the biodoversity

the biodoversity

Kamis, 20 Februari 2014

Mumpung sek iso... (iseng-iseng berhadiah)

Jedharr... 

   Guntur mengiringi bacaan rekapitulasi data bulan februari ini untuk wilayah Bandealit dan sekitarnya... dan kita sambut... 104 jenis burung teridentifikasi... (plok-plok-plok). Lalu, datanya mau dijadikan apa? Saya rasa, sekarang Bandealit punya data yang tanggung-tanggung gimana gitu... Mau dibilang sedikit ya tidak, mau dibilang banyak kok jelas-jelas sepertinya banyak jenis yang masih terlewat. Saya sih kepikiran untuk sebuah output yang lebih umum, lebih menyeluruh, karena Meru Betiri ini tidak boleh dipecah-pecah (iki jareku lo..), jadi untuk output itu harus bersabar menunggu waktu yang cukup lama dan harus menjelajah slempitan-kelek Meru Betiri. Mungkin, karena itu juga, saya ingin mengejar waktu untuk segera bergeser ke seksi lain, mengejar bocoran spesies yang mungkin di Bandealit sulit, tapi di lain tempat mudah ditemukan, atau bahkan spesies-spesies mengejutkan lain.
   Dan lagi-lagi kami bingung. Ada wacana membuat peta burung untuk skala kecil (Bandealit), atau malah buku. Untuk yang terakhir ini jelas-jelas angel. Jadilah saya menyarankan untuk membuat semacam information-site bagi jenis-jenis burung yang ada Bandealit, kalau seandainya benar-benar segera pengin kelihatan bahwa orang Bandealit itu punya burung... :D 
   Di dalamnya, terpikirkan-lah akan sebuah potongan vegetasi yang pernah dibuat oleh sebuah taman nasional (lupa namanya, yang jelas ada di Kalimantan). Mereka buat itu untuk information-site via online mungkin, hasilnya bagus dan representatif menurut saya (sayangnya dulu tidak sempat saya download). Sukar menjelaskan ke teman-teman, sampai saya akhirnya membuatnya terlebih dahulu (karena tentu saja ndak ada contohnya). Lumayan, cakupannya tidak terlalu luas, namun cukup bersifat informatif. Berikut adalah penampakan dari maksud saya...


   Foto-foto burung diletakkan di posisi penggunaan habitat mereka. Terpilih 3 jenis habitat yang dirasa dapat mewakili kondisi vegetasi Bandealit secara umum. Semua foto diambil di Bandealit (kecuali ada 1 pinjaman dari resort sebelah, karena burungnya gampang dilihat, madih susah difoto, hehe), dan urun saham masih tim PEH rame-rame. Selain itu, masih ada stok yang disimpan untuk nanti. Lambat laun, terpikir untuk melengkapi ini dengan lokasi (jelassss, banyak yang belum kenal Bandealit rasanya), teks pembuka, dan catatan temuan burung. So, di baliknya diberilah semacam itu... jadi total malah nantinya semacam leaflet, dan ini jadi bagian depannya:


   Nah, seperti inilah tampangnya. Masalah teks dan redaksional, masih dikorek-korek. Hanya saya masih bingung untuk mencari solusi agar daftar temuan bisa dibaca tanpa lup (hehe).. terlalu kecil.


Minggu, 16 Februari 2014

Kelud, pengalaman yang tak pernah dilupakan...

   Mungkin kisah saya kali ini diawali dengan sesuatu yang kurang 'gentleman'  dan kurang sangar sebenarnya. Yak, benulll.... cerita ini malah diawali oleh keinginan untuk mencari jodoh burung kenari peliharaan saya. Kasihan, sudah cukup umur, burungnya bagus, kenapa ndak dicarikan burung betina? Dan dimana saya akan mencari burung betina berkualitas? Tentu saja di peternaknya, dan dengan bantuan kawan saya, si Bayu Hendra Prakosa yang sudah puluhan tahun melanglang-buana di dunia kicauan. Apalagi sekarang birder ini punya sampingan membuka peternakan di rumahnya... so, tanggal 13 Februari saya sempatkan ke rumahnya di Tulungagung dengan menunggangi KA Tawangalun dan dilanjut KA Penataran/Dhoho. 
   Tidak ada firasat apa-apa sebenarnya. Hanya saja, saat kereta sampai di Blitar, ada seorang turis Belgia dan guide-nya, duduk di depan saya. Kami kemudian bercerita tentang hal-hal biasa, tidak ada yang istimewa. Sampai suatu ketika, saya iseng bertanya kepada guide yang ada di sebelahnya tentang tujuan mereka. Ternyata, mereka berdua akan ke Surabaya. Sebenarnya, mereka masih 3 hari lagi di Blitar, tetapi beberapa travel agent memperingatkan akan bahaya Gunung Kelud yang pada saat itu, setahu saya masih dalam kondisi 'siaga'. Spontan saja saya bertanya : "apakah Kelud sudah meletus?", Ia menjawab : "belum, belum, tapi kami melarikan diri terlebih dulu sebelum meletus, haha." (belakangan, saya merasa kedua orang ini termasuk orang yang beruntung, hehe).
   Semua terjadi sesuai jadwal. Saya datang di stasiun Tulungagung pukul 5 sore. Bayu menjemput, dan kami menuju rumahnya di Kecamatan Gondang, mungkin 30 menit dari kota. Sampai di sana, ibunya si Bayu dengan ramah menyambut. Maklum, ini kunjungan ke sekian kalinya ke rumah Bayu, jadi kami sudah saling mengenal. 

Mulainya tak pernah disangka!
   Sampai pukul 10 malam kami menonton tv. Acaranya biasa saja, sehingga saya putuskan untuk beranjak tidur. Entah kenapa Bayu masih setia dengan tv-nya, tetapi sekitar 15 menit kemudian ia pun menyusul tidur. Lampu tengah dimatikan, dan kami se-rumah sudah asyik bergulat di kasur. 
   Lambat laun, hawa di rumah itu jadi sumuk (gerah). Saking panasnya, kami tidur gedebukan... jian ora umum! Belum pernah merasakan gerah yang se-demikian panasnya. Saya tidak melirik hape untuk melihat jam, tapi memang sesekali saya nglilir dan mendengar suara gludug-gludug, mirip dengan guntur. Hawa panas tidak pergi-pergi, giliran keponakan Bayu yang masih 17 bulan terbangun dan menangis. Burung-burung kenari di sangkar seperti ngriwik ketakutan. Saya mendengar ada orang bercakap-cakap di jalan, tidak jelas. Tapi kemudian, mereka sepertinya pergi dengan memacu motornya. Saya benar-benar tidak bisa tidur...
   Suara mirip guntur sendiri masih terdengar, ditambah diluar terdengar suara 'hujan'. Nah, kira-kira pukul 2 dini hari, kakak ipar Bayu bangun dan melihat keluar. Ia dengan bersuara sedikit keras memanggil kami dan mengatakan: "Hujaaan paasir...!" Kami berdua langsung meloncat turun dan segera keluar. Senter disorotkan ke langit, dan benar-benar nampak butiran pasir turun dengan derasanya! Suaranya :"rhhss....rhssss" mirip hujan biasa, terus berulang-ulang dan tidak mereda. Beberapa orang memacu motornya dengan kencang sambil menutupi mukanya dengan bajunya. Logika kami membimbing kesimpulan bahwa Gunung Kelud telah meletus. Herannya adalah, Tulungagung yang mungkin berjarak 100 km dari lokasi, terkena hujan pasir yang cukup parah, lalu bagaimana di Kediri dan Blitar? Seberapa besar musibah ini? saya masih penuh dengan tanda tanya.  
   Setelah itu, kami berharap ada berita penjelasan resmi dari tv. Tetapi pada jam-jam itu, masih belum ada tayangan resmi. Hanya tulisan berjalan yang ada di Metro dan TVone. Itu pun kalau tidak salah mulai ada sejak pukul 02.30. Tidak ada satu pun di rumah itu yang tidur. Saya mencoba menelpon ibu di Banyuwangi, agar mencari kabar budhe saya yang memiliki rumah di Candisewu, Blitar. Jaraknya cukup dekat dengan Gunung Kelud membuat kami sekeluarga khawatir, apalagi ternyata hp keluarga Blitar tidak ada yang bisa dihubungi. Sedangkan di luar, hujan pasir masih terus mengguyur hingga subuh menjelang.

Hindari berita hoax...
   Mungkin sudah biasa jika saat bencana, terdengar berita-berita hoax atau omong kosong. Termasuk saat bencana Gunung Kelud kali ini, tersebar kabar sms bahwa 2 jam lagi (sekitar pukul 3 waktu itu), akan terjadi letusan yang lebih dahsyat. Ah, ini tentu tak dapat dipercaya, karena setahu saya, erupsi tidak pernah bisa diramal. SMS dari BNPB yang biasanya muncul untuk memberikan penjelasan, tidak kunjung ada hingga pagi hari.
   Sekali lagi, berita yang dapat dipertanggungjawabkan sangat dibutuhkan pada detik-detik terjadinya bencana. Sulit sekali mencari informasi, karena semua pihak mungkin ada dalam keadaan kalut. Oleh karena itu, sudah selayaknya kantor berita nasional menyajikan informasi yang tidak melebih-lebihkan. Pada pagi hari, kami masih menyaksikan salah satu channel tv nasional memberitakan abu dan pasir di Madiun, Ngawi, juga Tulungagung berkisar 5 hingga 10 cm! Kalau di Kediri, kami percaya... lha di Kota Tulungagung sendiri, paling tebal mungkin hanya 1-2 cm.... Jarak pandang juga di pagi hari mungkin sedikit berkabut, tapi di siang hari, hampir normal. Di televisi disebutkan jarak pandang di Karanganyar hanya 5 meter, tetapi di tayangan videonya, mungkin 20 meter. Aish.... berita yang melebih-lebihkan hanyalah membuat orang yang dalam keadaan panik, menjadi skeptis dan semakin tidak panjang akal...
   Untunglah dalam beberapa kondisi, komunikasi modern pribadi (baca: hape) menunjukkan gunanya. Dini hari itu juga, kami mendapat kabar dari teman di Pare, Kediri. Kondisi di sana lebih parah, karena hujannya berupa kerikil. Kabar lain dari Batu menyebutkan bahwa jalur raya Pujon, Ngantang, Kandangan, dan sekitarnya sudah ditutup karena tebalnya abu dan material vulkanik. Dari Malang Kota terdengar kabar menggembirakan, karena di sana tidak ada hujan abu sama sekali. Pagi-pagi, sekitar pukul 05.30, saya mendengar kabar dari kawan di Kaliurang, Jogja, telah mengalami hujan abu yang parah. Saya sendiri tidak percaya kalau Jogja bisa mendapat hujan abu yang parah. Tidak pernah terpikirkan bahwa kedahsyatan Gunung Kelud mampu melontarkan abu ke atas, dan terbawa sejauh jarak Kediri-Jogja. Pada pukul 06.00, kami sudah bisa melihat berita tv setelah beberapa saat di sana mengalami gangguan sinyal. Ternyata memang benar, Jogja diselimuti abu vulkanik Gunung Kelud. Bukan hanya itu, belakangan telah terjadi hujan abu yang parah dan merata di jawa tengah dan jawa barat, suatu hal yang sangat luar biasa menurut saya... benar-benar dahsyat Kelud kali ini... 

Kedisiplinan, kecepatan, dan harapan... 
   Ketika mendengar, dan tentu saja melihat tayangan-tayangan televisi tentang bencana ini, saya sungguh bersyukur... kenapa? karena jumlah korban berhasil ditekan (saat itu tercatat 3 orang tewas, semua dari Kab. Malang). Hal ini adalah suatu prestasi, karena besarnya skala bencana ini. Bahkan dari kawan saya, saya dengar telah dipersiapkan pos-pos evakuasi, jalur evakuasi, yang meskipun hanya dilakukan kurang lebih 2 minggu saja sebelum kejadian, semua nyatanya dipatuhi oleh warga di sekitar Gunung Kelud. Tanpa peduli erupsi tahun 2007 yang 'kurang' dahsyat, mereka nyatanya tetap patuh dan tidak menganggap remeh arti sebuah kata : 'siaga'. Suatu hal yang menyadarkan saya bahwa lambat laun, Indonesia telah belajar dari pengalaman bencana-bencana yang telah dilaluinya.
   Semakin siang di tanggal 14 itu, semakin banyak orang yang membersihkan genting-genting mereka dari pasir dan abu. Di jalanan, pada beberapa lokasi, telah disemprot secara swadaya oleh warga. Meskipun pasar sepi, tetapi sekolah di Tulungagung masih aktif. Bersih-bersih juga dilakukan di kabupaten lain yang terdampak, tapi tidak cukup parah, seperti Madiun, Ngawi, Trenggalek, dll. Saya menyaksikan, hampir tidak ada keluhan saat melakukan itu. Seakan-akan, secara otomatis, mereka membersihkan dengan kesadaran bahwa dalam bencana, tidak ada yang perlu disalahkan, tidak ada yang dituduh-tuduh. Benar-benar saya merasa, ini adalah peristiwa paling sangar di tengah ke-pesimisan negara ini terhadap sisi-sisi terekspose : politik, ekonomi, isu sara, dsb.
   Sesuatu yang kurang dalam penanganan memang ada. Tetapi ini bukanlah sesuatu yang menjadi alasan agar kita mudah menuduh. Contoh nyata adalah keberadaan masker di kota-kota terdampak. Tulungagung sendiri benar-benar kekurangan pasokannya, baik di apotek maupun rumah sakit, semuanya menghilang. Sehari sesudahnya, masih tetap sulit mencari masker, sehingga di jalanan dan di fasilitas umum, masih banyak terlihat orang tanpa masker. Padahal, jalanan berdebu karena abu dan pasir vulkanis. Saya hanya maklum saja akhirnya, karena menjadi salah satu orang yang tidak kebagian masker. Namun, belakangan saya mendengar bahwa masker diprioritaskan untuk orang sakit, dan pasokan diprioritaskan untuk daerah bencana : Kediri, Blitar, dan Kab. Malang, nah lhoh... 

Meniti jalan kembali...
   Hari ini (16/2), saya melihat percakapan antara wartawan Metro tv dengan Bupati Kediri, Haryanti Sutrisno. Dalam percakapan itu, sang wartawan menanyakan tentang kebutuhan dan keberlanjutan proses penanganan ke depan. Salah satu statement beliau yang berkesan adalah : "masyarakat bukanlah orang yang malas... Dengan diberi material bangunan, mereka dengan senang hati akan memperbaiki rumahnya sendiri. Kami bekerja sama dengan beberapa BUMN untuk mulai melakukan pengadaan material bahan bangunan..."
   Saya rasa, kenyataan seperti itulah yang membuat kita bergembira. Meskipun di tayangan selanjutnya, masih ada beberapa kelompok masyarakat yang meminta-minta (padahal bantuan sudah ada di pos-pos pengungsian), tetapi sudah jelas bahwa karakter masyarakat kita mulai berubah... Jika sebelumnya kita melihat banyak orang yang menunggu, menunggu, menunggu... namun kini, mereka mulai melakukan apa yang seharusnya bisa dilakukan. Pemerintah dan rakyat benar-benar terlihat bergandengan tangan dalam menghadapi bencana!

...dan akhirnya saya hanya bisa mengingat-ingat perjalanan pulang tanggal 15 februari itu... di kiri-kanan rel berwarna putih karena abu vulkanis. Gerbong-gerbong KA Penataran/Rapih Dhoho juga menjadi putih karena abu. Perjalanan terlambat 1,5 jam karena kereta melambat saat melintasi Kediri.
Meskipun lambat, tapi sampai dengan selamat.
Sama seperti kita orang Indonesia, meski lambat, tapi toh akhirnya kita mulai belajar untuk menghadapi bencana... :D


sugeng makarya bagi masyarakat Blitar, Kediri, Kab. Malang dan sekitarnya, serta daerah terdampak lain :)

Di balik pagar rumah... semua terlihat putih.

Serasa di Inggris... cuman ga adem, hehe

Minggu, 09 Februari 2014

Di balik sebuah kata 'mbabu'...

"Kuliah e sampun mantun tah?"
 "Sampun medhamel teng pundhi mas?"

   Mungkin kedua pertanyaan itu seringkali terlontar kepada saya setelah sering terlihat di lingkungan kampung halaman. Entah memang ketika sedang di lingkungan kifayah RT, lingkungan persekutuan, atau lingkungan rekan sekerja orang tua. Paling penak, saya menjawab sederhana dengan kalimat : "Kulo sakniki mbabu teng Meru Betiri." - Saya sekarang menjadi pelayan di Meru Betiri-. Rupanya kalimat ini cukup membuat mereka yang bertanya mengernyitkan kening, tanda adanya sebuah pertanyaan di benak mereka. Pertanyaan berikutnya bisa jadi tentang Meru Betiri itu apa, atau mungkin yang sedikit menarik adalah tentang pilihan status 'mbabu' saya.
    Saya pikir, permasalahan rata-rata masyarakat kita adalah belum bisa menerima jalan yang tidak 'biasa'. Sebuah jalan yang mungkin bisa lebih dikenal dengan jalur aktivis, jalur idealis, dan jalur -is-is yang lain. Padahal sekali lagi, kita juga sadar manusia lahir jebrett di dunia tidak pernah sama dengan yang lain. Ada yang umur 10 tahun bisa langsung terkenal macam Justin Bibeer, atau harus nunggu terkenal di dunia tarik suara setelah berkali-kali ikut idol-idolan. But, they made it. Tidak peduli kapan, apapun, tapi karena mereka tekun berusaha mencari jalan mereka, ya akhirnya mereka sekarang dikenal dengan seorang 'penyanyi bertalenta'. Lha yo wes toh... 
    Kalau tadi permasalahan dari masyarakat, sekarang adalah permasalahan dari diri kita. Mari saya tempatkan diri kita sebagai anak muda. Baik, jika lebih dikerucutkan, sebagai pelajar. Kenapa pelajar? karena status ini di-equivalen-kan sebagai bentuk kawah Condrodimuko kehidupan manusia. Titik tertinggnya macam-macam, namun pemondokan tempat belajar adalah status serius yang menjadi concern, karena setelah di-cap lulus, pertanyaannya adalah "mau jadi apa?" Sebenarnya pertanyaan ini akan terjawab ketika kita dengan mantap belajar dalam pemondokan itu. Dalam sebuah kawah Candradimuka, kita akan berpikir keras tentang kita punya apa, bagaimana, dan untuk apa. Sekali lagi, ini pun tidak sama persis antar manusia... wani totohan wes.
   Nah, yang terakhir, adalah bagaimana membawa hawa api Condrodimuko tetap membara di kehidupan nyata. Membara bukan artinya sampeyan kuliah kriminologi, terus harus nangkep bandar cap-je-ki di pasar. Lha iya toh, bertahun-tahun sekolah, tentunya menjadi agen perubah adalah sebuah keharusan. Coba sampeyan mikir, seseorang suka melukis, suka menari, suka seni karena otak kanannya sudah membesar di Institut Seni, malah menjadi akuntan. Alasannya macam-macam, tapi yang menurut saya paling populer, adalah ketika ia takut menjadi berbeda. Alasan kedua adalah khawatir... tidak dapat uang untuk hidupnya. 
     Ada pula kejadian dimana ketika anda sedang menekuni suatu hal, tiba-tiba anda melonjak dan berkata kepada hal lain : "that's me!!" , lalu anda beralih kepada hal itu. Tentu, itu bukanlah sebuah kesalahan, dan berbeda dengan kasus sebelumnya. Ini adalah peralihan yang menunjukkan talenta kita yang sebenarnya. Banyak contoh yang merujuk kepada kejadian ini, misal seorang lulusan manajemen, kini menjadi aktivis lingkungan, pemerhati burung pantai, dan sekarang kira-kira, nama Indonesia banyak diwakili olehnya. Bermula dari kuliah yang mungkin tidak jelas hubungannya dengan karirnya sekarang, sikap ngeyel pada pilihannya, dan akhirnya ia menjadi seorang punggawa shore bird di Indonesia. Jelaslah saya menyebutnya ini sebuah panggilan, sebuah kelengkapan dari talenta. Tuhan tidak pernah salah, dan sejauh mana anda mengembara mencari, keduanya pasti ketemu, dan sekali lagi tidak pernah salah.
   Jadi, itulah... saya memilih kata 'mbabu', karena memang identik dengan saya. Saya merasa menjadi sebuah kewajiban untuk seorang yang pernah belajar biologi, kembali untuk membuat ilmu biologi menjadi diketahui dengan mudah dengan masyarakat, dan menjadi lebih bermanfaat. Memang, terkadang, belum ada yang dapat ngingoni kebutuhan saya untuk itu. Ada rejeki, mungkin hanya cukup untuk bensin, bawang atau obat nyamuk saja, hehe. Tapi tidak mengapa. Sekali lagi, terkadang ngeyel itu perlu. Saya mbabu bukan kepada sebuah institusi, atau sebuah birokrasi ciptaan manusia.  Bahkan, di dalamnya saya menjadi sadar diri bahwa ilmu saya masih cethek, kecipik-kecipik, dibandingkan luasnya samudra ilmu pengetahuan milik Tuhan. Ndak usah sedunia, di belantara 11.000 ha di resort bandealit, tempat saya mbabu sekarang, saya masih belum bisa mengidentifikasi dengan benar : tanaman, kodok, burung, atau ribet dengan ngutek-ngutek peta. Mungkin kalau kuliah, saya harus mengulang sistematika tumbuhan I, II, sistematika hewan I, II, dan biokomputasi, semuanya diulang dengan puluhan sks, haha.. modhar kon.. But it's a essencial of 'mbabu' word, full with sacrify, a passion, and brave. Apa yang saya bisa, itulah yang saya lakukan. Hanya mbabu kepada Tuhan, itulah alasan kenapa saya bisa menjalani sistem kompleks ini dengan sebuah harapan masa depan apa dan siapa di sekitar saya menjadi baik.


Trims to Saur Marlina Manurung,
anda telah menginspirasi saya :)

Sokola Rimba