the biodoversity

the biodoversity

Minggu, 26 April 2015

Conservation, local politics, and carnivora reserve on his eyes

   Yang membuat hari ini, Jumat, 24 April 2015, terasa istimewa adalah saya berhenti beristirahat dengan seorang kawan baru di pos pantai Sukamade. Awalnya saya merasa biasa saja. Lalu kemudian, obrolan ini makin menyenangkan ketika beliau mengambil batang rokoknya yang kedua. Artinya, minat beliau untuk menemani saya beristirahat kala lelah berjalan-jalan mengamati burung sungguh sangatlah besar. Mungkin, obrolan tentang kehidupan dan pekerjaan barunya bisa saya skip saja. Tapi yang menarik adalah ketika cerita kami beranjak ke isu sensitif dengan percaturan politik lokal dengan konservasi. 
   Saya yakin beliau adalah orang yang tidak terlalu paham dengan konservasi, apalagi tetek bengek politik, blas. Apalagi ia adalah ex-pelanggar yang sudah tobat sejak beberapa tahun lalu. Keluar masuk hutan adalah pekerjaannya. Lagipula, sejak lahirnya ia sudah menghirup udara yang minim polutan khas rimba. Namun menariknya, ia mencintai dunia konservasi dengan gaya dan bahasanya sendiri. 
    Banyak omongan nggedabrus tentang permasalahan yang membalut taman nasional ini, salah satu topik yang menarik saat itu adalah tentang macan. Ia bercerita tentang banyaknya pemburu-pemburu macan yang datang dari utara (jember) bertahun-tahun lalu, menjajah kawasan PA, membunuh dan mengambil kulitnya yang berharga itu demi pundi-pundi rupiah. Sedangkan dalam sejarah Taman Nasional Meru Betiri, tidak pernah sedikitpun terpotret bentuk dan rupa macan itu. Meskipun jutaan rupiah digelontorkan dan jerih payah orang-orang lapang demi sebuah foto, namun tiap kegiatan harus diakhiri dengan foto-foto 'gagal' mendapatkan buruan utama : karnivora besar. 
    Lalu, apakah sudah benar-benar punah? Tidak... beliau menjawabnya dengan pasti. Salah satu syarat untuk menemukan karnivora besar ini adalah : musim dan tempat yang tepat. Tidak semua tempat dijelajahi oleh macan katanya. Hanya tempat tertentu yang dijadikan tempat berkumpul, semacam party lah. Ini pun ditunjang dengan musim yang tepat, yaitu saat kemarau dan... duren! Nah, yang terakhir ini adalah cerita yang sudah saya dengar dari beberapa orang. Tapi, saya masih gagal untuk menghubungkan antara buah duren dengan keberadaan macan. Kata para penduduk lokal, macan gemar makan duren saat duren-duren berjatuhan. Saya tidak ingin mempercayainya dengan pasti. Mungkin jika duren mengundang hewan-hewan herbivora (sekaligus mangsa bagi macan) datang, maka mungkin itu lebih masuk di nalar. 
Lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan krusial dari mulut polosnya meluncur: "kalau begitu, kenapa kita tidak memasang kamera trap atau nyanggong disana?"
    Nah, ternyata, kamera dan kamera trap adalah inventaris yang dicap 'mahal' oleh banyak instansi. Penggunaannya juga harus sesuai dengan tata pranata - adat istiadat birokrasi. Artinya, harus ada jaminan agar barang itu tidak rusak atau hilang. Sebenarnya, rusak atau hilang saat bertugas itu biasa saja. Lha wong namanya usaha, ya toh? Yah, tapi namanya barang titipan negara. Banyak orang merasa rieweuh jika barang tersebut ada apa-apa, mulai dari pertanggungjawaban hingga... penyidikan! 
    Bahkan, jika permasalahan pertama itu berhasil diatasi, maka dana adalah permasalahan kuat yang menghambat, dan bisa dikatakan kalau financial is the most powerful problem among government institution. Sudah menjadi tradisi jika pemerintah tidak terlalu peduli dengan perkembangan sains ala lapangan ini. Buktinya adalah dana yang datang tertetes-tetes, membuat pencairan alokasi dana selalu mundur dari jadwal dimulainya kegiatan. Akibatnya, musim-musim macan sudah berlalu, tapi ketika dana itu datang telat, maka kegiatan pun harus dilakukan, seadanya. Akhirnya, adalah tak ada yang lebih sedih jika saya mengatakan kegiatan tersebut mubazir, sia-sia. 
    Permasalahan ketiga adalah semangat. Saya yakin semangat melakukan kegiatan lapang masih membara diantara para rimbawan. Yang saya belum yakin, adalah semangat gotong royong, bersatu, saling membantu tanpa pamrih, dan memikirkan sebuah 'keluarga' dibandingkan problematika personal. Permasalahan terakhir ini ibarat kanker, yang disadari atau tidak, telah menjalar dan memecah belah kesatuan. Ketika tantangan dari luar harus dihadapi bersama, maka kanker jenis ini telah jauh menggerogoti dari dalam dan lambat laun sebuah organisasi akan mati dibuatnya. Saya rasa, sudah banyak contoh tentang ini.

Akhirnya, kami hanya bisa memandang gunung-gunung megah meghijau di blok pantai. Kabut tipis menghilang perlahan ketika sinar mentari mulai datang. Kami hanya berharap jika salah satu macan, atau bahkan harimau jawa bisa lolos dari jerat stling pemburu. Bahkan dalam benak kami, besar sebuah harapan agar mereka dapat menemukan pasangannya dan menghasilkan keturunan yang lestari. 
Masalah, biarlah masalah. Ungkapan tentang masalah adalah suatu kegemasan berpikir yang mendobrak batasan-batasan yang dibuat manusia. Tidak perlu takut dikritisi, karena pengkritik harus masuk ke tempat sampah dan pengambil kebijakan selalu benar. Tidak pernah ada yang salah dalam setiap mbuletnya permasalahan itu, karena yang salah bukan kita, tetapi Tuhan, ya toh?

Minggu, 05 April 2015

Duet karya 'Incredible'

Wow, akhirnya saya nulis lagi!
Setelah sekian lama tak disentuh, blog ini rasanya seperti mati suri. Banyak sarang laba-laba di bagian 'compose' dan jalan menuju tombol 'publish' dipenuhi semak-semak. 

Anyway, malam ini saya menceritakan sebuah lompatan besar dari hasil pekerjaan saya dan kawan-kawan di Taman Nasional Meru Betiri. Yapp, ada dua buah buku yang saya 'karyakan' untuk menunjang hasil ndedepi (nongkrongi) burung selama berbulan-bulan. Terus terang saja, sebuah karya baru telah lahir 2 minggu lalu dan di bulan Desember telah rampung sebuah gawe besar yang menceritakan tentang burung-burung indah di Meru Betiri. Mari langsung kita ce ki dot:

1.  Sayap-sayap Meru Betiri
     Didalamnya terdapat 110 jenis burung yang terjepret di Meru Betiri. Belakangan ini, terkonfirmasi foto 2 jenis burung yang belum sempat dimasukkan, yaitu Kokokan Laut dan Kepudang Hutan. Selain species sheet, ada sebuah sisipan artikel tentang temuan keren (bagi saya sih keren keliwat-liwat), yaitu sebuah sarang Elang Jawa beserta anaknya.
     Saya tak ingin membicarakan gaya desain, yang sudah sekuat tenaga keluar dari pengaruh buku-buku lain. Selain itu, dengan isi yang lebih sederhana dan berbahasa Indonesia, buku ini berkesan sebagai salam kenal dari burung-burung Meru Betiri kepada pembacanya. Yang menarik adalah, buku ini menjadi korban dari panasnya politik tahun 2014. Akibat penataan ulang kementrian, akhirnya belum ada anggaran yang pas untuk buku ini. Lalu, dari akumulasi penyebab-penyebab yang lain, buku ini masih 'berdiam diri' selama berbulan-bulan. Kejadian ini sepertinya menjadi bukti bahwa buku dalam bentuk digital menjadi alternatif karya yang mungkin bukan satu-satunya, tapi lebih masuk akal!
Seandainya buku ini terwujud, mungkin rasanya adalah ketika seperti sampeyan pegang gelas es campur, dan es batunya diguyur lewat kepala. Adem pooll... Semoga saja bisa tahun ini terwujud.



2. Animals of Sukamade
 Kebutuhan wisata berbasis internasional yang berkembang di Sukamade (salah satu resort yang banyak dikunjungi wisman) menjadi awal dicetuskannya ide untuk membuat buku ini. Keputusan pertama adalah untuk membuat semacam booklet. Namun, ide ini harus hilang karena isi di dalamnya melampaui standar umum sebuah booklet. Akhirnya jadilah sebuah buku kecil berukuran B5 yang didesain sangat sederhana. Bahkan terkesan 'putihan' dan 'garingan'. Gambar lebih banyak mendominasi. Hal lain yang tercantum adalah nama spesies, lokasi tempat temuan, dan beberapa informasi terkait satwa-satwa yang dianggap unik. Tentunya, atas bantuan kaka' Swasti, buku ini bisa keminggris, sesuai dengan kebutuhan Sukamade yang menjadi destinasi internasional.
Sebagai penyokong ekowisata alternatif non penyu, sepertinya buku kecil ini layak mendapatkan perhatian. Namun lagi-lagi masalah pendanaan, membuat buku ini hanya sampai kepada cetak sampel. Awalnya telah ditemukan wacana sebuah pendanaan mandiri, dan lagi-lagi suhu 'politik' telah menjadi momok bagi kemajuan ilmu pengetahuan (sekaligus ekowisata).


 Nah sodara-sodara yang berkunjung di halaman blog ini, demikianlah dua buah karya yang menunggu dieksekusi. Saya hanya bisa menyebut-nyebut kedua hal ini di dalam doa, karena sekarang hanya dengan bantuan Tuhan segala hal bisa lancar, termasuk segala karya kita, ya toh?
Tetap semangat broh..


Dunia Bawah Kaki

Malam ini saya ingin ngrasani mahkluk kecil bersayap... Bukan burung, tapi terlalu besar untuk lalat, atau bahkan tengu. Namanya adalah kupu-kupu

Yapp, di tempat saya makarya, mereka tidak terlalu banyak jenisnya. Jika saya boleh berbagi dengan pengalaman saya yang cupet ini, kupu-kupu di Meru Betiri tidak sekaya yang ada di pantai kondang merak atau coban rais, alang. Mungkin pilihannya ada 2 : saya yang terlalu ruwet menengadah mencari burung, atau memang benar, jenisnya sangat sedikit? Hm, entahlah, yang jelas, apakah Meru Betiri yang kaya dengan hutan-hutan rungkut, lebat, membuat jenis kupu-kupu sangat miskin, sama seperti di Cangar, Tahura R.Soeryo.
Meskipun demikian, menarik juga untuk melihat-lihat dunia 'bawah kaki' Meru Betiri ini.

Mau yang tertutup, atau telanjang?
Di sini, di Meru Betiri, anda lebih sering melihat mahkluk cantik ini di bumi yang telah 'ditelanjangi' manusia. Rerumputan perkebunan, tepian jalan, atau bahkan di tengah jalan. Rupanya, kupu-kupu sangat tertarik karena tempat yang terbuka memungkinkan semak-semak berbunga untuk tumbuh, seperti Lantana camara. Selain itu, lumpur dan batuan basah juga menarik perhatian kupu-kupu karena menyediakan mineral bagi mereka (disebut mud puddling). Oleh karena itu, saat kita melewati jalanan berlumpur di siang terik, sering kita melihat gerombolan kupu-kupu. Umumnya, kupu-kupu yang suka tempat 'telanjang' adalah mereka yang berwarna cerah. Yah, terkadang memang apes, beberapa juga gepeng karena terlindas ban motor, hehe..
Graphium sarpedon sedang di pinggir kali
Lalu yang tertutup? Nah, kupu-kupu yang gemar hidup di kawasan tertutup ini biasanya jarang bergerombol. Warnanya pun kusam, tak menarik. Kegemarannya pun njijiki, yaitu menghisap mineral dari buah-buahan busuk atau bangkai hewan. Namun jangan salah, sebagian besar dari mereka adalah penghuni julukan langka, atau paling tidak jarang terlihat. Di sinilah terlihat ketergantungan beberapa jenis kupu-kupu terhadap tutupan lahan, atau kalau dengan bahasa sangar, kelestarian hutan. Semakin lebat hutan, mungkin jenis di dalamnya sedikit, tapi 'berkualitas' tinggi :D

Bangun molor? Wah, Cocok!
Sampeyan tukang molor? nah, kabar gembira, kupu-kupu berbeda dari burung. Jika burung harus ditunggu di pagi hari sekali, kupu-kupu harus menunggu sinar matahari yang cukup untuk menghangatkan badan mereka. Pasalnya, mereka sangat tergantung pada sinar matahari yang mampu merangsang syaraf sayap mereka untuk aktif. Itulah mengapa kita jarang melihat kupu-kupu beraktivitas saat mendung, apalagi hujan. Nah, waktu yang cocok adalah sekitar jam 8 atau 9 saat matahari baru sepenggalah, hingga pukul 11 siang. Anda masih molor? Di situ saya terkadang sedih melihat nasib anda...
Eurema hecabe , nampak bagian underside-nya karena paparan sinar
Sambil mengusap iler yang super bau, mari kita pergi ke jalanan tanah atau yang kaya dengan semak berbunga. Ingat, hunting anda sangat tergantung dengan cuaca, jadi berdoalah agar cuaca benar-benar terik saat itu. Musim yang paling tepat adalah penghujung penghujan, dimana banyak hujan yang membuat genangan dan melarutkan mineral di malam hari, namun di pagi harinya, sinar matahari sedikit demi sedikit menguapkan air dan meninggalkan mineral di permukaan tanah. Sudah pasti, banyak kupu-kupu terlarut dalam pesta mineral atau nektar saat itu. Atau di lain kasus, saat musim kemarau, banyak kupu-kupu melakukan mud-puddling di tepian sungai kecil yang berlumpur.

Sabar...
Jika anda berkeinginan untuk mengetahui nama mereka, maka sabar adalah kuncinya. Ada dua pilihan untuk 'berkenalan', yaitu dengan menangkap atau memotretnya. Nah, seperti saya yang tukang poto amatir, memperoleh foto mereka adalah hal yang gampang-gampang susah. Susahnya adalah karena mereka termasuk serangga yang cerdas. Getaran akibat langkah kaki cukup membuat mereka berterbangan dan susah diam kembali. Selain itu, beberapa spesies hanya dapat dibedakan jika kita mengetahui pola pada posisi underside (saat menutup) dan upperside (saat membuka). Nah, kebayang kan bagaimana mensiasati itu semua dengan pose shoot merayap, berjongkok, tiarap, sembari berjemur dan dilihat buruh penyadap karet? :v

Nah, ini adalah beberapa jepretan yang saya koleksi di Meru Betiri:

Eurema blanda
Saletara liberia
Graphium antiphates



Appias albina

Cepora iudith