketika saya sampai di depan gedung jurusan, saya bertemu dengan beliau, dan terjadilah percakapan berikut:

Kakak kelas: "Aguuung... ngapain kamu malam-malam senter-senter di pohon-pohon???"
Saya: "ng..."
Kakak kelas: "Kamu sudah mirip orang gila yang ga ada kerjaan aja."
Saya: "hehe..."

   Memang, ini adalah salah satu hal yang membuktikan kalau banyak orang menganggap saya dan beberapa kawan telah menapaki jalan yang unik, dibilang aneh, atau jika lebih sopan: 'kurang populer'. Tapi bukannya berhenti, saya makin senang saja menggeluti dunia jepret-menjepret foto sambil jalan-jalan. Kalau tidak ada teman yang mau diajak jalan-jalan jauh, ya saya pergi berjalan-jalan di sekitar habitat saya, termasuk kampus ini. Nah, demikian juga terjadi saat harus mengamati geliat larva Euploea mulciber yang saya temukan. 
   Berbekal kamera, buku catatan, pensil, dan penggaris, juga dengan memakai seragam kebesaran: Kaos oblong, topi lapang, sandal gunung, dan tak lupa celana pendek (hehe), saya menyusuri jalanan kampus yang ramai, dan tentu saja ngetem di gapura jalan F. Pertanian. Beruntung terkadang Strix dan Aan, duo 'gila' saya, bisa menemani, tapi jika tidak, ya... sendiri saja. Bisa dibayangkan toh bagaimana orang-orang memandang saya? agak bagaimana gitu,, haha..
   Pengamatan dimulai dengan memotret telur atau ulat, saya kemudian menghitungnya. Tidak kurang dari 9 butir disebar di 5 pucuk Alamanda cathartica pada hari pertama. Pada hari berikutnya, nampaknya induk kupu ini menyebar lagi telurnya. Hal ini terlihat dari adanya telur-telur baru yang diletakkan diluar daun yang telah ditandai. Pun saya mengetahui sebuah fakta yang unik. Telur-telur ini nyatanya menetas kurang dari 24 jam! Begitu menetas, ulat-ulat kecil ini segera memakan cangkang telur mereka dan bergerak untuk mengunggis pucuk-pucuk daun. Terlihat permukaan daun muda itu mulai cokelat dan mengeriput. Berdasarkan literatur yang saya dapat, ulat-ulat mngeluarkan sebuah enzim pencerna untuk mempermudah mereka memakan daun. 
   Dua hari berikutnya, saya seperti biasa mengamati ulat-ulat ini. Wah-wah, ternyata mereka kedatangan tamu. Tamu asing ini nampak menusuk-nusukkan mulutnya yang berbentuk jarum pada telur-telur yang belum menetas. Tamu yang seperti alien ini dengan rajin juga mendekat pada ulat-ulat, entah apa maksudnya. Kami hanya bisa menduga, kalau tamu asing ini adalah sejenis parasitoid. Jika melihat-lihat literatur, memang mirip dengan tawon ichneumon, sang parasitoid larva sejati. Lambat-laun, saya tidak lagi menemukan banyak ulat-ulat itu. Ataupun jika ditemukan, letaknnya berada di daun yang cukup jauh. Nampaknya, mereka sudah menambah area jelajahnya. Selain itu, saya juga menemukan beberapa ulat mati. Wah, efek dari parasitoid-kah? Hasil yang kurang menggembirakan sebenarnya.
   Pada suatu hari pengamatan, ada sesuatu hal yang membuat saya bahagia. Bahkan, lebih bahagia daripada menemukan Euploea mulciber bunting ini. Bukan karena ulat-ulat itu ditemukan kembali, tapi ternyata beberapa adik kelas saya ngikut pengamatan! Terhitung 5 orang akhirnya nginthil karena penasaran akan larva-larva Euploea mulciber yang dikoar-koar oleh saya dan strix. Pada lokasi perkara, saya dan strix memberikan penjelasan dengan semangat bagaimana kronologi kejadian fase larva E.mulciber, dan dari mata mereka, saya bisa menangkap kehausan mereka akan ilmu pengetahuan. Bukan jenis ilmu yang dibatasi tembok-tembok otak praktikum, tapi benar-benar membawa diri mereka ke laboratorium alam terbesar di dunia. Tentu saja dengan alam yang selalu baik sebagai sang guru. Hanya 'ngedan' dan keluar dari tembok-tembok masif pikiran yang membuat kita semua semakin paham berbagai rahasia alam ciptaan Sang Khalik.
   Memang, mungkin jiwa-jiwa dan metode 'menggila' ini sudah cukup terkenal di kampus-kampus lain, tapi sayangnya, di departemen biologi almamater kami masih kurang. Sedihnya lagi, terlalu banyak SDM segar yang enggan berkarya, entah, macam-macam alasannya. Yang jelas, saya hanya bisa berdoa, agar saya tidak mendengar gerombolan anak-anak biologi ngobrol ngalor-ngidul atau menjelma menjadi satria bergitar tiap malam. Nakal itu boleh, karena saya sendiri merasa orang mbethik, main-main itu juga perlu.. Tapi kalau dibuat main-main saja, itu yang tidak boleh. Sebisanya, jangan sampai kita mendengar arek biologi bertanya-tanya: "apa yang bisa kuteliti?", sementara publikasi dari pihak asing terus menerus membanjiri kita.
   Baiklah, inti dari semua perkataan ini adalah, jangan ragu untuk berbuat sesuatu demi hal yang lebih baik. Jika boleh mengutip perkataan salah satu guru saya dari Gunung Baluran : bahwa sebenarnya manusia itu sudah diprogram software-software luar biasa di otaknya. Hanya bagaimana kita dapat mengasahnya. Saya karena bisa moto, nulis, maka saya membawakan kisah kelahiran Euploea mulciber ini kepada sampeyan-sampeyan yang membaca. Sampeyan tentu memiliki keahlian-keahlian macam-macam, entah di laboratorium dengan mikroskop, entah pinset dengan mencit, menggambar, melukis, menulis, memotret, jalan-jalan, berbicara, atau apapun. Yang sampeyan perlukan, adalah terus menerus mau tekun berkarya, agar rahasia-rahasia ilmu yang ada di depan mata, dapat diproses dengan bekal software made in Gusti Allah. Hasilnya, dapat dibagi bersama, agar semakin banyak orang-orang yang 'gila' akan kebesaran Tuhan, dan tentu saja, 'gila' akan kata-kata ungkapan syukur...

nuwun,

Telur Euploea mulciber


Ulat-ulat berukuran 1 mm, siap mengunggis daun muda


Parasitoid kah?

Predator

Alien yang lain, parasitoid juga?

Stix, sedang mengamati ujung Allamanda cathartica berkode 1





Jumat, 02 Agustus 2013

Rahasia yang harus dibagi (Part 1)

   Judul postingan saya kali ini benar-benar nggombal tenaaan... Sebenarnya, ini berawal ketika saya dan Strix sedang berjalan-jalan pengamatan biasa di kampus, pada tanggal 18 Juni. Mungkin, hanya sekedar menghilangkan penat berkutat di area indoor yang cupet dan sepet. Seperti biasa, track awal berkutat di sebelah gedung Fakultas Perikanan yang belum jadi. Daerah ini memang memiliki banyak tanaman-tanaman semak yang tumbuh di daerah terbuka. Kebetulan, banyak tanaman tersebut yang sedang berbunga. Suatu kesempatan yang menarik untuk berburu kupu-kupu, karena sinar matahari pagi juga sedang terik-teriknya. Pertunjukan pun dimulai... 
   Dimulai dengan Doleschlia bisaltide yang berjemur, Leptosia nina yang rajin mengunjungi bunga, dan masih banyaaak lagi. Nah, salah satu yang menarik adalah Euploea mulciber. Si kupu yang satu ini terlihat paling menawan dibandingkan yang lainnya pada saat itu. Karena bobotnya, saat hinggap pada bunga, dahan-dahan tersebut menjadi melengkung ke bawah. Seakan-akan ada pendaratan tangan-tangan tarzan yang bergelantungan dari satu tanaman ke tanaman lainnya. Belum lagi ketika hewan ini membuka sayapnya... Wuaaah, warna birunya gemerlapan memantulkan sinar mentari yang terik. Benar-benar seperti permata safir yang tanpa cacat!
   Nah, perjalanan terhenti sejenak ketika kami putuskan untuk beristirahat di rerumputan dekat depan Fakultas Pertanian. Dengan menikmati pemandangan hari sabtu yang libur, kami leyeh-leyeh di rerumputan, jan mirip wong ilang tenan. Nah, lho... ada seekor kupu yang terbang dengan begitu panik. Suatu saat terbang kesana, lalu kemudian mendekat. Gaya terbangnya juga seakan 'terpincang-pincang'. Wealah, ternyata dia Euploea mulciber betina... dan dia sedang mencari-cari lokasi bertelur. Nah, ketahuan ternyata, ia bertelur di balik daun pucuk Allamanda cathartica atau bunga terompet. Kami langsung mendekatinya, dan sang ibu kupu ini tidak terlalu mempedulikan kami. Tiap telur diletakkan terpisah, terkadang antar tanaman. Setelah beberapa kali dipotret, rupanya kupu ini pergi. Kamipun sepakat besok akan mengunjunginya untuk melihat keadaan calon anak-anak kupu ini. Bukan hanya besok, kami pun sepakat untuk menilik mereka tiap hari demi memuaskan dahaga penasaran kami. Rupanya, awal pertunjukan rahasia dari Tuhan sudah dimulai... 

Euploea mulciber jantan sedang berjemur

Euploea mulciber betina sedang meletakkan telur