the biodoversity

the biodoversity

Minggu, 14 Juni 2015

Korban Revolusi

Saya sangat suka dengan karya Pak Pram yang berjudul Keluarga Gerilja. Karya ini bisa membangun tiang-tiang gambaran Indonesia era jaman perjuangan pasca kemerdekaan. Ada banyak idealisme berkembang tentang kemerdekaan, kesimpansiuran kekuasaan, kegundahan akan kehidupan rakyat kecil yang terhilang, dan dalam semua hal ini, Pak Pram berhasil. Hanya dalam percakapan yang bercirikan panjang-panjang, ada satu hal yang menarik. Terngiang perkataan bahwa seseorang mati bukan karena nasibnya, tapi karena ia dipilih oleh revolusi untuk mati. Ya, revolusi sudah memilih korbannya. Perkataan sederhana, namun membawa dampak bagi jiwa korbannya, terjadi diantara kegelapan malam dengan terang lampu ublik yang berkedip-kedip. Lawan bicaranya hanya melenguh pasrah, karena memang jika revolusi sudah memilih korbannya, maka tak ada yang mampu menolaknya. Apakah ia tertembak, dihukum mati di kayu sula, atau ketika mabuk diceburkan di dalam kali. Sungguh jaman keras.

Terlepas dari penatnya peperangan argumen di pemilu 2014, Joko Widodo akhirnya melenggang menjadi presiden RI. Tindakan awalnya adalah menggaungkan 2 buah kata sakti yang mungkin akan dipegang hingga kini : Revolusi Mental. Artinya ada perubahan besar-besaran yang akan segera terjadi, dan ini untuk mental orang Indonesia. Mungkin sejajar dengan Fidel Castro menggaungkan "pertempuran all out terhadap buta huruf dan kemiskinan" atau ketika Tan Malaka mengungkapkan "pendidikan adalah kunci kemerdekaan", Revolusi Mental juga menjadi kecamuk ketika susunan birokrasi Indonesia disentuh untuk direvolusi. Masa-masa itu, saya ingat betul ketika terjadi penerimaan CPNS 2014-2015. Saya, yang masa itu adalah seorang sukarelawan di TN Meru Betiri, dengan begitu percaya diri mendaftar. Bagi saya, ini adalah kesempatan besar yang akan mengubah hidup saya. Semua kekayaan hayati Indonesia banyak berada di tangan pemerintah, maka ketika saya harus hidup untuk mengolahnya menjadi baik, haruslah kesana tempatnya. Ketika itu, Kementrian Kehutanan 'hanya' membutuhkan orang yang berasal dari kehutanan, pertanian, dan lain-lain, tanpa sedikitpun kesempatan untuk sarjana biologi. Akhirnya, Kementrian Lingkungan Hidup yang masih membuka lowongan untuk sarjana biologi, menjadi pilihan yang saya anggap baik. Bahkan, saya mendaftarkan salah satu pilihan ke Papua, salah satu tempat yang dianggap terpencil, karena kesiapan saya untuk mengabdikan diri.
Namun, gaung revolusi itu nyatanya lebih cepat mendahului langkah saya berjuang untuk hidup dan cita-cita. Kehutanan dan Lingkungan Hidup dijadikan satu, dan proses birokrasi Indonesia yang terkenal lama, membuat saya tergantung seperti di kayu sula. Tidak ada kejelasan pengumuman kelulusan, sedangkan uang untuk kehidupan saya tidak lagi ada (maklum, sukarelawan di Taman Nasional).
Masa-masa yang berat itu saya jalani dengan kepahitan. Saya masih ingat, jika saja saya hidup tanpa menghisap hasil kerja ibuk saya... tentu saya sudah kere. Hutang demi hutang saya lakukan kepada ibuk saya untuk sekedar biaya bensin ke sukamade. Sedangkan untuk keluar dari rumah ini, guna mencari penghidupan, akh... saya lihat muka Ibuk saya tak ada gembiranya. Sulit sekali tegar seperti pahlawan saya, Tan Malaka yang melayang bagai burung-burung kemana ia mau pergi. Lengkaplah sudah ketika pengumuman : saya tak diterima, bahkan di Papua. Alasanya:saya tak memprioritaskan pilihan di Papua. Ah, bullshit. Lagipula, akibat revolusi itu, janji bahwa saya akan segera menerima gaji di bulan januari menjadi hampa...

Saya sedih sejadi-jadinya. Saya sedih karena keterbatasan kesempatan untuk menggapai cita-cita sederhana saya : tidak jauh dari ilmu lingkungan dan pendidikan, hal yang saya bangun idealismenya sejak 4 tahun lalu dengan hati saya sendiri. Sedangkan untuk hidup di Meru Betiri, saya rasa bukan tempat yang tepat. (Mungkin nanti saya ceritakan di lain kesempatan.). Namun apa daya. Pak Pram sudah menggambarkannya dengan kata-kata sederhana: korban revolusi. Tak ada yang mampu menyangkal dan memberontak. Seakan perkataan ini diucapkan di malam yang sama, dengan penerangan lampu ublik yang menyetujui suasana yang sedih hati. Tak ada satupun orang yang mampu menjawab: akan kemanakah saya? Siapa yang harus saya musuhi? Akankah saya bisa menjadi tegar? atau, masihkah saya akan di sini?
Tak ada yang tahu... karena saya pun, korban revolusi.