the biodoversity

the biodoversity

Sabtu, 12 April 2014

Kemenyekisme

   Menunggu, itu adalah hal yang membuat saya penat. Jian ra penak blas... Bagaimana tidak menunggu, kalau tempat main saya yang sekarang berada di ranah terpencil timur TNMB. Dibilang terpencil karena saya mikir dua-tiga kali sebelum naik atau turun. Rasanya itulah sebabnya orang yang dinas (baca:bertapa) di sana lebih memilih tinggal dalam waktu yang lama, daripada harus bolak-balik lewat jalan yang boros-pantat itu. Oleh karena itu saya harus menunggu. Karena kalau kembali dalam rentang waktu yang dekat setelah pulang, sido remek... Paling tidak, menunggu badan sedikit pulih dulu lah, hehe... 
    Nah, di dalam peradaban inilah, ngadep laptop adalah hal yang pasti : Pindah foto, Facebook-an, lihat web-web gaul, sampai maen game selalu saya lakukan. Jian takpuas-puaske pokoe... Sampai kalau bosen, barulah saya ngutak-atik program design yang tentunya... bajakan. Saya paling suka ngotak-ngatik foto, terutama foto burung  yang saya dapatkan. Tapi tenan, saya suka membuatnya jadi poster, jadi apa saja.. Malah akhir-akhir ini saya seakan membuat semi dummy-layout dari buku burung. Meskipun masih dalam mimpi, tapi saya mikir kalo saya sudah melakukan hal yang kemenyekisme. Lha gimana tidak? Acc, penulisan-koreksi, bahkan pengumpulan foto masih belum selesai. Masih sekitar 2 bulan waktu pinalti saya di hutan untuk ndendepi manuk. Jadi, kalau sekarang bikin layout, apa ndak kemenyekisme namanya? Hahaha... ben wes. 

1.
   Berawal dari keinginan saya untuk membuat poster bertemakan : " Birdwatching for Kids", maka saya mengutak-atik foto-foto itu. Nah, jadilah... Tapi yang membuat saya heran, malah terjadi bullshit atau kotoran kerbau (hehehe, maksud saya omong kosong). Kata-kata yang disampaikan terlalu banyak. Tujuan awalnya adalah untuk memberkenalkan 'betapa amazing-nya burung itu', sehingga di dalamnya saya sampaikan banyak fakta-fakta menarik yang rasanya anak kecil pengin tahu. Kenapa pakai bahasa Inggris? Hem, entahlah... saya malah sulit menguraikan maksud saya dalam bahasa Indonesia, jadilah ini Bahasa Inggris (berarti sekarang saya juga keminggris, hehe). Padahal sejatinya saya berhaluan ekstrimis-garis-kiri-senggol-njengat. :D

2.



Terlalu ke-baluran-baluran an. Itulah kesan saya setelah nyruput kopi sambil memandang kedua dummy layout yang saya buat ini. Alasannya simpel, karena tergesa-gesa untuk membawa 'sesuatu'  ke balai, sehingga membuat dua karya ini rasanya hanya 2 jam saja. Tapi memang, saya sadar bahwa burung di sini sangat berbeda dengan Baluran. Buku Baluran itu memang banyak menjadi inspirasi, tapi ogah hukumnya untuk juga meniru bentuk layoutnya. Butuh sesuatu yang mengejutkan dalam konsep. Sesuatu yang menjadi ciri khas : hutan virgin, dataran rendah, utuh, dan kaya jenis. Apa itu? entah, saya sendiri masih mencari... 

3.

   Awalnya, tujuannya menjadi semacam informasi singkat. Semacam poster lah (sekali lagi, poster). Tapi, kok sedikit cocok menjadi layout buku? Entah, saya kurangi beberapa bagian yang berbau poster, lalu jadilah demikian. Masih saja terlalu banyak kata. Saya sangat ingin membuatnya menjadi sesuatu yang ringan, enak dibaca, tapi berbobot. Hanya itu yang saya tangkap. Sepertinya nanti distribusi akan dipangkas, begitu juga dengan deskripsi singkat yang tidak singkat. 
Sebuah kemajuan lah untuk membuat foto-foto burung cukup terlihat bebas. Perjuangan yang berat, tapi tetap melaju dengan dibarengi membaca referensi buku-buku lain. 

Nyruput kopi.. mikir...  
Benarlah jika Mas Budiman, kakak angkatan saya yang sering menjadi asisten ekologi, berkata bahwa Matkul Ekologi adalah yang paling susah. Padahal saya tahu, orang ini briliant di Matkul tingkat dewa seperti Genetika, Fisiologi Tumbuhan, dan Biologi Molekuler. Baginya, meskipun dosen ekologi jarang memberikan nilai b ke bawah, tapi ekologi sendiri mengajarkan sesuatu yang holistic, luas. Informasi di dunia terhubung sempurna dengan lingkungan. Nah, sekarang bagaimana caranya membuat informasi yang begitu kompleks menjadi terlihat sederhana tapi tetap berbobot. Hal itulah yang diajarkan ketika setiap kali laporan Ekologi (dan juga kroni-kroninya) selalu berbentuk poster ukuran F4. Dalam media yang terbatas itulah kata-kata dibatasi untuk memuat berbagai informasi penting yang seharusnya jauh lebih besar dari ukuran kertas. Jauh lebih sulit daripada membuat laporan makalah tulis tangan bolak-balik, margin 3-2-2-2 seperti biasa.
Hm.. saya mengerti, kenapa didikan ekologi harusnya lebih sedikit nggedabrus. Menghemat kata, tapi berbobot... dan tentunya saya masih belajar dari sana. Malah kadang, nggedabrus-nya lebih besar dibandingkan kerjanya.

Layak!

Senin, 07 April 2014

Memilih Sang Ikon : njlimet!

   Mencari hewan yang sudah menjadi ikon tempat itu susah. Apalagi, menentukan hewan apa yang akan menjadi ikon suatu tempat. Yak benulll... nilai filosofi itu perlu, sekalipun sak-benci-bencinya dengan penggedabrusan ini, karena seringkali kita terjebak dalam paradigma bahwa 'semua itu penting'. Namun, menurut saya, filosofi suatu objek yang diangkat akan membawa pemikiran tentang tempat itu. Sekaligus, orang awam akan memikirkan bahwa mereka akan mudah untuk menemukan ikon bintang itu di sana. Baiklah, saya perkecil tentang tempat yang saya maksud : Taman Nasional.
   Suatu contoh, Taman Nasional Baluran mengangkat Banteng (Bos javanicus) dan Merak (Pavo muticus) sebagai ikonnya. Lalu, bagaimana jika keduanya jadi semakin jarang di sana? Opo gak ngelu? Contoh lagi di logo Meru Betiri terdapat dua gambar yang melukiskan gabungan pantai teluk dan gunung yang bernama Meru dan Betiri. Keduanya tentu masih kita lihat, karena ndak akan bergeser-geser kemana-mana. Tapi jangan lupa, di sana ada cap tapak Harimau Jawa. Jadi, syukurlah.. itu cuman tapak kaki saja.. Harimaunya mbuuh nangndi... hahaha. Bahkan, jika Elang Jawa dijadikan lambang fauna Gunung Merapi, betapa ndak minder jika di Tahura R.Soeryo, Batu, orang-orang bisa 'selfie' dengan elang langka ini? ckckck... 
   Nah, sekarang tantangan bagi para penghuni Meru Betiri yang sedang getol ngejar-ngejar burung, karena tampil suatu pertanyaan baru : burung apa yang dapat jadi ikon taman nasional dengan 58.000 hektar ini? baiklah, mari kita uraikan satu per satu:

Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)
   
Hampir tidak mungkin jika burung ini bisa dijadikan ikon. Pasalnya, cap Elang Jawa sudah diambil di TNGM. Apalagi, jika dibandingkan intensitas kemungkinan bertemu, menurut saya, Tahura R.Soeryo menjadi tempat dengan potensi terbesar sejauh pengalaman saya yang cupu ini. Hanya ketika beberapa kali burung langka ini ditemukan di sini, ada slentingan untuk mengangkat burung ini menjadi ikon.

Nectarinidae (Pijantung dan Burung Madu)

   Sempat terpikir untuk mengadopsi salah satu anggotanya untuk dijadikan ikon. Kenapa? karena Pijantung sangat mudah ditemui di sini. Sangat identik dengan perkebunan yang ada di dalam kawasan sejak jaman kolonial. Tidak terlalu 'murah' untuk ukuran burung. Lagipula, domainnya sebenarnya luas. Dapat dijumpai bahkan di dalam hutan sekalipun. Jadi, beberapa waktu yang lalu, saya pikir ini adalah ikon yang seep tenan. Hanya saja, apakah orang luar dapat dengan mudah menyerap kamsud dari keinginan luhur kita semua? hm..

Cica-daun Sayap-biru / Cuca Ijo (Chloropsis cochinchinensis)
   Terkenal, bahkan sangat terkenal di dunia perburungan, alias kicaumania. Pasalnya, burung yang cantik ini memiliki suara yang aduhai, sehingga, sayangnya banyak yang diburu di hutan liar. Terdapat segitiga emas yang konon menjadi sumber Cuca Ijo yang memiliki suara dengan power kuat: Gunung Raung, TN Alas Purwo, dan TN Meru Betiri. Dari rumor yang saya dengar, Cuca Ijo Meru Betiri memiliki power suara yang paling kuat. Nah, pas kan? meski tidak dilindungi, burung ini sangat-Meru Betiri-banget. Semakin terancam di alam liar juga iya. So? Masalahnya apa? Hanya satu sebenarnya... saya tidak pernah dapat fotonya, hahaha. Dari pengakuan orang-orang yang telah lama di sini pun, sangat jarang untuk dapat melihat burung ini. Melihat saja susah, apalagi memotret. Pas wes... 

Rangkong Badak (Buceros rhinoceros)

   Bentuk pengejawantahan kekayaan keanekaragaman hutan lebat nan perawan di Meru Betiri. Kenapa? Sarangnya saja di hutan-hutan primer yang paling primer, dibuat di dalam kayu-kayu ukuran raksasa yang seakan tak mungkin kita lihat lagi di pulau sepadat Jawa. Apalagi julukannya : The forest farmer, membuatnya sangat identik dengan pengabadian hutan rimba di Meru Betiri. Saya rasa, isu bahwa Meru Betiri menjadi basis keanekaragaman hayati, alias Home of biodiversity, cukup terwakili.. Lalu bagaimana dengan perjumpaannya? Tenang, saya harap njenengan para tetangga Meru Betiri tidak minder. Januari-Februari saya dan Mas Puji menjadi saksi sepasang Rangkong Badak yang sering melintas di Pringtali, resort Bandealit. Lalu, kemudian, terdapat temuan seekor Rangkong Badak yang sepertinya masih muda, seorang diri (maka, kami duga itu bukan dari pasangan yang selalu kami temui). Berlanjut ketika saya pindah di Sarongan, nampak seekor Rangkong Badak ditemukan. Lalu di Sukamade, mulai dari seekor, lalu juga sepasang yang seringkali nampak di sana. Nah, silahkan anda mengandai-andai jumlahnya. Memang, waktu bertemu sampai sekarang tidak dapat 'dijanjikan'. Ini pun karena jarak jelajahnya yang luas. Namun, yakinlah, bahwa burung raksasa ini masih mudah dijumpai di Meru Betiri, karena hampir setiap hari suaranya dapat didengar. Sangar kan?

Elang-laut Perut-putih (Haliaeetus leucogaster) - ELPP

   Baiklah, dari namanya, kandidat terakhir ini menggambarkan hamparan laut. Sangat pas sebenarnya untuk taman nasional dengan basis kelautan dan kepulauan. Namun, kenapa burung ini diajukan? Tentu saja karena kita bisa membuat 'janji bertemu' untuk melihatnya. Setiap pukul 5 hingga 6.30 pagi, burung ini selalu stay di pantai Sukamade. Adapun jika tidak hadir, tentulah dia sedang sakit atau ada cuti. Kenapa demikian? Setiap pagi, tamu atau ranger selalu melepaskan tukik (anak penyu) ke laut sebagai atraksi wisata. Nah, tukik-tukik inilah yang menjadi bahan sarapan bagi 2 atau 3 ekor ELPP. Gayanya yang suka melakukan akrobatik di udara rasanya sangat pantas menjadi tujuan objek wisata. Apalagi hubungannya, menurut ilmu cocokilogi saya, adalah sebagi predator tukik-> Penyu -> identik Meru Betiri, cukup masuk akal kan?

Anda mau vote?