the biodoversity

the biodoversity

Jumat, 26 September 2014

Sepuluh tahun kita berumah tangga....

"Sepuluh tahun sudah, kita berumah tangga.... tapi tak kunjung jua, mendapatkan putera......"

Ini lagu dangdut asuhay yang sering diperdengarkan kawan kost saya ketika di Malang. Memang, sebagaimana Dubes India, beliau sangatlah wajib meperdengarkan lagu-lagu khas tiap pagi dan malam hari. Lamat-lamat, saya terngiang lagi ketika meresapi kejadian-kejadian bersejarah belakangan ini. Apa itu? Tentunya njenengan yang memiliki twitter, tv, sampai radio bisa menyaksikan bagaimana DPR mengesahkan Pilkada digelar secara tak langsung.
Weh, lalu kenapa bersejarah? yo jelas... ini adalah pertamakalinya setelah era reformasi digulirkan, dan ditendang rezim bapak SBY, pemilihan akan dilaksanakan lagi secara tak langsung. Bukan asal tunjuk dari pemerintah seperti jaman Mbah Harto, tapi sekarang dirumuskan oleh DPR. Yupp, di kota, kabupaten, dan provinsi. Suatu sistem parlementer yang sangat dikenal di Internasional sebenarnya. Look: di Jepang, India, Inggiris, bahkan kepala pemerintahan harus menghadap parlemen untuk mempertanggungjawabkan segala pemerintahannya. Namun, keadaan mereka baik-baik saja kan? tetap nilai mata uang mereka lebih tinggi, hehehe. Lha bagaimana kalau diterapkan di Indonesia? yaah, kita harus berkaca dulu dengan kondisi parlemen kita, atau anda sebut saja sebagai DPR. Berapa banyak dari mereka yang ada di sana karena memikirkan rakyat, atau sengaja karena mereka mencari ceperan? gaji mereka besar, dilengkapi tunjangan yang mewah-mewah... itu fakta. Kenyataan lain yang baru-baru terjadi adalah penggadaian SK pengangkatan mereka untuk mendapatkan hutang... untuk apa? silahkan berargumen sendiri. Namanya manusia, di dekatnya banyak uang cetakan merah, maaf, hanya takut mereka kepleset. Ketika mereka suka sekali 'studi banding' di luar negeri, apa yang ada di benak kita... saya sendiri tidak mau curiga, tapi apakah kita tidak layak curiga? apakah kita tidak berhak untuk was-was. Bagaimana jika, jalan-jalan di kampung rusak dan tidak diperbaiki? bagaiamana jika infrastruktur pertanian kurang? lalu, lalu, lalu... manusia-manusia kurus berdemo menuntut bupati mundur. Lalu... Bupati disidang di DPR... lalu, Bupati itu masih menjabat sepuluh tahun.....karena, karena, karena Bupati itu telah....

ah, sepuluh tahun, akankah menjadi kenangan?

Senin, 08 September 2014

But-but-but... Nasib Si Bubut dan rumahnya di Meru Betiri

Bubut, atau kawan saya kelewatan memanggilnya dengan nama butbut, adalah anomali anggota cuculidae yang bersifat terestrial. Tidak menarik memang, karena warna badannya saja suram, dan suaranya tidak merdu serta cenderung monoton. Namun, cukup menarik karena salah satu anggotanya dari 3 jenis bubut berstatus 'vulnerable' alias terancam. Jenis ini adalah Bubut Jawa (Centropus nigrorufus), yang dari namanya saja kita sudah mengira bahwa burung ini adalah endemik pulau Jawa. Sebarannya tercatat cukup terbatas, seperti pesisir dan muara Jawa Barat, Banten, Jakarta (Mackinnon dkk., 2010), Mojokerto (Budi, 2014), Baluran (Winnasis dkk., 2011), serta di beberapa lokasi dataran rendah di Jawa lainnya.
Untuk mengenalinya, selain dari dokumentasi yang jelas, bubut harus diamati dengan teliti, karena tantangannya adalah burung ini sering sensitif ketika melihat manusia. Sebagaimana khas burung terrestrial, menyembunyikan diri secepat-cepatnya adalah andalannya dalam mempertahankan diri. Jadi, jika kita kurang cermat (sering seperti saya, hehe) dalam memperhatikannya, maka... zonk.

***

Nah, ada banyak foto yang terkumpul ketika saya mbladhus ke Bandealit atau Sukamade. Tantangannya sekarang adalah, berdiskusi tentang nama masing-masing hasil foto tersebut. Kepada siapa? kepada Pak Imam T. yang melegenda dan sanggup membimbing birder amatiran seperti saya, wkwk... mari kita lihat penampakannya.

1. Bubut Besar / Greater Coucal / Centropus sinensis


Foto ini sebenarnya tidak asing lagi karena saya sudah pernah menulisnya di sini. Lokasinya masih di seputaran Bandealit, yaitu pos - feeding ground Pringtali. Namun, awalnya saya mengira jenis ini adalah Bubut Jawa, hehe... Namun, segera menyadari kesalahan yang dibuat, jelaslah ukuran dan warna punggungya sangat khas. Selain itu, ekornya lebih panjang jika dibandingkan dengan Bubut Jawa dan Bubut Alang-alang.


2. Bubut Alang-alang / Lesser Coucal / Centropus bengalensis
Jenis bubut yang paling banyak ditemukan di daerah TNMB. Maksudnya, hampir di lokasi pengamatan yang 'ada bubut', si alang-alang ini muncul lebih dulu. Kemungkinan mereka menginvasi habitat bubut lainnya ya? hehe... Sejauh ini, pengamatan di Malangsari, Sanen, Bandealit, Rajekwesi, Sukamade menunjukkan spesies ini hidup dengan baik di berbagai habitat : dataran rendah, semak pantai, kebun, padang ilalang tepi sungai. Ukurannya yang kecil, menurut saya, menjadi tolak ukur utama ketika burung ini sepintas terlihat. Selain itu, ekornya pendek, dan bulunya khas mirip Bubut Besar, tapi sekali lagi, ukurannya kecil, sekitar 40-42 cm.




 3. Bubut Jawa / Javan Coucal / Centropus nigrorufus
Ini dia jenis bubut yang memiliki status 'artis'. Dari badannya, sangat tidak menarik untuk dilihat : lebih kotor, terutama pada penutup sayap. Makanannya hampir sama dengan  jenis bubut lain, dan tidak pilih-pilih, mulai dari kelabang, katak, telur burung, bahkan ular pohon juga dilahap. Belakangan, kakak ganteng bernama Nurdin Setio menemukan bahwa Bubut Jawa juga memakan padi di Mojokerto (Budi, 2014). Sayangnya, untuk hidup, Bubut Jawa lebih pilih-pilih. Alasannya ya tidak tahu... hehe. Namun, dia sangat gemar hidup di rawa-rawa air tawar, mangrove seputar pesisir. Dosa burung endemik ini adalah memilih tempat yang sekarang cocok untuk pengembangan bisnis properti dan pertanian, hehe... ckck.

Dari semua foto yang saya cek, ternyata kok saya ada rasa penasaran tentang foto ini. Setelah dijebret, pada hari itu juga saya mencatat bahwa ini temuan pertama saya dengan Bubut Besar di Bandealit. Tapi berpikir selama beberapa menit, belakangan catatan itu saya coret dan terganti dengan nama Bubut Jawa. Punggungnya sih hitam meles... tapi kok... penutup sayapnya tidak gelap? Penasaran pada saat itu tertumpuk dengan pikiran sok sibuk lain, hingga hari dimana saya ngrekap data. Fix ini, saya yakin... 60-70 persen ini bukan Bubut Besar. Selain ukurannya yang lebih kecil, punggungya benar-benar hitam. Kalau masalah sayap, kok nampaknya sih ada sedikit kusam. Pilihan masih jatuh pada Bubut Jawa. Ah, sayang ini hanya dijepret sekali, karena rupanya burung ini cukup pemalu. Tak ingin memecahkan masalah sendiri (karena ngga mudeng), langsung foto ketiga jenis bubut saya kirimkan ke Pak Imam Taufiqurahman.
Jawabannya adalah : "Sepakat gung..." jadi sudah ada lampu hijau. Selain itu, Pak Imam juga menjlentrehkan beberapa pedoman identifikasi bubut, termasuk kenapa burung di foto tersebut dimasukkan ke dalam Bubut Jawa.
Nah, ada foto lain lagi dengan kualitas yang amsiong punya, tapi rasanya jelas seperti inilah penampakan Bubut Jawa:



***

Demikianlah para budiman sekalian. Walau burung-burung di atas dianggap orang sebagai 'tidak menarik', atau 'kurang bermanfaat', nyata-nyata bahwa mereka tidak berdaya terhadap manusia. Memang tidak diburu, tapi habitatnya selalu diinvasi, diuruk, dijadikan mall dan perumahan. Peraturan pertama : manusia selalu menang. Peraturan kedua : jika hewan ingin menang, maka ingatlah peraturan pertama.

Maka dari itu saran saya, jangan ikut-ikut mendukung, atau bahkan mendirikan rumah dan mall di tepian sungai atau rawa-rawa. Karena selain merusak sarang bubut, saya jadi tidak bisa memancing mujaher atau tawes. Lagian saya ndak percaya sampeyan mendirikan mall di tepi sungai brantas :p
Saran saya lagi, kalau anda sedang piknik di tepi sungai, jangan lupa bawa binokuler. Siapa tahu anda dapat mengamati orang mandi sekaligus Bubut Jawa yang sedang mandi juga, hehehe...






contekan :
Budi, Nurdin Setio. 2014. Sunda Coucal Centropus nigrorufus eating young rice seeds. Kukila 17 (2)
MacKinnon, John, Karen P., dan Bas van B.. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan              Kalimantan. LIPI
Winnasis, Swiss, Sutadi, Achmad T., dan Richard N. 2011. Birds of Baluran National Park. TNB.

Also :
Kutilang Indonesia (http://www.kutilang.or.id/ )


Minggu, 07 September 2014

Menengok Raport Raptor Meru Betiri

Ketika saya tanya pada orang-orang berumur di resort, entah dimanapun, tentang hal-mushawal mengenai burung, seringkali jawabannya hanya gelengan lemah atau gumaman saja. Adapun beberapa persen dari mereka hanya mampu menyebutkan nama-nama lokal yang membuat saya memutar otak. Setelah otak diputar seperti diesel do peng, maka didapatlah nama burung itu dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar, hehehe.
Oleh karena itu, jika bukan karena Elang Jawa, maka burung-burung di Meru Betiri (atau di tempat lain juga?) tidak akan 'terselamatkan', tertutup oleh longsoran DUPAK, laporan RBM, pelaporan titik, atau laporan kejadian pelanggaran. Saya pikir, di sisi ini, elang artis ini menjadi pahlawan juga, karena telah menyelamatkan kaum burung dari kuburan ketidaktahuan, sehingga mau tidak mau, harus ada kegiatan untuk menemukan bocah berjambul ini.
Nah, kali ini mari berkisah dengan tempat-tempat ajaib di Meru Betiri yang telah mencatatkan nama-nama raptor. Tidak terlalu banyak memang, namun, untuk sebuah kawasan bergunung-gunung seluas 58.000 hektar, it s not bad broo... (menghibur diri :p )

1.Pringtali, Bandealit


Tempat ini adalah tujuan notok wisata di bagian barat TNMB. Sebenarnya, masih ada lagi Pantai Nanggelan di resort Wonoasri, lebih ke arah barat lagi. Namun, pantai ini yang paling oke di kawasan barat. Lokasinya tentu saja pantai, muara, perkebunan - ladang (enclave), hutan, dan juga tepian hutan yang berbatasan dengan enclave. Beberapa temuan Elang Jawa terdokumentasikan di muara barat serta muara timur. Masing-masing merupakan individu dewasa. Sangat terkaget-kaget ketika koridor pengamatan raptor dibuka pada bulan Desember 2013 di daerah feeding ground Pringtali. Berikut merupakan catatan lokal temuan di sana:
1. Elang Jawa
2. Elang Hitam
3. Elang Perut-karat
4. Elang-laut Perut-putih
5. Elang Ular-bido
6. Elang-alap Jambul
7. Sikep-madu Asia
8. Alap-alap Capung
9. Alap-alap Kawah
10. Alap-alap Sapi

Kurang banyak? mungkin iya, jika dibandingkan dengan lokasi-lokasi di taman nasional lain yang lebih terbuka dan kering. Namun, Pringtali, cukup menjanjikan juga untuk pengamatan raptor. Di suatu waktu, lalu lintas raptor di sana sangat padat. Bisa jadi dalam 1 hari 10 jenis tersebut muncul bergantian. Kita tinggal tiduran di rumput mencari naungan, dan memasang mata mengawasi perbukitan yang masih perawan hutannya. Selain itu, hal yang menarik adalah adanya catatan breeding dari raptor tersebut, antara lain Elang Jawa (Desember '13-Februari '14) dan Elang Perut-karat (Maret 2014). Temuan Sikep-madu Asia sendiri terdiri dari ras lokal dan ras ruficolis (migran dari kawasan Asia Selatan). Ini adalah surganya raptor di kawasan barat :D

2. Lahan Rehabilitasi, Rajekwesi 

Nah, rajekwesi adalah pintu gerbang menuju wisata utama TNMB seperti green bay atau Sukamade. Letaknya adalah tepat di timur, berbatasan dengan Kecamatan Pesanggrahan. Tidak ada yang lebih menarik daripada mengamati raptor di sini. Sayangnya, waktu yang sering terbatas (atau juga rasa malas?) membuat kawasan ini tak ter-eksplorasi sempurna.
Lahan rehabilitasi sebenarnya adalah bukit-bukit perbatasan yang telah disulap menjadi ladang. Semenjak diberikan kepada pihak Taman Nasional oleh perhutani, demikianlah keadaannya : jati sudah tidak ada, hanya tinggal ladang-ladang terbuka. Namun, keadaan seperti ini malah memberikan sisi positif untuk pengamatan raptor. Beberapa temuan yang tercatat adalah:
1. Elang Jawa
2. Elang Hitam
3. Elang Perut-karat
4. Elang-laut Perut-putih
5. Elang Ular-bido
6. Elang-alap Jambul
7. Elang Brontok
8. Sikep-madu Asia
9. Alap-alap Capung
10. Alap-alap Sapi
 Yang menarik adalah kecurigaan saya akan lokasi ini sebagai lintasan raptor migrasi. Sulit memang memantaunya secara berkala, namun cukup menggairahkan dengan adanya temuan Sikep-madu asia yang mondar-mandir di sini, baik ras lokal, maupun ras migran orientalis. Sekedar cerita, TNMB sementara sangat miskin dengan data pengamatan migrasai burung, baik raptor maupun burung pantai. Apakah mereka melaju di Jatim bagian utara saja, lalu di bagian tengah dan selatan menjadi terpencar? Aneh, padahal di Alas Purwo, bagian tanjung Banyuwangi (tenggara), cukup kaya dengan catatan burung pantai migran. Ah, entahlah... mungkin, di lahan rehabilitasi ini masih tercecer harapan untuk menemukan 'barang langka' semacam Elang-alap Cina, Elang-alap Jepang, atau bahkan si pengembara : Elang-ular Jari-pendek

Lalu bagaimana dengan yang lain? Tenang, semua pasti dapat kesempatan, baik Kalibaru, Sukamade, Sanen, atau yang lain-lain. Raptor tidak akan pernah ada habisnya, sama seperti burung-burung sak-jenthikan. Misalkan saja Sukamade, spot raptor di sana berganti-ganti alias tidak 'resmi'. Lokasi seperti sebrangan atau patok 9 memang terkadang kaya akan jenis, namun sering juga sepi akan jenis. Jika beruntung malah mendadak bertemu dengan Sikep-madu Asia bertengger, Elang Brontok bertengger, atau Elang Perut-karat yang soaring santai di atas gubuk. Di Sukamade sendiri prestasi puncak pengamatan raptor tidak lain adalah penemuan sarang Elang Jawa yang telah diberi nama Sisuka, hehe.. Namun, jika tanding ilmu kanuragan antara Sukamade - Rehab Rajekwesi - Pringtali Bandealit, saya masih berani masang taruhan untuk 2 lokasi terakhir. Yah, begitulah, ada kelebihan, ada pula kekurangan. Suatu saat, semoga lah ada kesempatan dan dibangkitkan nurani kita untuk mengeksplorasi burung-burung di sana :)



Meru Betiri, Gak ono matine rek... :D