the biodoversity

the biodoversity

Senin, 23 Juni 2014

(Hampir) dicium Elang Sumberpacet...

  Pengalaman menjumpai burung-burung yang unik dalam jarak dekat itu sudah terjadi beberapa kali. Malah, beberapa hampir-hampir ditabrak atau sepertinya lagi pengen nabrak. Mulai dari udang api, meninting kecil, ayam hutan, uncal, sampai ayam gaul (karena bulunya warna-warni), semua pernah. Tidak ada kerugian memang dari kedua belah pihak, tapi kagetnya itu lhoo.... Nah, hari ini saya berkesempatan hampir 'dicium' elang. Bukan sembarang elang pemirsaaah, tapi Elang Jawa. Yap... burung yang katanya orang banyak termasuk mahkluk ghoib ini saya jumpai di seputaran daerah Sumberpacet, tepatnya jalur tembusan Glenmore-Pesanggarahan via Trebasala. Bingung? saya juga.. lapar? segera masak mi rebus.

Berikut cerita flashback-nya...

Alkisah 2 minggu ini saya membusuk di kamar saya (atau gudang) berukuran 2x2 ini. Karena pekerjaan ngadep laptop, bekerja dengan adobe indesign mulai buntu, lalu 2 hari lalu saya mulai bicara dengan ikan mas koki saya. Nah, daripada membusuk lama dan kopi sudah tak lagi mempan mendinginkan otak, jadilah saya pengin me-refresh sejenak, tapi kemana?

Sumberpacet, yang mana sih?
   Sebenarnya, saya ditantang deBegundals Mas Fendi untuk menuntaskan 2 hal, yaitu yang pertama adalah memotret burung nokturnal di Meru Betiri. Tantangan kedua adalah melintas batas antara wilayah resort Sumber Pacet dan Karang Tambak. Nah, tantangan kedua inilah yang pada hari ini coba saya lewati. Memang dulu pernah saya mencoba, tapi keliru jalan (sok tau sih, hehe). Namun, kali ini, dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama, akhirnya saya masuk ke dalamnya. Melewati mega proyek pabrik gula glenmore, JLS (jalur lintas selatan), lalu ke arah kompleks perkebunan Trebasala, akhirnya sampai juga ke percabangan antara Sumberayu dan jalur hutan.
  Memasuki jalur hutan ini saya merasa 'hijau kembali'. Sepertinya tidak percaya juga kalau ini termasuk akses Meru Betiri. Pasalnya, kawasan Meru Betiri jarang yang memiliki jalan mulusss... Nah, jalur ini cukup baik menurut saya, terdiri dari aspal, bekas aspal, sedikit batu, atau tanah. Cukup lebar, namun semenjak jembatan penghubungnya rubuh, maka mobil tidak lagi bisa lewat sana. Akibatnya, semak-semak semakin merajalela, membuat jalur mulus itu hanya nampak seperti jalan setapak.
   Mengikuti jalur yang meliku-liku, tak membuat saya ngantuk atau bosan. Lutung berlompatan  ketika melihat orang aneh melambai-lambai padanya dari sebuah motor tua. Helm pun saya lepas untuk membuat saya mendengar kicau burung lebih banyak. Aah, benar-benar obat stres... Selain itu, angin akan membuat ketombe saya rontok... ah, bebanpun makin berkurang.
   Hal yang membuat saya semakin semangat adalah burung ghoib nan cantik bernama Cekakak Batu muncul. Weh... ini pertama kalinya saya menjumpai burung ayem ini secara langsung. Ada pula burung ghoib macam Cuca Ijo alias Cica-daun Sayap Biru. Ah, sayang, burung bersuara merdu ini tak mampir dalam frame foto. Hal lain yang membuat esmosi adalah melimpahnya perjumpaan Meninting Besar di sini. Tercatat kurang lebih 12 kali saya menjumpai burung berekor menggunting ini di sepanjang jalur.

(Hampir) Dicium Elang...
   Seakan tanpa wangsit atau peringatan, ketika berada pada jalanan yang menurun, saya dikagetkan oleh burung berukuran sedang, berwarna cokelat yang melaju cepat di-atas-jalan. Otak saya langung mengatakan kalau ini adalah raptor. Iyooo... tau, tapi apa? Percakapan antara mata batin dan logika otak seakan menemukan jawabannya ketika burung ini berkelok ke kanan menghindari saya yang mlongo dan kerepotan menginjak rem. Seakan dalam slow motion, saya melirik burung yang terbang diantara pepohonan lalu masuk jurang itu.... Ah, warna cokelat muda. Ada 3 garis hitam di ekor.... jambulnya kemlawir... tak salah lagi, ini adalah seekor Elang Jawa (Nisaetus bartelsi)...
   Batin saya pun ereksi... antara kegembiraan dan kekecewaan, antara sumpah serapah dan ungkapan syukur. Secepat itukah burung ini melampaui manusia yang mengaguminya? ah... Saya pun terdiam di pinggiran jurang... Berharap burung itu bertengger atau kembali, lalu mau untuk menjalani sesi pemotretan. Hm, omong kosong..

Lalu saya membisik di dalam hati : " Tak apa, asal tahu kabarmu, aku pun senang... Kapan-kapan saya pasti kembali", meskipun dalam hati yang lebih dalam lagi, saya juga bertanya : emang kapan, hehe...
:D

FYI, berikut adalah temuan Elang Jawa di kawasan TN Meru Betiri dalam delapan bulan terakhir:

1. Bandealit : November 2013 - Februari 2014
2. Andongrejo : Maret 2014
3. Rajekwesi : Maret 2014
4. Sukamade : Juni 2014
5. Sumberpacet : Juni 2014

Spesial buat deBegundals dan DJ kalibaru, Bung Deny Astanafa.



Meninting Besar (Enicurus leschenaulti)

Si Unyu Cekakak Batu (Lacedo pulchella)

Salah satu scene di perjalanan

Wiiidih... Sampe tapal batas Glenmore-Pesanggrahan

Selasa, 03 Juni 2014

Mbrasak-mbrasak Bandealit (edisi Tamanan)

   Hum, sudah 4 bulan 'hanya' berangan-angan untuk menuliskan cerita ketika memasuki kawasan rimba Meru Betiri. Ah, daripada cuman jadi angan-angan, lebih baik ya tak muntahkan saja di sini.
Dengan latar belakang kegiatan pemasangan camera trap, maka saya berencana untuk ndompleng mencicipi sensasi masuk hutan (saat itu, saya hanya masuk ke lokasi yang relatif mudah dijangkau). Oleh karena itu, PJ untuk acara menentukan tanggal 6 dan 7 sebagai d-day. Kalau tidak salah sih yang ketiban Mas Adi, salah satu cukers kepunyaan TNMB. Simpatisannya adalah Mas Puji, Mas Andre, Mas Jumadi, dan 2 porter : Pak Hafid dan The Saman, serta tentu saja potograper keliling. 
    Perjalanan diestimasi selesai sebelum gelap, jadi ada 2 hari ke tempat yang berbeda untuk memasang 4 buah kamera. Tujuan kami adalah 2 tempat yang berseberangan 180 derajat, yaitu Tamanan dan Penangan, nama-nama yang unik sekali, hehe. Memang sebuah kebiasaan dan anomali jika di hutan orang menamai sebuah tempat sekenanya, tergantung kebiasaan dan kemudahan menyebut. Maka, tak heran jika sampeyan berkesempatan untuk nge-trans (sebutan bagi kegiatan masuk hutan) di TNMB akan mendengar berbagai nama aneh, seperti Kali PA, Durenan, Penangan, Pondok Plastik, Uthuk-uthuk, Ketangi-pothol, Ringin telu, Tikung Ndhas-kucing, Watu gedhe, dll. Sejarahnya? simpel sekali, misal seperti Kali PA, karena dulu PA (Pelindung Alam, alias Pegawai TN) sering nginap di sana, hahaha...
    Hari pertama menuju Tamanan, tak ada yang istimewa.  Hanya saja, jalur masuk hutan ini cukup mendaki. Dari tengah jalan, kita bisa melihat kampung cawang dan pabrik kopi dengan jelas. Ah, lanjut-lanjut terus, tidak ada tanda-tanda pembuktian informasi temuan. Harapan saya untuk menemukan burung 'aneh-aneh', rupanya harus saya telan dalam-dalam. Wuedan, dimana-mana melihat hanya tutupan vegatasi rapat. Ok fine, Semoga nanti hingga istirahat ada tempat yang sedikit terbuka. Ternyata, dugaan saya keliru... semua hijau babarblas. Tak ada spot untuk melihat burung. Semua burung bermain di bagian atas kanopi, dan kami ada di bawahnya. Ah, memanggul senjata 300 mm rasanya sia-sia. Namun, yang sedikit menggembirakan adalah temuan kotoran karnivora dan cakaran lama pada batang pohon. Whooww.... sekali lagi, ini adalah first time bagi saya untuk berburu jejak-jejak karnivora besar. Namun, setelah observasi awal di sekitaran, tim menemukan tanda-tanda manusia di sana. Ada bekas pondok, patok-patok bambu, dan beberapa bumbung. Weh, ternyata ini adalah sisa orang ndarung (menginap di hutan mencari burung atau ijuk). Akhirnya, dengan menimbang segi keamanan kamera, maka pemasangan di Tamanan akhirnya diurungkan.

Perjalanan hari kedua akan dikisahkan di lain tempat berooo... Kami menuju suatu tempat yang kata PJ acara kita tercinta, disebut lebih 'mudah' dan 'tidak mendaki'...
suwun...





Mas Adi dengan baju hitam, Mas Puji dengan baju kelabu