the biodoversity

the biodoversity

Sabtu, 13 Desember 2014

Merayakan Cinta Bersama Sang Rimba (III) - Tamat


   Tidak ada yang lebih nyesek bagi saya, ketika harus dengan sangat terpaksa, menggunakan kanca-kredit. Yup, Kanca kredit adalah keterpaksaan tingkat tinggi untuk memohon seorang kawan meminjami kita. Dalam kasus di lapang, ini bukan masalah uang. Ini adalah masalah kebutuhan yang pada saat itu, tidak terbeli dengan saya karena... saya tak lagi memiliki uang cukup. Jadi, para kanca-kredit membelikannya untuk saya (Jane podo wae yo, hahaha).
   Ketika saya di Bandealit, saya men-dompleng kegiatan pemasangan kamera trap. Sebagai pengalaaman pertama, saya patuhi setiap nasehat dari para suhu, terutama mengenai perlengkapan pribadi. Sepatu siap, namun ternyata harus menggunakan kaus kaki. Dari tabiat mereka, para senior, yang berangasan ketika hidup di dunia normal, lalu harus menggunakan kaus kaki seperti anak SD di saat masuk hutan, tentu saya menyadari kaus kaki adalah kebutuhan luar biasa. Lalu uang darimana? Saya ingat betul, 20 ribu di tas untuk jaga-jaga perjalanan pulang nanti. Dan saat itulah, tanpa dinyana, kaus kaki panjang baru berwarna hitam putih menjadi milik saya akibat kanca kredit.
   Masih di dunia Bandealit, ketika harus makan nasi bungkus, dan uang saya tinggal 5 ribu rupiah, maka nasi bungkus itu tetap saya konsumsi akibat kanca kredit. Belum lagi atas kebaikan resort Bandealit yang kapan pun ketika saya di sana, tidak pernah mengurangi hak makan bagi saya. Beras, sayur, tempe, gula, kopi, teh, dibeli untuk makan di sana. Benar-benar bagaikan sebuah keluarga. Bahkan saya teringat sebuah ucapan Bapak Tua penghuni resort Bandealit : “di sini kita semua tidak boleh lapar dan haus. Jika nasi habis, ayo masak lagi”. Tidak pernah kurang kebutuhan hidup saya di sana... Paling-paling saya hanya bisa membalasnya dengan membeli bawang atau obat nyamuk di warung. Itu pun kejadian yang sangat langka.
   Lain lagi di Sukamade, saya benar-benar menaruh hormat dengan para punggawa sukamade. Mungkin satu-satunya hal yang membuat saya ‘kurang bebas’ adalah masalah penyu dan wisata. Yupp, siapapun, yang hadir di Sukamade, akan bekerja sebagai penyuersss dan pengelola wisata. Tidak masalah memang, karena itu juga merupakan kesejahteraan. Namun, berapapun manusia di Sukamade tak akan pernah cukup untuk mengelola wisata di sana (rasanya, semoga saya salah, hehe).
   Di sana, selain kebutuhan makan dll tercukupi, saya bersyukur karena kebaikan kawan-kawan, saya mendapatkan pendapatan pertama (hehe) sebagai guide atau penyueerss yang membantu wisata pengamatan penyu di malam hari. Tidak ada yang lebih mengharukan daripada ini, karena kebutuhan dana perawatan kamera yang mengalami kerusakan di Bandealit (sampai 2 kali), akhirnya terselesaikan. Selain itu, saya juga bisa sedikit menabung, di samping digunakan untuk membeli buku, bensin atau perawatan motor.
   Saya tentu mengingat akan jasa-jasa baik ketika ada yang mengajak saya makan di warung, membelikan saya onderdil motor, memperbaiki kerusakan motor, atau sekedar memberikan buah-buahan. Bahkan yang lebih trenyuh, adalah kondisi kita yang sama-sama kere, hehe.. Tapi sejujurnya, anda kaya dalam berkah..

Tak terkira pertolongan Tuhan melalui tangan-tangan sampeyan kepada saya setahun ini. Dari mulai saya celingukan mengais-ngais foto burung, sampai jadilah sebuah tulisan tentang burung-burung di Meru Betiri. Dari nama burung lokal, menjadi 189 jenis burung eksotis yang telah memiliki standar IOC World Bird List versi 12. Baik nanti, ketika saya ada di Taman Nasional ini atau tidak, dalam pekerjaan apa pun, sungguh tak terlupa jasa kanca kredit ini. 



Merayakan Cinta Bersama Sang Rimba (II)



   Bulan Maret, siapa yang mengira akhirnya status saya akhirnya dipertanyakan?Ya, status tentang ke-volunteer-an saya dipertanyakan. Mungkin seperti saya bilang, saya dengan asyiknya bludas-bludus seperti masak kandang kebo saja. Bagi sebagian orang yang percaya kesaktian tata-pranata perijinan, tentunya ini adalah dosa besar. Begitu saya masuk ke SPTN I Sarongan, seseorang bertanya: 

“Kamu ada perlu apa? Ada kegiatan apa?”

   Sebisa mungkin saya menjelaskan, siapa, dan seperti apa status saya. Juga saya berikan penjelasan bahwa saya tidak memegang surat apapun yang dijanjikan oleh pihak balai hingga saat itu. Namun, rasa tidak puas terpancar dari wajahnya yang sudah berusia. Sekali lagi, beliau, dan mungkin teman-teman lain yang menanyakan di lapang tidak salah. Yang salah adalah... siapa?
Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak lagi kembali ke SPTN tersebut tanpa ijin tertulis, meskipun itu adalah dengan ijin lesan dari kepala balai sekalipun. Dalam hati, saya judreg bukan main. Di satu sisi, adakah orang bodo, sebodo-bodonya orang itu, yang baru saja selesai studinya, meninggalkan status fresh graduate-nya, untuk membantu sebuah taman nasional berluaskan 58.000 ha, yang data reptil saja hanya 4 jenis? Dan data burung sudah usang tahunan tidak ter-update, bahkan beberapa nama-nama ajaib macam ‘Larwo’ dimasukkan dalam super-database tersebut? Hal yang juga disinggung-singgung oleh dosen orang bodo itu, menyindir mentalitas idealisme buta yang dipakainya. Sebisanya orang bodo itu mau membantu tanpa dibayar. Itu saja akhirnya harus ditolak di lapang. Kesal bukan main rasanya...
   Namun, intinya bukan di sana, saudara. Ternyata Tuhan memakai kejadian ini untuk mulai memperhatikan ‘legalitas’ sebuah hitam-di-atas-putih. Kejadian ini mengajari saya untuk tidak membenci sesuatu berlebihan. Saya sangat membenci birokrasi, itu yang membuat saya tidak sabar menunggu surat keterangan volunteer tersebut, dan melaju ke Bandealit di tahun 2013 lalu. Namun, kebencian saya menumpuk menjadi sikap apatis terhadap surat itu, hingga kejadian itu akhirnya terjadi.
   Di Balai, tak ada suatu halangan yang berarti. Surat itu ternyata tidak diproses selama ini karena... lupa. Namun, dengan penuh ungkapan maaf, pihak balai (dalam hal ini, KSBTU), membuatkannya dalam hitungan 5 menit. (Serius, saya melihat jam pada saat itu.. hehe). Saya maklum, beliau maklum, dan semua keluarga TNMB maklum. Beratnya permasalahan di sebuah Taman Nasional membuatnya tidak mungkin untuk mengingat segalanya. Lagipula, beliau juga berkatta seharusnya terdapat semacam pemberitahuan khusus ke resort yang saya tuju (hal yang sama juga diucapkan oleh Kabalai sebulan lalu, meskipun hingga sekarang surat itu tak pernah ada, hehe). Saya pikir, besarnya perhatian dari pihak TN untuk saling mendengar di hari itu adalah sebuah harapan akan dimulainya maha-karya yang baru.
   Dalam hati, saya teringat akan apa yang saya doakan di Bandealit, dan tanah-tanah yang saya pijak. Sikap trenyuh akan kondisi sato-kewan dan tetanduran yang makin rusak di bumi nusantara ini, siapa yang dapat menahan? Tidak mungkin saya hidup untuk memperkaya diri sesuai kebutuhan hidup yang sementara ini. Karena bagi saya, tempat saya bukan di Bank atau di dalam kantor asisten yang ber-ac. Tempat saya adalah serasah daun winong serta tumpukan kotoran rusa. Terbersit sebuah keinginan untuk bekerja sebaik-baiknya, apa yang saya bisa untuk Taman Nasional ini. Saya ingin mengabaikan segala kecewa karena tidak dipenuhinya hasrat dan hak karena pekerjaan ini, tetapi sebagai manusia, sesekali saya tak dapat menolaknya. Yang saya bisa adalah terus berbenah, dan bekerja lebih baik lagi, dan lagi.

Diiringi mendung desember,
titi-wancine jawah... mengingat akan pengembaraan di maha-karya Gustine tiyang pracaya..




Selasa, 04 November 2014

Merayakan Cinta Bersama Sang Rimba (I)

Saya teringat masa-masa pait manis perjalanan yang ternyata sudah satu tahun. Dibilang panjang, kok sebenarnya ndak sama sekali, hahay...

Awalnya memang saya mengajukan diri sebagai tenaga kesukarelaan di Taman Nasional Meru Betiri. Saya masih ingat betul yang menerima adalah Mas Dodit, yang belakangan adalah salah satu PEH senior di sana. PEH jebolan UB ini menanggapi dengan serius permintaan saya untuk mengajukan volunteer tersebut. Syaratnya memang sangat klasik : Tidak menuntut A, tidak menuntut B, namun dari kesemuanya, saya tidak ambil logika panjang. Yang penting, hasrat saya untuk mencium aroma rimba Meru Betiri akan segera terwujud. Itu saja pikiran polos saya, hehe. Walaupun dengan demikian, korbannya adalah status fresh gradute bla-bla-bla yang sebenarnya sangat menggiurkan untuk dikomersilkan (dalam hal ini, beberapa kawan dan seorang dosen sangat menyayangkan tindakan saya untuk masuk ke dalam volunteer). Apakah langkah ini terburu-buru? Tidak menurut saya, karena saya sudah ngimpi-ngimpi untuk menjadi bagian yang hidup di dalam taman nasional ini sudah cukup lama. Beberapa kali mengunjungi Meru Betiri di saat kuliah, membuat saya benar-benar jatuh cinta. Beberapa diantaranya sangat membekas hingga saya mengabadikannya dalam sebuah tulisan di blog bertanggal 14 Desember 2012. Bahkan, ketika belakangan saya baru ngeh dengan segudang permasalahan di sana, toh saya tetap jatuh cinta dengan menghabiskan ribuan frame foto, belajar identifikasi burung, njengking motret rafflesia, anggrek, capung, dan lain-lain. yah, namanya saja sudah jatuh cinta... :3

Setelah menggarap tulisan lamaran tersebut, hati saya benar-benar terusik karena sama-sekali tidak ada surat keterangan yang kemlawir datang sebagai balasan. Katanya sih sudah diproses, tapi entahlah.. Demi melupakan itu, ikutlah saya sebagai salah satu tim huru-hara acara Gelar Foto Konservasi (GFK) di Bandealit. Singkatnya, Mas Heru (dan entah siapa lagi) menceritakan kalau baru saja memotret yang namanya Elang Jawa. Pada saat itu, Meru Betiri sangat minim dengan informasi keberadaan elang yang paling dicari di seantero jawa ini (katanya PHKA sih). Langsung saja menanggapi hal itu, perburuan di lokasi temuan dilakukan. Namun apa daya, rupanya hingga acara berakhir, tak ada tanda-tanda kemunculan elang itu lagi.

Berbekal dengan rasa penasaran yang teramat tinggi, seminggu berikutnya yang sudah masuk bulan Desember, saya nekat untuk berburu Elang Jawa. Pada dasarnya, saya tak memiliki 'kuasa' apa-apa untuk masuk ke dalam kawasan, karena sama sekali belum memegang surat keterangan. Berbekal dengan mulut nyonyor, akhirnya semuanya tanpa masalah. Bahkan, saat itu di depan Pak Dedy (kepala resort Bandealit saat itu), saya menceritakan kalau saya sedang monitoring elja, mendahului tim PEH yang memang rencananya akan melaksanakan kegiatan (padahal kegiatan itu masih 1 atau 2 bulan lagi, hahaha). Ndak papa lah, demi sang elang jawa yang keburu hilang jika tidak segera diamati :D

Ceritanya hingga ketemu Elang Jawa di sini

Mungkin, saking nyamannya ketika tinggal di Bandealit, saya tak lagi mengurus surat ke-volunteer-an saya. Pikir saya : Biarlah, ketika saya berbuat sesuatu untuk membantu Meru Betiri, mana mungkin saya dipersulit. Jadi, hingga Juni, saya masihlah orang ilegal dan tukang nyuri poto hewan-hewan sexy di Meru Betiri :D


Jumat, 26 September 2014

Sepuluh tahun kita berumah tangga....

"Sepuluh tahun sudah, kita berumah tangga.... tapi tak kunjung jua, mendapatkan putera......"

Ini lagu dangdut asuhay yang sering diperdengarkan kawan kost saya ketika di Malang. Memang, sebagaimana Dubes India, beliau sangatlah wajib meperdengarkan lagu-lagu khas tiap pagi dan malam hari. Lamat-lamat, saya terngiang lagi ketika meresapi kejadian-kejadian bersejarah belakangan ini. Apa itu? Tentunya njenengan yang memiliki twitter, tv, sampai radio bisa menyaksikan bagaimana DPR mengesahkan Pilkada digelar secara tak langsung.
Weh, lalu kenapa bersejarah? yo jelas... ini adalah pertamakalinya setelah era reformasi digulirkan, dan ditendang rezim bapak SBY, pemilihan akan dilaksanakan lagi secara tak langsung. Bukan asal tunjuk dari pemerintah seperti jaman Mbah Harto, tapi sekarang dirumuskan oleh DPR. Yupp, di kota, kabupaten, dan provinsi. Suatu sistem parlementer yang sangat dikenal di Internasional sebenarnya. Look: di Jepang, India, Inggiris, bahkan kepala pemerintahan harus menghadap parlemen untuk mempertanggungjawabkan segala pemerintahannya. Namun, keadaan mereka baik-baik saja kan? tetap nilai mata uang mereka lebih tinggi, hehehe. Lha bagaimana kalau diterapkan di Indonesia? yaah, kita harus berkaca dulu dengan kondisi parlemen kita, atau anda sebut saja sebagai DPR. Berapa banyak dari mereka yang ada di sana karena memikirkan rakyat, atau sengaja karena mereka mencari ceperan? gaji mereka besar, dilengkapi tunjangan yang mewah-mewah... itu fakta. Kenyataan lain yang baru-baru terjadi adalah penggadaian SK pengangkatan mereka untuk mendapatkan hutang... untuk apa? silahkan berargumen sendiri. Namanya manusia, di dekatnya banyak uang cetakan merah, maaf, hanya takut mereka kepleset. Ketika mereka suka sekali 'studi banding' di luar negeri, apa yang ada di benak kita... saya sendiri tidak mau curiga, tapi apakah kita tidak layak curiga? apakah kita tidak berhak untuk was-was. Bagaimana jika, jalan-jalan di kampung rusak dan tidak diperbaiki? bagaiamana jika infrastruktur pertanian kurang? lalu, lalu, lalu... manusia-manusia kurus berdemo menuntut bupati mundur. Lalu... Bupati disidang di DPR... lalu, Bupati itu masih menjabat sepuluh tahun.....karena, karena, karena Bupati itu telah....

ah, sepuluh tahun, akankah menjadi kenangan?

Senin, 08 September 2014

But-but-but... Nasib Si Bubut dan rumahnya di Meru Betiri

Bubut, atau kawan saya kelewatan memanggilnya dengan nama butbut, adalah anomali anggota cuculidae yang bersifat terestrial. Tidak menarik memang, karena warna badannya saja suram, dan suaranya tidak merdu serta cenderung monoton. Namun, cukup menarik karena salah satu anggotanya dari 3 jenis bubut berstatus 'vulnerable' alias terancam. Jenis ini adalah Bubut Jawa (Centropus nigrorufus), yang dari namanya saja kita sudah mengira bahwa burung ini adalah endemik pulau Jawa. Sebarannya tercatat cukup terbatas, seperti pesisir dan muara Jawa Barat, Banten, Jakarta (Mackinnon dkk., 2010), Mojokerto (Budi, 2014), Baluran (Winnasis dkk., 2011), serta di beberapa lokasi dataran rendah di Jawa lainnya.
Untuk mengenalinya, selain dari dokumentasi yang jelas, bubut harus diamati dengan teliti, karena tantangannya adalah burung ini sering sensitif ketika melihat manusia. Sebagaimana khas burung terrestrial, menyembunyikan diri secepat-cepatnya adalah andalannya dalam mempertahankan diri. Jadi, jika kita kurang cermat (sering seperti saya, hehe) dalam memperhatikannya, maka... zonk.

***

Nah, ada banyak foto yang terkumpul ketika saya mbladhus ke Bandealit atau Sukamade. Tantangannya sekarang adalah, berdiskusi tentang nama masing-masing hasil foto tersebut. Kepada siapa? kepada Pak Imam T. yang melegenda dan sanggup membimbing birder amatiran seperti saya, wkwk... mari kita lihat penampakannya.

1. Bubut Besar / Greater Coucal / Centropus sinensis


Foto ini sebenarnya tidak asing lagi karena saya sudah pernah menulisnya di sini. Lokasinya masih di seputaran Bandealit, yaitu pos - feeding ground Pringtali. Namun, awalnya saya mengira jenis ini adalah Bubut Jawa, hehe... Namun, segera menyadari kesalahan yang dibuat, jelaslah ukuran dan warna punggungya sangat khas. Selain itu, ekornya lebih panjang jika dibandingkan dengan Bubut Jawa dan Bubut Alang-alang.


2. Bubut Alang-alang / Lesser Coucal / Centropus bengalensis
Jenis bubut yang paling banyak ditemukan di daerah TNMB. Maksudnya, hampir di lokasi pengamatan yang 'ada bubut', si alang-alang ini muncul lebih dulu. Kemungkinan mereka menginvasi habitat bubut lainnya ya? hehe... Sejauh ini, pengamatan di Malangsari, Sanen, Bandealit, Rajekwesi, Sukamade menunjukkan spesies ini hidup dengan baik di berbagai habitat : dataran rendah, semak pantai, kebun, padang ilalang tepi sungai. Ukurannya yang kecil, menurut saya, menjadi tolak ukur utama ketika burung ini sepintas terlihat. Selain itu, ekornya pendek, dan bulunya khas mirip Bubut Besar, tapi sekali lagi, ukurannya kecil, sekitar 40-42 cm.




 3. Bubut Jawa / Javan Coucal / Centropus nigrorufus
Ini dia jenis bubut yang memiliki status 'artis'. Dari badannya, sangat tidak menarik untuk dilihat : lebih kotor, terutama pada penutup sayap. Makanannya hampir sama dengan  jenis bubut lain, dan tidak pilih-pilih, mulai dari kelabang, katak, telur burung, bahkan ular pohon juga dilahap. Belakangan, kakak ganteng bernama Nurdin Setio menemukan bahwa Bubut Jawa juga memakan padi di Mojokerto (Budi, 2014). Sayangnya, untuk hidup, Bubut Jawa lebih pilih-pilih. Alasannya ya tidak tahu... hehe. Namun, dia sangat gemar hidup di rawa-rawa air tawar, mangrove seputar pesisir. Dosa burung endemik ini adalah memilih tempat yang sekarang cocok untuk pengembangan bisnis properti dan pertanian, hehe... ckck.

Dari semua foto yang saya cek, ternyata kok saya ada rasa penasaran tentang foto ini. Setelah dijebret, pada hari itu juga saya mencatat bahwa ini temuan pertama saya dengan Bubut Besar di Bandealit. Tapi berpikir selama beberapa menit, belakangan catatan itu saya coret dan terganti dengan nama Bubut Jawa. Punggungnya sih hitam meles... tapi kok... penutup sayapnya tidak gelap? Penasaran pada saat itu tertumpuk dengan pikiran sok sibuk lain, hingga hari dimana saya ngrekap data. Fix ini, saya yakin... 60-70 persen ini bukan Bubut Besar. Selain ukurannya yang lebih kecil, punggungya benar-benar hitam. Kalau masalah sayap, kok nampaknya sih ada sedikit kusam. Pilihan masih jatuh pada Bubut Jawa. Ah, sayang ini hanya dijepret sekali, karena rupanya burung ini cukup pemalu. Tak ingin memecahkan masalah sendiri (karena ngga mudeng), langsung foto ketiga jenis bubut saya kirimkan ke Pak Imam Taufiqurahman.
Jawabannya adalah : "Sepakat gung..." jadi sudah ada lampu hijau. Selain itu, Pak Imam juga menjlentrehkan beberapa pedoman identifikasi bubut, termasuk kenapa burung di foto tersebut dimasukkan ke dalam Bubut Jawa.
Nah, ada foto lain lagi dengan kualitas yang amsiong punya, tapi rasanya jelas seperti inilah penampakan Bubut Jawa:



***

Demikianlah para budiman sekalian. Walau burung-burung di atas dianggap orang sebagai 'tidak menarik', atau 'kurang bermanfaat', nyata-nyata bahwa mereka tidak berdaya terhadap manusia. Memang tidak diburu, tapi habitatnya selalu diinvasi, diuruk, dijadikan mall dan perumahan. Peraturan pertama : manusia selalu menang. Peraturan kedua : jika hewan ingin menang, maka ingatlah peraturan pertama.

Maka dari itu saran saya, jangan ikut-ikut mendukung, atau bahkan mendirikan rumah dan mall di tepian sungai atau rawa-rawa. Karena selain merusak sarang bubut, saya jadi tidak bisa memancing mujaher atau tawes. Lagian saya ndak percaya sampeyan mendirikan mall di tepi sungai brantas :p
Saran saya lagi, kalau anda sedang piknik di tepi sungai, jangan lupa bawa binokuler. Siapa tahu anda dapat mengamati orang mandi sekaligus Bubut Jawa yang sedang mandi juga, hehehe...






contekan :
Budi, Nurdin Setio. 2014. Sunda Coucal Centropus nigrorufus eating young rice seeds. Kukila 17 (2)
MacKinnon, John, Karen P., dan Bas van B.. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan              Kalimantan. LIPI
Winnasis, Swiss, Sutadi, Achmad T., dan Richard N. 2011. Birds of Baluran National Park. TNB.

Also :
Kutilang Indonesia (http://www.kutilang.or.id/ )


Minggu, 07 September 2014

Menengok Raport Raptor Meru Betiri

Ketika saya tanya pada orang-orang berumur di resort, entah dimanapun, tentang hal-mushawal mengenai burung, seringkali jawabannya hanya gelengan lemah atau gumaman saja. Adapun beberapa persen dari mereka hanya mampu menyebutkan nama-nama lokal yang membuat saya memutar otak. Setelah otak diputar seperti diesel do peng, maka didapatlah nama burung itu dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, hehehe.
Oleh karena itu, jika bukan karena Elang Jawa, maka burung-burung di Meru Betiri (atau di tempat lain juga?) tidak akan 'terselamatkan', tertutup oleh longsoran DUPAK, laporan RBM, pelaporan titik, atau laporan kejadian pelanggaran. Saya pikir, di sisi ini, elang artis ini menjadi pahlawan juga, karena telah menyelamatkan kaum burung dari kuburan ketidaktahuan, sehingga mau tidak mau, harus ada kegiatan untuk menemukan bocah berjambul ini.
Nah, kali ini mari berkisah dengan tempat-tempat ajaib di Meru Betiri yang telah mencatatkan nama-nama raptor. Tidak terlalu banyak memang, namun, untuk sebuah kawasan bergunung-gunung seluas 58.000 hektar, it s not bad broo... (menghibur diri :p )

1.Pringtali, Bandealit


Tempat ini adalah tujuan notok wisata di bagian barat TNMB. Sebenarnya, masih ada lagi Pantai Nanggelan di resort Wonoasri, lebih ke arah barat lagi. Namun, pantai ini yang paling oke di kawasan barat. Lokasinya tentu saja pantai, muara, perkebunan - ladang (enclave), hutan, dan juga tepian hutan yang berbatasan dengan enclave. Beberapa temuan Elang Jawa terdokumentasikan di muara barat serta muara timur. Masing-masing merupakan individu dewasa. Sangat terkaget-kaget ketika koridor pengamatan raptor dibuka pada bulan Desember 2013 di daerah feeding ground Pringtali. Berikut merupakan catatan lokal temuan di sana:
1. Elang Jawa
2. Elang Hitam
3. Elang Perut-karat
4. Elang-laut Perut-putih
5. Elang Ular-bido
6. Elang-alap Jambul
7. Sikep-madu Asia
8. Alap-alap Capung
9. Alap-alap Kawah
10. Alap-alap Sapi

Kurang banyak? mungkin iya, jika dibandingkan dengan lokasi-lokasi di taman nasional lain yang lebih terbuka dan kering. Namun, Pringtali, cukup menjanjikan juga untuk pengamatan raptor. Di suatu waktu, lalu lintas raptor di sana sangat padat. Bisa jadi dalam 1 hari 10 jenis tersebut muncul bergantian. Kita tinggal tiduran di rumput mencari naungan, dan memasang mata mengawasi perbukitan yang masih perawan hutannya. Selain itu, hal yang menarik adalah adanya catatan breeding dari raptor tersebut, antara lain Elang Jawa (Desember '13-Februari '14) dan Elang Perut-karat (Maret 2014). Temuan Sikep-madu Asia sendiri terdiri dari ras lokal dan ras ruficolis (migran dari kawasan Asia Selatan). Ini adalah surganya raptor di kawasan barat :D

2. Lahan Rehabilitasi, Rajekwesi 

Nah, rajekwesi adalah pintu gerbang menuju wisata utama TNMB seperti green bay atau Sukamade. Letaknya adalah tepat di timur, berbatasan dengan Kecamatan Pesanggrahan. Tidak ada yang lebih menarik daripada mengamati raptor di sini. Sayangnya, waktu yang sering terbatas (atau juga rasa malas?) membuat kawasan ini tak ter-eksplorasi sempurna.
Lahan rehabilitasi sebenarnya adalah bukit-bukit perbatasan yang telah disulap menjadi ladang. Semenjak diberikan kepada pihak Taman Nasional oleh perhutani, demikianlah keadaannya : jati sudah tidak ada, hanya tinggal ladang-ladang terbuka. Namun, keadaan seperti ini malah memberikan sisi positif untuk pengamatan raptor. Beberapa temuan yang tercatat adalah:
1. Elang Jawa
2. Elang Hitam
3. Elang Perut-karat
4. Elang-laut Perut-putih
5. Elang Ular-bido
6. Elang-alap Jambul
7. Elang Brontok
8. Sikep-madu Asia
9. Alap-alap Capung
10. Alap-alap Sapi
 Yang menarik adalah kecurigaan saya akan lokasi ini sebagai lintasan raptor migrasi. Sulit memang memantaunya secara berkala, namun cukup menggairahkan dengan adanya temuan Sikep-madu asia yang mondar-mandir di sini, baik ras lokal, maupun ras migran orientalis. Sekedar cerita, TNMB sementara sangat miskin dengan data pengamatan migrasai burung, baik raptor maupun burung pantai. Apakah mereka melaju di Jatim bagian utara saja, lalu di bagian tengah dan selatan menjadi terpencar? Aneh, padahal di Alas Purwo, bagian tanjung Banyuwangi (tenggara), cukup kaya dengan catatan burung pantai migran. Ah, entahlah... mungkin, di lahan rehabilitasi ini masih tercecer harapan untuk menemukan 'barang langka' semacam Elang-alap Cina, Elang-alap Jepang, atau bahkan si pengembara : Elang-ular Jari-pendek

Lalu bagaimana dengan yang lain? Tenang, semua pasti dapat kesempatan, baik Kalibaru, Sukamade, Sanen, atau yang lain-lain. Raptor tidak akan pernah ada habisnya, sama seperti burung-burung sak-jenthikan. Misalkan saja Sukamade, spot raptor di sana berganti-ganti alias tidak 'resmi'. Lokasi seperti sebrangan atau patok 9 memang terkadang kaya akan jenis, namun sering juga sepi akan jenis. Jika beruntung malah mendadak bertemu dengan Sikep-madu Asia bertengger, Elang Brontok bertengger, atau Elang Perut-karat yang soaring santai di atas gubuk. Di Sukamade sendiri prestasi puncak pengamatan raptor tidak lain adalah penemuan sarang Elang Jawa yang telah diberi nama Sisuka, hehe.. Namun, jika tanding ilmu kanuragan antara Sukamade - Rehab Rajekwesi - Pringtali Bandealit, saya masih berani masang taruhan untuk 2 lokasi terakhir. Yah, begitulah, ada kelebihan, ada pula kekurangan. Suatu saat, semoga lah ada kesempatan dan dibangkitkan nurani kita untuk mengeksplorasi burung-burung di sana :)



Meru Betiri, Gak ono matine rek... :D

Senin, 11 Agustus 2014

Sesep Madu dari Sukamade

Yupp... di sinilah saya hendak bercerita tentang famili sesep madu, yakni Nectariniidae, yang anggotanya telah menghiasi lembar-lembar list pengamatan saya di Sukamade. Bahkan, pengamatan minggu lalu menyatakan bahwa jumlah nectariniidae yang ditemukan di resort terpencil ini melonjak lagi 1 jenis. Kejadian ini berkaitan tentang temuan Burung-madu Belukar di tepian jungle track. Berikut penampakannya:

Betina Burung-madu Belukar

Jantan Burung-madu Belukar

Bagaimana? very noise kan? kakakak....oke... pemotret amatiran ini memang masih perlu belajar banyak untuk mengoperasikan 1100 D tuwirnya. Saat teramati, burung ini berkelompok dalam jenisnya. Jumlahnya mungkin 6 hingga 8 ekor dan saling berpasangan.

Anyway,  jumlah sesep madu di meru Betiri mencapai:
1. Burung-madu Kelapa
2. Burung-madu Belukar
3. Burung-madu Sriganti
4. Burung-madu Jawa
5. Pijantung Kecil
6. Pijantung Besar
7. Pijantung Gunung

Semoga masih berlanjut lah, hehehe...

salam dari rumah penyu :D

Sabtu, 02 Agustus 2014

Caladi Tikotok : cerita dari Baluran ke Sukamade

  Mendengar nama burung ini pertama kali adalah saat Mas Nurdin dan antek-anteknya memborong hadiah Baluran Birdwatching Competition (mbuh yang ke berapa). Kala itu, samar-samar saya mendengar bahwa Kang Swiss sebagai pemangku adat sampai terbuai dengan temuan sarang si burung pelatuk kecil ini di Kacip. Lalu, kesempatan melihat secara langsung adalah di TNAP saat mengantar rombongan praktikum lapang. Cukup berjumpa saja, fotonya engga.. haha. Nah, kalau di Meru Betiri.... (blank)
   Awal cerita, adalah kedatangan kawan-kawan Biologi UIN Sunan Kalijaga (Jogja) yang berada di bawah bendera PKL mereka di bulan januari. Sungguh tak terduga, Sigit, salah seorang dari mereka membawa foto burung yang bernama latin Hemicircus concretus ini ke hadapan saya.
   "Waduh, saya malah belum dapat fotonya..." batin saya ngenes
Saat dimasukkan DPO Bandealit pun burung mungil ini belum juga nampak. Whalah... dengan mengibarkan bendera setengah tiang, saya pun harus ngemis minta foto ke Sigit, hehe.
   Namun, penantian rupanya berbuah manis. Di bulan Mei-awal Juni, 3 kali temuan di jungle track Sukamade membuat saya meyakini bahwa burung ini lebih lumrah di sana dibandingkan di Bandealit. Sayangnya, selalu saja Caladi Tikotok bersifat autis, sehingga susah sekali difoto. Baru pada akhir Juni burung ini malah mampir di belakang pos. Rumornya, ini karena jompa-jampi Mas Kukuh-Mas Nurdin yang saat itu bersama antek-antek Biolaska berkunjung di sana. Ah, tapi rumor ini terpecahkan juga. Buktinya, ayah-ibu-anak secara bersamaan terpotret pada minggu berikutnya di tempat yang sama, setelah mereka semua pergi, haha.. modharo.. 
    At last, keluarga bahagia si Caladi tak lagi menyapa saya. Sesekali terlihat dari kejauhan di tempat yang berbeda. Di lain kesempatan pun hanya terdengar suaranya. Ah, tak pernah bosan melihatmu baik-baik saja :)

Catatan:
Burung pelatuk ini menyandang gelar Least Concern versi IUCN. Meskipun disebutkan sebagai umum di Kalimantan dan Sumatra, namun burung ini tidak umum ditemukan di Jawa. Dalam versi IUCN juga, Population trend Caladi Tikotok juga cenderung menurun.


Matur suwun kepada :
1. Kawan Biolaska untuk pendokumentasian awal di Bandealit
2. Kawan Biolaska + mas Kukuh yang sudah menemani birding  di Sukamade.

Betina Caladi Tikotok

Jantan Caladi Tikotok

Remaja Caladi Tikotok






Jumat, 01 Agustus 2014

Yess... 1 DPO ketemu!

   Sejak semula, ayam hutan merah sudah dijadikan target utama. Maksud saya, ya mulai dari pertapaan saya di Bandealit. Bahkan cerita orang lokal yang biasanya supralebay kali ini juga setuju dengan saya : burung ini langka. Saya pikir, di Meru Betiri spesies ini lebih langka daripada Elang Jawa. Apalagi habitatnya rumit, serumit hubungan jomblo *ehehehe.
   Tidak ada yang mengira, perjumpaan saya dengan hewan cantik bernama latin Gallus gallus ini ada di Sukamade. Semenjak para punggawa UPKP yang berdinas di sana mengaku (sampe berani sumpah pocong) melihat 2 ekor hewan yang saya cari beterbangan di jalur pantai tahun lalu. Tak semudah itu saya percaya, saya ngiming-ngimingi hadiah bagi siapa saja yang menemukan, dan memberi bukti foto. Tinggal pilih : rokok 1 pak atau coklat Silper kuin. 
   Alhasil, saya harus menelan ludah karena semenjak hutan mengalami pancaroba beralih ke kemarau di awal Juli lalu, Mas Juna seperti kesurupan memberi tahu saya kalau ada Ayam-hutan Merah di Sukamade. Tidak tanggung-tanggung kurang ajar, katanya burung ini thoker-thoker di tempat pembuangan telur penyu busuk, tepatnya di samping kantor. Meskipun mas Eko juga akhirnya menunjukkan fotonya yang lebih mirip gumpalan plastik, itu sudah membuat saya tidak bisa tidur. And the last... saya mendapatkan foto si cantik ini di hari-hari berikutnya :)

Selamat untuk CB (sebe), bro dari F Kelautan Undip dan Mas Eko yang mendapatkan coklat silper kuin masing-masing 1 batang.




Jumat, 04 Juli 2014

Sajak Misuhe Gusti

....
Nuswantara gonjang-ganjing. Tanggale podo, wulane podo. Ning manungsa wus kelangan kamanungsan. Punakawan mudhun gunung, ora malah andum pitutur becik, ning malah mabuk ciu nang prapatan deso... Ciu ne mambu lengur kesrakahan. Amis kaya getih kewan.


Diamputtt kowe iku!!!
Wayahmu timur isih dawa, nanging kowe wis cetho wela-welo... mabuk anduming prahara!
Wong liyo kokarani kafir. Wong liyo kok-kaploki mergo ora podo.
Opo kowe sing nyekel kuncine swarga, he?
Ora liyo mung kowe sing takarani diamput!!

Diamputtt kowe iku!!!
Klambimu tuku nang pasar, podo karo sing liya.Wernane putih, resik.
Nanging prilakumu ora mbejaji...
cangkemu mangap-mangap nebar fitnah. Lha merga fitnahmu, atusan wong mati kesrakat...
duh, cilaka.... Kowe ora bedha karo kuburan.
Nduwur dilabur kapur karo ditawuri kembang,
nang njero kebak balung jrangkong tanpa polo... haduh-haduh ciloko...

Diamputtt kowe iku!!!
Kowe mara nang pelacuran, nggebuki wong wadon kang kok arani nakal...
nanging kowe ora ngerti, aku krungu jeritane saben dhalu..
Anake ora mangan ora ngombe susu...
Saiki ngomongo, apa kowe iso dadi Gusti kaya aku?

Diamputtt kowe iku!!!
Sanak-kadang kok bela, nanging wong cilik kok idak-idak...
Sanak-kadangmu ora liyo sing ngwenehi ciu.
Asal kowe wareg, iso mabuk, meneng. Ning yen durung wareg, cangkemu ndadak koar-koar...
Haaduh ciloko uripmu...

Diamputt kowe iku!!!
Kowe nggawa jenengku... Aku ora milih capres, ning kok gawa jenengku!
Sepira ndasmu iso mikir gedhene Aku? Sepira tanganmu iso ngukur Aku?
Aku tetep kokgawa-gawa ndukung calonmu, merga kowe butuh duit gawe tuku ciu...
Elingo kowe ora mangan sing kokanggep haram,
ning cangkemu mangap-mangap nebar fitnah,
wong becik kokarani layak dipateni, mergane antek setan!
tanganmu sraweyan mateni wong sing nyawane teka Aku,
kantongmu kebak dhuwit getihe wong kesrakat...
saben wengi, kowe mblejeti perawan kanggo nguntal susu...
Saiki, ndi sing halal-haram?


Dhuh, tangio teka anggonmu mabuk. Ciumu wis mambu gandhane getih...
Adhuh, ciloko.... tangio.... tansaya abot anggonmu nglakoni kuburmu...
Nanging kowe ra gelem tangi...
Ora liyo mung kowe sing pantes takarani diamputtt....


...
Tanggale podo, wulane podo... Punakawan tetep angler wuda anggone mari mabuk. Prapatan desa sepi mung lampu suluh nyumunar mendrip. Gendhing lingsir keprungu lamat-lamat. Alon-alon dhemit, tuyul, buto, banaspati, thek-thekan, lan gendruwo mara... matane tela-telo ngarep Gusti teka paring kaadilan. Asu-asu padha mara, ndilati mayite punakawan kang isih wuda blejet...

Senin, 23 Juni 2014

(Hampir) dicium Elang Sumberpacet...

  Pengalaman menjumpai burung-burung yang unik dalam jarak dekat itu sudah terjadi beberapa kali. Malah, beberapa hampir-hampir ditabrak atau sepertinya lagi pengen nabrak. Mulai dari udang api, meninting kecil, ayam hutan, uncal, sampai ayam gaul (karena bulunya warna-warni), semua pernah. Tidak ada kerugian memang dari kedua belah pihak, tapi kagetnya itu lhoo.... Nah, hari ini saya berkesempatan hampir 'dicium' elang. Bukan sembarang elang pemirsaaah, tapi Elang Jawa. Yap... burung yang katanya orang banyak termasuk mahkluk ghoib ini saya jumpai di seputaran daerah Sumberpacet, tepatnya jalur tembusan Glenmore-Pesanggarahan via Trebasala. Bingung? saya juga.. lapar? segera masak mi rebus.

Berikut cerita flashback-nya...

Alkisah 2 minggu ini saya membusuk di kamar saya (atau gudang) berukuran 2x2 ini. Karena pekerjaan ngadep laptop, bekerja dengan adobe indesign mulai buntu, lalu 2 hari lalu saya mulai bicara dengan ikan mas koki saya. Nah, daripada membusuk lama dan kopi sudah tak lagi mempan mendinginkan otak, jadilah saya pengin me-refresh sejenak, tapi kemana?

Sumberpacet, yang mana sih?
   Sebenarnya, saya ditantang deBegundals Mas Fendi untuk menuntaskan 2 hal, yaitu yang pertama adalah memotret burung nokturnal di Meru Betiri. Tantangan kedua adalah melintas batas antara wilayah resort Sumber Pacet dan Karang Tambak. Nah, tantangan kedua inilah yang pada hari ini coba saya lewati. Memang dulu pernah saya mencoba, tapi keliru jalan (sok tau sih, hehe). Namun, kali ini, dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama, akhirnya saya masuk ke dalamnya. Melewati mega proyek pabrik gula glenmore, JLS (jalur lintas selatan), lalu ke arah kompleks perkebunan Trebasala, akhirnya sampai juga ke percabangan antara Sumberayu dan jalur hutan.
  Memasuki jalur hutan ini saya merasa 'hijau kembali'. Sepertinya tidak percaya juga kalau ini termasuk akses Meru Betiri. Pasalnya, kawasan Meru Betiri jarang yang memiliki jalan mulusss... Nah, jalur ini cukup baik menurut saya, terdiri dari aspal, bekas aspal, sedikit batu, atau tanah. Cukup lebar, namun semenjak jembatan penghubungnya rubuh, maka mobil tidak lagi bisa lewat sana. Akibatnya, semak-semak semakin merajalela, membuat jalur mulus itu hanya nampak seperti jalan setapak.
   Mengikuti jalur yang meliku-liku, tak membuat saya ngantuk atau bosan. Lutung berlompatan  ketika melihat orang aneh melambai-lambai padanya dari sebuah motor tua. Helm pun saya lepas untuk membuat saya mendengar kicau burung lebih banyak. Aah, benar-benar obat stres... Selain itu, angin akan membuat ketombe saya rontok... ah, bebanpun makin berkurang.
   Hal yang membuat saya semakin semangat adalah burung ghoib nan cantik bernama Cekakak Batu muncul. Weh... ini pertama kalinya saya menjumpai burung ayem ini secara langsung. Ada pula burung ghoib macam Cuca Ijo alias Cica-daun Sayap Biru. Ah, sayang, burung bersuara merdu ini tak mampir dalam frame foto. Hal lain yang membuat esmosi adalah melimpahnya perjumpaan Meninting Besar di sini. Tercatat kurang lebih 12 kali saya menjumpai burung berekor menggunting ini di sepanjang jalur.

(Hampir) Dicium Elang...
   Seakan tanpa wangsit atau peringatan, ketika berada pada jalanan yang menurun, saya dikagetkan oleh burung berukuran sedang, berwarna cokelat yang melaju cepat di-atas-jalan. Otak saya langung mengatakan kalau ini adalah raptor. Iyooo... tau, tapi apa? Percakapan antara mata batin dan logika otak seakan menemukan jawabannya ketika burung ini berkelok ke kanan menghindari saya yang mlongo dan kerepotan menginjak rem. Seakan dalam slow motion, saya melirik burung yang terbang diantara pepohonan lalu masuk jurang itu.... Ah, warna cokelat muda. Ada 3 garis hitam di ekor.... jambulnya kemlawir... tak salah lagi, ini adalah seekor Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)...
   Batin saya pun ereksi... antara kegembiraan dan kekecewaan, antara sumpah serapah dan ungkapan syukur. Secepat itukah burung ini melampaui manusia yang mengaguminya? ah... Saya pun terdiam di pinggiran jurang... Berharap burung itu bertengger atau kembali, lalu mau untuk menjalani sesi pemotretan. Hm, omong kosong..

Lalu saya membisik di dalam hati : " Tak apa, asal tahu kabarmu, aku pun senang... Kapan-kapan saya pasti kembali", meskipun dalam hati yang lebih dalam lagi, saya juga bertanya : emang kapan, hehe...
:D

FYI, berikut adalah temuan Elang Jawa di kawasan TN Meru Betiri dalam delapan bulan terakhir:

1. Bandealit : November 2013 - Februari 2014
2. Andongrejo : Maret 2014
3. Rajekwesi : Maret 2014
4. Sukamade : Juni 2014
5. Sumberpacet : Juni 2014

Spesial buat deBegundals dan DJ kalibaru, Bung Deny Astanafa.



Meninting Besar (Enicurus leschenaulti)

Si Unyu Cekakak Batu (Lacedo pulchella)

Salah satu scene di perjalanan

Wiiidih... Sampe tapal batas Glenmore-Pesanggrahan

Selasa, 03 Juni 2014

Mbrasak-mbrasak Bandealit (edisi Tamanan)

   Hum, sudah 4 bulan 'hanya' berangan-angan untuk menuliskan cerita ketika memasuki kawasan rimba Meru Betiri. Ah, daripada cuman jadi angan-angan, lebih baik ya tak muntahkan saja di sini.
Dengan latar belakang kegiatan pemasangan camera trap, maka saya berencana untuk ndompleng mencicipi sensasi masuk hutan (saat itu, saya hanya masuk ke lokasi yang relatif mudah dijangkau). Oleh karena itu, PJ untuk acara menentukan tanggal 6 dan 7 sebagai d-day. Kalau tidak salah sih yang ketiban Mas Adi, salah satu cukers kepunyaan TNMB. Simpatisannya adalah Mas Puji, Mas Andre, Mas Jumadi, dan 2 porter : Pak Hafid dan The Saman, serta tentu saja potograper keliling. 
    Perjalanan diestimasi selesai sebelum gelap, jadi ada 2 hari ke tempat yang berbeda untuk memasang 4 buah kamera. Tujuan kami adalah 2 tempat yang berseberangan 180 derajat, yaitu Tamanan dan Penangan, nama-nama yang unik sekali, hehe. Memang sebuah kebiasaan dan anomali jika di hutan orang menamai sebuah tempat sekenanya, tergantung kebiasaan dan kemudahan menyebut. Maka, tak heran jika sampeyan berkesempatan untuk nge-trans (sebutan bagi kegiatan masuk hutan) di TNMB akan mendengar berbagai nama aneh, seperti Kali PA, Durenan, Penangan, Pondok Plastik, Uthuk-uthuk, Ketangi-pothol, Ringin telu, Tikung Ndhas-kucing, Watu gedhe, dll. Sejarahnya? simpel sekali, misal seperti Kali PA, karena dulu PA (Pelindung Alam, alias Pegawai TN) sering nginap di sana, hahaha...
    Hari pertama menuju Tamanan, tak ada yang istimewa.  Hanya saja, jalur masuk hutan ini cukup mendaki. Dari tengah jalan, kita bisa melihat kampung cawang dan pabrik kopi dengan jelas. Ah, lanjut-lanjut terus, tidak ada tanda-tanda pembuktian informasi temuan. Harapan saya untuk menemukan burung 'aneh-aneh', rupanya harus saya telan dalam-dalam. Wuedan, dimana-mana melihat hanya tutupan vegatasi rapat. Ok fine, Semoga nanti hingga istirahat ada tempat yang sedikit terbuka. Ternyata, dugaan saya keliru... semua hijau babarblas. Tak ada spot untuk melihat burung. Semua burung bermain di bagian atas kanopi, dan kami ada di bawahnya. Ah, memanggul senjata 300 mm rasanya sia-sia. Namun, yang sedikit menggembirakan adalah temuan kotoran karnivora dan cakaran lama pada batang pohon. Whooww.... sekali lagi, ini adalah first time bagi saya untuk berburu jejak-jejak karnivora besar. Namun, setelah observasi awal di sekitaran, tim menemukan tanda-tanda manusia di sana. Ada bekas pondok, patok-patok bambu, dan beberapa bumbung. Weh, ternyata ini adalah sisa orang ndarung (menginap di hutan mencari burung atau ijuk). Akhirnya, dengan menimbang segi keamanan kamera, maka pemasangan di Tamanan akhirnya diurungkan.

Perjalanan hari kedua akan dikisahkan di lain tempat berooo... Kami menuju suatu tempat yang kata PJ acara kita tercinta, disebut lebih 'mudah' dan 'tidak mendaki'...
suwun...





Mas Adi dengan baju hitam, Mas Puji dengan baju kelabu


Minggu, 25 Mei 2014

Tenang menghadapi Senin (lagi)

Aaah... Senin lagi deh.
Mungkin, ada yang berbeda dengan hari senin ini. Saat ini, saya meng-update data foto yang ada.. Hm, tidak berubah..tetap 100 jenis pas, ga bisa ditawar. Data saya kumpulkan, dibuat grafik berdasarkan famili, dan.. taraa... jadilah bahan presentasi koplak-koplakan yang besok saya tunjukkan ke mas Alif, sang bos geng PEH. Sebenarnya, agak sungkan juga untuk mengganggu pak Bos, terutama di hari senin, apalagi beliau juga baru pulang ngadep Manggala, di Bogor kemarin. Ah, sudahlah... kalau tidak besok, tentu saya tak  lagi punya waktu untuk menunda pergi ke Sukamade lagi... setelah 2 minggu berkelana ke semarang dan malang.. wezz...

Selain menunjukkan data-data tersebut, ada beberapa agenda safari di hari senin:
1. Agenda Buku.
2. Permintaan untuk menuliskan preface tentang kawasan dan segala problematikanya. 
2. Diskusi tentang data.
3. Minta foto.

Lalu, jika tidak terlalu sore.. berangkatlah ke Sukamade untuk bercinta dengan burung-burung yang merindukan saya... hehe. Jika berlambat, ayo berangkat esok paginya di hari Selasa.

Mari berserah kepada Tuhan untuk segala pekerjaan ini.

Ah, senin... :)


Jumat, 23 Mei 2014

Berkawan dengan Mimpi : Sedikit cerita tentang buku Pantang Padam karya Yulia E.S.

   Di hari jumat lalu, saat saya sedang berada di ruang workshop capung, telepon saya bergetar-getar dengan hebatnya... Saya lirik sebentar, dan nampak nama yang tak asing: Bapak Xl. Wah, ada apa bapak nelpon siang-siang seperti ini? entahlah, rasanya juga saya sering menerima telepon dari keluarga di saat kegiatan, meskipun hanya sekedar menanyakan dimana letak kunci kamar, hehe...
Jadi, dari pengalaman-pengalaman berharga itu, saya menutup telepon di saat formal itu, dan segera mengirim sms. Tak lama kemudian, muncul di layar hape balasan yang berbunyi : ada paket dari jakarta... Yup, aku ingat karena memang aku menunggu sebuah buku yang kupesan. Judulnya Pantang Padam, karya mbak Yulia E.S.  Lalu, sepulang dari semarang dan malang, ternyata buku itu mampu menghipnotis saya dalam beberapa waktu lamanya... 2 hari berturut-turut hingga detik saya mengetik tulisan ini.

   Bagaimana rasanya jika anda mengetahui bila anda ternyata mengidap sebuah kelainan? Yupp, rupanya di dalam buku ini mbak Yulia menjlentrehkan dengan gamblang sejarah hidupnya yang ternyata mengalami kelainan tulang belakang, justru di masa ia kuliah. Kelainan ini membuat ia tak boleh mengangkat beban lebih dari 1 kg! Selain itu, ia harus memakai piranti mirip baju zirah zaman kuno yang bernama brace. Mungkin, jika saya membayangkan bentuknya lebih mirip gips yang dikenakan saat patah tulang. Namun, rupanya masih ditambah beberapa piranti merepotkan dan aneh seperti kait-kait besi... Dan lebih dari semua itu, ia masih berjuang untuk menaklukkan gunung, menaklukkan jalur-jalur pendakian, menaklukkan kedalaman laut bersama manta, dan tentu saja menaklukkan ketidak-percayaan dirinya sendiri akan kondisinya sekarang.

   Lalu, bagaimana rasanya jika anda mendapatkan bonus penyakit disaat anda mulai beradaptasi dengan kelainan yang anda miliki? yupp, lagi-lagi, saya terhenyak membayangkaan saat berada dalam posisi penulis, ketika ia di-dok mengidap kelainan katup jantung yang bernama MVP. Dan saya turut membayangkan, merasakan kehidupan mbak Yulia ini tenggelam bersama mimpi-mimpinya yang indah.. ah. Rupanya di sini saya keliru. Ia bukan robocop, suparman, gundam, atau cerita-cerita epik dengan ending yang tentu saya indah. Karena dari dasar perasaan yang dalam, yang menjadi reruntuhan, ia kembali membangunnya. Dan disinilah mau tidak mau, suka tidak suka... saya membandingkan dengan diri sendiri..

"Dengan mimpi-mimpi yang sekarang ini, seolah aku berada pada kedalaman sekian meter.... Pada kedalaman sekian meter ini, aku terus melantunkan mimpi-mimpi."

   Bagaimana dengan diriku? Seorang normal...ah, jadi terharu sekaligus... malu. Selama ini aku berkutat dengan pemikiran skeptis,  ketidak pede-an menghadapi masalah, malah ingin segera menyerah...
Yupp, semangat! Aku masih ingin berlanjut dengan mimpi-mimpi yang harus dinyatakan : Meru Betiri harus memiliki buku burung sendiri. Buku yang dapat dibanggakan dan membuatnya menjadi diri sendiri. Menjadi batu yang dilempar di tengah kolam keheningan pengetahuan yang kami miliki, membuncah, dan menggetarkan tulisan lain yang menggambarkan keindahan tanah ini : Capung, kupu-kupu, lumut, jamur, kayu ekonomis, mamalia, dan semua yang dapat disentuh. Masak hanya karena sindirian orang, langkah jadi terhenti? Masak karena rumitnya birokrasi mimpi menjadi mati? Masak menghadapi ancaman pelanggaran luar biasa, lalu menyerah? Rasanya, saya pun memiliki everest sendiri di dalam benak ini. Menjadi backpaker, melihat kupu-kupu Goliath, berjalan memasuki gerbang kupu raksasa Bantimurung, melihat Bird of Paradise di Papua, menginjak pantai dengan laut bening di Maluku... ah...

Dan dari buku ini saya belajar mengenali jalan indah, namun tak pernah mudah: 


"Jika ada dua obat paling manjur di dunia, maka itu adalah membaca buku dan menjadi relawan..."



Senin, 12 Mei 2014

Mencicipi gaya Jepang ala film My Boss My Hero

   

   Saya pecinta film, tapi rasanya bukan seorang yang 'gila' film dengan tayangan episode, apalagi dari negara-negara asia timur. Pertama kali, kawan kuliah saya bernama Rahmi mengenalkan film ini kepada saya di ruang baca biologi. Heran melihat manusia yang satu ini masang headset dan nyekikik sendiri. Karena penasaran, akhirnya saya pun ikut nonton. Eh... ternyata ga puas, akhirnya bergiga-giga memori laptop saya digunakan untuk menyimpan film dengan 10 episode ini. 

   First, tokoh utamanya bernama Sakaki Makio. Sebenarnya, ia adalah seorang bos muda Yakuza. Di era kepemimpinan ayahnya (yang merupakan generasi ke 2), ia melakukan kesalahan yang sanat koplak! Dengan gayanya, mulai bertransaksi dengan mafia hongkong. Ayahnya memberi pesan agar tawaran tidak kurang dari 27 USD, tetapi dengan koplaknya ia masih bilang 'NO' ketika mafia itu akan membayar 35 USD. Akhirnya, perkelahian itu terjadi dan hilanglah kesempatan transaksi besar itu. Ayahnya yang marah besar akhirnya insyaf dengan kebodohan anaknya, sehingga ia memasukkan Makio ke salah satu sekolah swasta (menyamar sebagai murid pindahan kelas 3). Tantangannya adalah : lulus, atau tidak akan menjadi bos generasi ke-3! Dan cerita-cerita yang membuat sampeyan ngakak, terharu, dan ketagihan akan dimulai dari sini.
Sakaki Makio, 27 tahun.. koplak, namun memiliki semangat tinggi
   Bagian yang menarik adalah tekad Makio untuk belajar dan lulus bersama-sama yang lain. Diceritakan bahwa Makio adalah orang yang... tidak bisa berpikir lebih dari 90 detik, namun sebaliknya, ia sangat suka berkelahi. Oleh karenanya, pelajaran-pelajaran SMA menjadi momok besar bagi penguasa no 2 Yakuza Kantou Sharp Fang ini. Apalagi dia tidak mungkin melakukan hal-hal curang yang bisa membuka kedoknya sendiri. Sebenarnya sih, Makio menganggap sekolah adalah omong kosong belaka. Namun, kompetisi untuk mendapatkan Puding Agnes yang digilai Makio dan sebagian besar siswa, membuatnya menciptakan alat terbang yang membuatnya semakin mengerti akan indahnya belajar... 

   Dari film ini sampeyan juga akan melihat bahwa tiap tugas, tiap PR, tiap kegiatan sekolah di Jepang sebenarnya tidak neko-neko alias simple sekali. Bahkan, standar kelas 3 jika dibandingkan dengan di Indonesia, mungkin ketinggalan lho... Misalnya, anda disuruh membaca puisi sastra jepang bergantian, lalu mengartikannya. Perasaan ini ada di tugas SMP (atau SMA di awal?). Menggambar dan mendeskripsikan mahkluk bersel 1, atau pemecahan soal penjumlahan sudut yang sederhana. Sangat tidak 'wah' jika dibandingkan hingar-bingar Jepang yang seperti apa, ya toh? Namun, saya merenung... mungkin, di sinilah kelebihan orang jepang. yang pertama, mereka tidak mengejar kecerdasan 'formal' yang biasa dikompetisikan di sekolah-sekolah umum di Indonesia. Maksud saya, mereka tidak mengejar bab-bab, tidak mengejar ' nama sekolah sebelah', atau mengejar nilai akreditasi alias ISO bla.. bla.. bla.. yang mereka kejar adalah anak didik yang memiliki moral, pengetahuan terhadap budaya asli, dan memahami dasar-dasar ilmu itu sendiri. Sehingga, tak seorangpun mencap satu pelajaran sebagai momok yang mustahil dilalui, hanya karena ia tertinggal terlalu cepat dari kawan-kawannya.

Bu Minami, sosok berwajah dingin yang awalnya dibenci oleh Makio
   Pelajaran lain yang membuat saya manggut-manggut dari film ini adalah sikap pantang menyerah yang dimiliki oleh Makio dan orang Jepang pada umumnya. Telah kita ketahui bahwa orang Jepang terkenal ulet dan 'gila' terhadap suatu yang diinginkannya. Hal yang sebenarnya diturunkan dalam bentuk pengejawantahan semangat bushido ala samurai zaman dahulu kala. Bayangkan saja, Makio adalah orang dedhel yang hanya bisa berpikir 90 detik. Setengah tahun bersekolah di sana hanya mampu membuatnya berpikir selama.... 3 hari dan ranking 122 dari 122 siswa. Sebuah progress yang saya yakin membuat guru-guru normal akan mengucilkannya. Namun ternyata tidak. Wali Kelas yang dijuluki 'Si Wanita Besi', Bu Minami, rela memberikan murid ini privat, pelajaran tambahan di libur musim panas. Bukan hanya itu, Makio diwajibkan mengumpulkan jurnal tiap minggu. Eits... ini bukan jurnal ilmiah yang harus diresume seperti di tempat saya kuliah. Ini adalah jurnal yang berisi curhatan siswa tentang apa saja yang dilaluinya di sekolah atau di keluarga. Fungsinya adalah guru bisa mengetahui keadaan siswa dan apa yang dapat dilakukannya untuk membantu masing-masing siswa. Sangar kan? Guru juga akan membalas tulisan di jurnal itu : memberinya semangat dan nasehat. Murid di Jepang sangat diperhatikan toh? Semuanya dilakukan dengan satu semangat : mendidik siswa agar dapat melalui tahun-tahun di sekolahnya. 
    Begitu juga semangat yang sama ditunjukkan oleh Makio dan murid-murid lain. Bahkan, di tengah-tengah kegiatannya bersenang-senang atau berjudi sebagai Yakuza... ia akan ditelpon pulang oleh anak buahnya untuk mengerjakan PR atau menghafal kosakata Bhs. Inggris... whatsss... . Ada pula sebuah cerita dimana Makio sangat ngeyel untuk membentuk tim basket demi kelasnya yang tercinta, 3-A. Nah, selain kompetisi yang datang di saat menghadapi ujian kelulusan, tidak adanya orang yang mahir berolahraga membuat kelas yang dipimpinnya tidak semangat. Tim Basket yang dipimpinnya pun demikian. Namun, dengan ke-ngeyelan-nya dalam menghadapi masalah, Makio dkk menang dalam kompetisi basket tersebut dan membawa nama 3-A melambung.. 

Ada sebuah Quote yang bagus, yang dilontarkan oleh Bu Minami untuk Makio ketika ia hampir putus asa menghadapi banyaknya permasalahan:

"Hadapilah, jangan lari.. Karena jika kamu berhasil menghadapinya, maka kamu akan lebih kuat dari sebelumnya."

  Yang terakhir, (semoga anda tidak tertidur, hehe), adalah sikap ksatria yang dipertontonkan secara gamblang di film ini. Ini adalah bagian yang saya suka dari semuanya, hehe... Saya sendiri belum pernah ke jepang atau mensurvei setiap film jepang untuk mengetahuinya. Namun, sikap ksatria dan mau mengakui kesalahan menjadi tradisi yang patut dibanggakan oleh negara-negara asia timur, khususnya negeri jepang sendiri. Di film ini, ketika terjadi sebuah permasalahan besar di sekolah, Kepala Sekolah sangat merasa menjadi yang paling bertanggung jawab akan semuanya, dan... mau mengundurkan diri. Di keorganisasian Yakuza sendiri tidak ada orang yang mencari kepentingan sendiri dengan mengumpankan teman sebagai kambing hitam. Semuanya dengan kompak mengatakan : 'Maafkan, ini salah kami...' lalu dengan alasan-alasan ia melakukan itu. Tidak ada yang ngeyel. Dan anehnya, pemimpinnya juga meminta maaf kepada... anak buahnya tersebut. Akhirnya, tidak ada yang merasa benar jika suatu permasalahan terjadi, tapi dengan semangat dihadapi bersama-sama. jadi tidak ada caleg-caleg di institusi, penjilat, atau kata 'aku', tapi dihadapi secara bersama-sama. Benar-benar woow lah...

Kalau budaya kita sih... ah sudahlah.. :)

Cerita-cerita konyol terkadang dibumbui roman percintaan dan serius


Akhirnya, film ini sangat recommended bagi anda yang membutuhkan hiburan segar namun kaya akan nilai-nilai humanis edukasi negeri sakura. Anda penasaran dengan film ini? anda dapat mendownloadnya di
sini
atau di
sana

oke.. keep semangat!