the biodoversity

the biodoversity

Senin, 23 September 2013

Capuuunggg.... tidaaaak.....!


   Mungkin saya termasuk orang yang 'agak alergi' dengan kata-kata pengamatan capung. Beuh, kok bisa? yap... saya sebenarnya merasa agak malas untuk mengeidentifikasi jenis-jenis anggota ordo Odonata ini, masih merasa sulit. Alasan kedua tentu saja.... saya takut air. hehe, apalagi hewan ber'buntut' panjang ini banyak sekali main di air-air. Lagipula, saya termasuk orang yang telat terinfeksi virus pengamatan capung yang sudah disebar oleh kawan-kawan Indonesia Dragonfly Society (IDS), bahkan, meskipun mereka mengawali karirnya yang luar biasa di Kota Malang, tempat saya selama ini kuliah. Saya heran, mereka kok mau ya, bawa jaring serangga, pakai celana pendek, moto capung, apa  ga ada kerjaan kali ya? (padahal, saya berucap sambil bawa jaring kupu-kupu, wkwkwk).
   Alhasil, ke-dengki-an saya terhadap hewan yang satu ini harus diuji di pertengahan bulan September ini. Pasalnya, ketika saya enak-enak menikmati pertunjukan karnaval di depan rumah, lha kok hampir ditabrak 'benda-putih' yang terbang cepat sekali. Hanya sekilas, kemudian menghilang. Asyem, mungkinkah itu si capung Putih alias Zxysomma obtusum? Hehe, saya sedikit ngerti, karena teman kuliah saya sempat cari-cari capung ini sebagai bahan Tugas Akhir (TA). Namun, namanya juga ogah, ya sudah, saya masih malas ngejar. 
    Esoknya, lha kok capung putih ini ketemu di kebun salak belakang rumah. Sehari berikutnya juga. Capung yang punya kebiasaan keluar di sore dan pagi redup ini benar-benar gemar bertengger di rumpun salak yang gelap. Saya ambil kamera saya, dan langsung jepreet-jepreet... Tiap jepretan, saya berhenti untuk mengaguminya. Hwaduuh, kamu kok keren sekali seh? warnanya perak, kontras sekali dengan lingkungan yang gelap. Tiap jepretan selalu mengandung penasaran. Langsung saja saya tanya ke kawan saya yang pernah meneliti hidup Zxysomma obtusum ini. Wah, ternyata, hewan ini cukup jarang ditemui, terutama di wilayah-wilayah tertentu. Lagipula, tentang si 'putih' ini, masih banyak tidak diketahui. Mungkin, inilah yang membuat saya agak menyunggingkan senyum..."ternyata, kamu unik juga..."

Bagian atas Capung Putih

Bagian bawah

Bagian samping


Rabu, 18 September 2013

Sebut saja kami pekerja (Gacorane Sie Konsumsi PPBI : selesai)

"Ini unik saudara-saudara... Anda ada di sini 4 hari, tapi diberi makan 3 kali, tidur di lantai, kedinginan, berangkat naik truk, bahkan kalau mau bikin kopi, juga buat sendiri. Selain daripada itu, semuanya itu harus anda bayar....Ada tiga kemungkinan mengikuti PPBI 2013 ini:
1. Anda sudah ditipu panitia,
2. Anda memang mudah ditipu, 
3. Anda benar-benar tulus untuk datang bertemu di PPBI 2013 ini."

... begitu mak degg saya pribadi mendengar perkataan dari Mas Swiss, salah seorang pengisi acara di tempat ini. Memang, mungkin maksudnya adalah mengkritik secara halus, atau memang niat dalam mengisi acara serius malam terakhir itu, ia memilih satu 'isu seksi' untuk memulainya, alias guyon belaka. Bukannya bagaimana, tapi kami dari panitia sudah berbisik-bisik tidak enak dalam hal-hal yang sudah disebut di atas, bahkan sebelum mulai acara ini. Kekhawatiran tentang masalah dana mungkin lebih enak tidak diceritakan. Intinya, banyak hal dalam persiapan ini tidak berjalan mulus, sehingga untuk 'memotong dana', semua acara di-sumpel-kan di Cangar, dengan segala fasilitas yang rekoso temen...
   Mungkin, di sinilah, saya pribadi harus mengangkat semua jempol yang saya punya untuk barisan panitia yang bekerja dengan sangat keras. Segala keadaan yang tidak enak, 'harus' dibikin enak. Dari perlengkapan, barang-barang wajib-cangar seperti alas tidur (tikar, karpet), juga perangkat kelistrikan, diusahakan sebisa-bisanya. Entah, usaha jungkir-walik model apa, sehingga semua barang-barang itu terkumpul, yang jelas, dengan senyum mereka selalu laporkan: "beress mas bro". Dari transport, tiga orang lelaki yang disibukkan dengan urusan ngojek peserta. Yapp, inilah yang terberat dari yang terberat, alias yang kasar dari yang kasar. Mulai dari disibukkan urusan jemput peserta dari luar jawa, hingga medan Cangar yang berbahaya ketika malam hari, apalagi jika setelah hujan. Kabut tebal membuat jarak pandang hanya berkisar 2 meter, dan dalam keadaan inilah mereka bekerja. Bahkan, salah seorang anggota dari mereka harus tumbang karena kedinginan berat di malam terakhir, salute... 
   Ada beberapa sie-keputrian yang ada di sekitar saya, hehe.. eits, jangan berprasangka apa-apa dulu, tapi mereka inilah yang secara langsung menjadi 'tangan kanan' saya. Mulai dari konsumsi, kesekretariatan, hingga acara, langsung di-embat saja. Mungkin, mereka inilah yang selalu saya cari untuk berdiskusi dan memutuskan sesuatu. Saking sibuknya, mereka pernah menghela napas saat saya harus memanggil mereka waktu bangun pagi, hehe... 
   Saya menyebut mereka adalah panitia terbaik, karena banyak sekali alasan, tapi satu hal yang perlu saya bocorkan... mereka tidak pernah saling lempar tanggung jawab, saling tuduh, atau saling-saling yang lain, yang bersifat jelek. Kalaupun ada, mungkin ya dari saya, hehe... Saking sopannya, mereka selalu tidak lupa menambahkan kata "tolong" tiap ingin yang lain melakukan sesuatu. Atau tiap sms, tidak pernah lupa emote senyum atau ketawa, atau bahkan diimbuhi "hehehe".
   Tidak ada kerja keras yang tidak membuahkan hasil, mungkin itu yang saya yakini secara pribadi. Saya ndak ngerti, apa yang ada ada di benak para peserta tentang berbagai kekurangan di PPBI 2013 ini. Baik atau buruknya, lebih atau kurangnya, kami hanya bisa bekerja dan bekerja saja. Mungkin lebih tepatnya, kami ini adalah pekerja. Tentu, kami sangat bahagia jika PPBI 2013 ini menghasilkan buah-buah yang manis. Salah satunya yang paling manis adalah adanya kejelasan bersatunya ouput pengamatan burung dalam skala nasional! Kita tidak lagi bicara daerah, komunitas atau instansi. Sekali lagi, kita semua akhirnya bersama-sama menyingsingkan lengan baju, untuk tujuan bersama. Macam sumpah pemuda saja, hehe... Outputnya adalah Atlas Burung yang mulai digarap konsep fisiknya. Database dengan sistem online akan mempercepat dan mempermudah pihak pengamat yang meng-upload datanya, atau dari pihak yang membutuhkan ingin mengakses. Saya hanya membayangkan, jika output ini berhasil, maka progress kemajuan pengamatan burung akan benar-benar nyata, cepat, transparan, dan skala besar brooo... Memang tidak dipungkiri, jika ini mungkin awalnya hasil ide dari beberapa orang saja. Tapi saya pribadi, mengakui ini adalah brilian.. hm, 
     Aah... saya mulai bingung untuk merangkai kata lagi, untuk menceritakan banyak hal tentang PPBI 2013. Mulai dari tamu-tamunya, pengalaman-pengalaman kocak, atau dari acara-acara yang ada, tentang jajak pendapat kelangkaan burung, kabar pengamatan burung di daerah, waaah... saya makin bingung. Yang jelas, semua peserta sudah damai di kotanya masing-masing, dengan kegiatannya masing-masing, dan hidupnya masing-masing. Namun, semangat untuk bersatu, kiranya tidak ditelan oleh waktu. Pun satu hal yang paling penting, output yang pondasinya dibangun di masing-masing daerah, tetap harus dilakukan. Tak ada waktu istirahat rasanya untuk dunia pengamatan burung Indonesia yang lebih baik. Bagaimana lanjutannya? yang jelas, persiapkan data-data pengamatan burung anda dengan rapi, karena sudah pasti, data tersebut akan turut membangun program nasional ini. 

So, sampai jumpa tahun depan. Bersamaan dengan ulang tahun PA Haliaster, Undip, kita akan bertemu di PPBI 2014, Semarang. 

Sugeng Rahayu,
Sukses Selalu.

Selasa, 10 September 2013

Warnet Bebas (Gacorane Sie Konsumsi PPBI : part II)

   Warnet apa yang bisa kongkow dari siang sampai malam, bisa bikin kopi dengan kompor lapang, dengan tiduran maupun ngobrol serius??? dan, ditambah lagi... gratis. Apalagi kalau bukan kaaaampuuus... yepp, kampus Universitas Brawijaya, lebih spesifik lagi gazebo depan biologi, adalah tempat paling indah dalam menyusun acara PPBI 2013 ini. Mungkin, inilah satu-satunya jasa almamater saya dalam mendukung acara ini :D
   Tidak ada agenda khusus untuk kumpul bareng bertajuk rapat ini. Tiap anggota melakukan tanggung jawabnya sebagai 'pelancar' mencari sponsor, mbuh dia sie apa. Selagi kerja untuk mencari yang namanya duit, usaha publikasi terus dikipasi. Segala kesaktian merayu-rayu calon sponsor digunakan. Segala daya-upaya nggedabrus sudah digunakan. Apa yang bisa diusahakan, yo weslah, dikerjakan. 
   Lama-kelamaan, ketemuan-ketemuan semakin meningkat. Awalnya, ketemuan yang hanya dilakukan 1-2 minggu sekali untuk melaporkan progress, dan membahas langkah ke depan, semakin lama, hanya dapat jeda 2 hari, atau bahkan 1 hari. Ke-ribet-an, berlalu dalam hari-hari panitia. Syukurlah, sebagian besar ada dalam keadaan libur. Kawan-kawan Universitas Negeri Malang (UM) memang kebanyakan PKL (Praktek Kerja Lapang), termasuk salah satunya posisi vital: sekretaris dan bendahara. Wealah, untung yang bendahara PKL di malang saja. Kawan-kawan dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang banyak menempati bagian teknis, malah praktek mengajar... ampun. Berbagai kerjaan akhirnya terpaksa dirangkap-rangkap, ditekuk, diemplok sama-sama. Pokoknya, panitia tiba-tiba jadi multitalent lah... hehe,
   Semakin dekat, napas panitia makin kembang-kempis. Mbuletnya uang setan (karena adanya cuma angka), juga harus ditambah dengan onlen yang tiada henti. Jika pembaca melihat sarana publikasi acara yang selalu online (OL), itu dikarenakan server digilir saja. Siapa yang bisa, ya OL. Nah, warnet bebas ini memainkan peran besar. .Mau ngenet sampai dhobos wudele ya ndak papa. Namanya juga bebas, orang bisa bebas komen kegiatan kami. Mulai dari sekedar bertanya : "rapat tah?" hingga tatapan aneh yang tertuju pada panitia yang selalu penuh dengan kelakar. Secara khusus, karena banyak staf, dosen, mahasiswa (adik kelas) yang kenal saya, selalu tertuju pada pertanyaan-pertanyaan berikut:: lho,kowe kok ra megawe?", "kowe kok ra sekolah?", atau yang sarkastik: "gunamu nang kene opo?". Pertanyaan-pertanyaan yang hanya bisa saya jawab dengan senyum simpul....Saya yakin, tidak pernah ada seorangpun dari antara mereka bermaksud jahat atau saya yakin mereka hanya guyon semata. Mungkin juga ini menjadi pengingat, secara pribadi saya masih memiliki agenda hidup yang harus diperjelas. Artinya, PPBI bukan satu-satunya hal yang njlimet yang harus dihadapi: masih ada hari yang lebih rumit, dan hanya tunggu Tuhan menurunkannya untuk kita, sekaligus solusinya :D
   Kalau kami sumpek bahas kerjaan panitia, ya bahas sepakbola, tempat belanja murah, kuliner, pengalaman PKL, dan mungkin yang agak nggenah adalah jadwal pengamatan. Aah... berlama-lama di warnet bebas, membuat saya terkenang. Masa-masa dietrek-etrek, dianggap memiliki hidup nestapa karena tanpa status yang jelas (demikian tentunya dirasakan juga oleh para panitia lain). Wealaah... kapan kumpul di warnet bebas lagi? :)

Kamis, 05 September 2013

Angkringan Panas (Gacorane Sie Konsumsi PPBI : part I)

   Perkenalkan, saya adalah Sie Konsumsi sejati. Bukan karena pintar masak sehingga layak dijuluki Master Chef, tapi karena memang tukan ngempil makananan :D . Mungkin dari beberapa kawan sudah tahu tentang acara Pe-Pe-Be-I, atau lebih panjang lagi bernama Pertemuan Pengamat Burung Indonesia. Nah, di dalamnya saya sudah tersedot ke dalam lobang kepanitiaan yang kompleks dan mungkin tak sanggup diceritakan dalam dua episode sinetron. 
   Masih teringat jelas ketika beberapa anak malang diam di pojokan salah satu homestay Kaliurang, Jogja, pada tahun lalu, untuk mendengarkan celotehan para pengamat burung yang membahas banyak hal. Sekedar tersadar dari kantuk, nama-nama Malang tiba-tiba disebut-sebut. Lhoh-lhoh, apa ini? wealah, ternyata, mereka secara aklamasi memilih nama malang sebagai tuan rumah untuk PPBI tahun 2013. Sialnya lagi, arek-arek malang yang duduk di seberang (saya sendiri duduk di antara anak jogja, sendirian), malah ikut tepuk tangan sambil bersorak-sorai. Weh, pengkhianat ini namanya!
   Jadilah pada malam-malam bulan Maret, kami arek pengamat burung malang, yang lebih sering dicap :SERIWANG, menghabiskan waktu dengan berkumpul. Awalnya sih hanya ndobos tentang PPBI, terutama setelah ada susunan panitia. Sok ngerti masalah konsep, keblinger dengan masalah uang, weaaalaah... ketika dobosan kami sadari menghabiskan banyak konsumsi kalori, cafein, dan nikotin, akhirnya kami jadi ngantuk! Hoaahem.... malam-malam kelam tanpa hasil terus berlanjut. Mungkin, sekitar dua atau tiga minggu setelahnya, kami berhasil mengerucutkan sesuatu hal, termasuk pondasi penting dalam event ini: hubungi sebanya-banyaknya orang yang bisa mewakili, dan publikasikan segiat-giatnya. Masalah waktu, langsung kami tembak akhir agustus, padahal acara masih nol. Masalah wakil, keinginan kami hanya satu, yaitu membawa daerah-daerah itu untuk berbicara, menunjukkan eksistensi kegiatan pengamatan di daerah, dan tentu saja, kesan Java-sentris, atau bahkan Jogja-sentris, itu memudar. Dari sini kita harus tahu, bahwa keragaman informasi dari seputar nusantara masih perlu digenjot. Nanti bicaranya tentang apa? Saya hanya memberi satu kata : sembarang. Artinya, perwakilan nanti bebas berbicara tentang temuan baru, progress komunitas di daerahnya, kegiatan pengamatan, spesies-spesies yang menarik, atau apapun lah, selama temanya masih burung di daerahnya. Dari para panitia mungkin hanya bisa berharap, nantinya ketika mereka bicara, mindset para pengamat burung bisa terbuka, bahwa sebenarnya Indonesia itu luas brooo.... tidak tergambarkan ketika mereka upload foto atau info di facebook saja. Dengan membawa orang-orang asli dari daerah itu, niscaya, ke depan sharing informasi semakin akrab, lancar, dan makin kental nuansa Indonesia. 
   Nama-nama pun kami kantongi, semuanya dihubungi. Kriteria utamanya adalah: pengamat burung, termasuk kawakan, dan kalau bisa... muda. Oleh karena itu, banyak dari beberapa kawan perwakilan yang hadir merupakan anak gahoool. Hanya sebuah harapan, ketika yang muda-muda ini sudah benar-benar senior, mereka akan menggantikan nama-nama legenda yang sampai bosen didengar oleh kaum pengamat burung. Pondasi pertama digarap, lalu pondasi kedua juga akhirnya beranjak digarap, yaitu dana. Whealaaah, yang satu ini saya serahkan ke teman-teman yang lebih ahli (saya kan sie konsumsi). Yang pasti, jatuh bangun untuk sekedar mendapatkan diskon dan sumbangan barang itu susahnya minta ampun. Mungkin, memang benar kata Mas Swiss, kita itu tidak dikenal oleh masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan aneh mirip:"apa itu pengamat burung? atau, ini logonya burung apa ya?", selalu mampir di telinga. Weh-weh, belum lagi prediksi kenaikan BBM yang akan datang sebentar lagi, membuat kami mikir sampai uraten. Tak sanggup rasanya memutuskan kontribusi itu sebesar 150 ribu. Dhuh, meskipun mereka bisa nabung dulu toh, kami tetap penuh keterbatasan, tidak ada beking, dan sampai-sampai ndak enak tenan. Namanya juga sebagian besar calon peserta masih mahasiswa. 
     Dari sini kami benar-benar gelap. Apa yang bisa dikerjakan, langsung dikerjakan saja. Dua pondasi utama yang dikejar, tetap diimbangi dengan doa: mugo-mugo, nanti acaranya bisa benar-benar menjadi wadah pengayom, silaturahmi, dan ada sesuatu yang clear, dapat dihasilkan untuk masa depan pengamat burung di Indonesia. Angkringan Pak Klaten ini jadi saksi bisu anak-anak muda yang ngobrol ngalor-ngidul. Makin hari makin panas: panas kopinya, panas gorengannya, dan akhirnya... panas juga harganya setelah BBM harganya dinaikkan. Wheladalah, terpaksa angkringan yang jadi rumah kami selama ini, harus ditinggalkan pada bulan Juli itu...