the biodoversity

the biodoversity

Selasa, 01 Desember 2015

Wonosobo Kota Damai

   Inilah kota yang akan menjadi awal mula dari perjalanan saya berkeliling mengikuti Khadafi dan kawan-kawan menjelaja. Yap, kami mejelajah untuk menemukan herpetofauna yang disponsori oleh proyek USAID. Proyek dengan pembiayaan besar ini akan mengantar kami menjelajah tlatah Jawa dan Sumatra nantinya. 
    Sebelumnya, mereka (tim) telah sampai di Purwekorto, yang saya lewatkan sebagai kota pertama proyek ini. Namun, untuk yang kedua yaitu Wonosobo, mereka berbaik hati untuk mengajak saya. 
Berangkat dari malang dengan sebuah bus, saya kagum dengan perjalanan ini. Sampai di daerah Kedu, Temanggung, bahkan di Wonosobo, di kiri dan kanan adalah hamparan perbukitan luas. Tanaman utamanya adalah tembakau. Komoditi ini sungguh sangat terkenal sebagai tembakau kualitas terbaik pengisi cerutu. Konon, pejabat tinggi dunia juga menghisap tembakau Kedu dan sekitarnya. Saking berkualitasnya, saat kita menggenggam daun tembakau Kedu, ia takkan hancur, namun hanya menggulat seperti bola. Semuanya hanya dikarenakan oleh tingginya kadar nikotin, racun ternikmat yang sering dihisap manusia. 
    Tak ubahnya perjalanan ini seperti kampung halaman saya di Kalibaru : penuh dengan kelokan. Hanya bedanya, tiap kelokan selalu dipenuhi oleh truk dan bus besar yang menunggu giliran untuk lewat. Tentu saja karena medan yang berbukit, maka jalanan berkelok ini juga mengalami naik-turun. Sudah pasti sopir yang lalu di jalanan ini piawai adanya, karena antrian di tiap tanjakan adalah maut bagi orang-orang tanggung yang baru belajar menyetir.
    Kami ditampung oleh ibu dari bupati Wonosobo. Rumahnya khas jawa, dengan ornamen campuran yang sukar dijelaskan : sedikit pernik Belanda pada pintu, lampu dan sekilas gaya Arab pada lesehan luas tempat tamu bisa beristirahat, namun secara keseluruhan, rumah tersebut adalah Joglo Jawa. Dosen kami sekaligus pemimpin proyek ini, Nia, adalah penentu kenapa kami dapat ditampung oleh salah satu orang yang 'berpengaruh' di sini. Tingginya pengaruh ini terbukti dengan banyaknya tamu yang berkunjung baik siang dan malam. Terkadang mereka berbincang di ruang tamu maupun di lesehan. Topik pembicaraan mereka beragam, mulai politik, keluarga, atau agama.  Keluarga ini adalah penganut Islam pesantren Nahdatul Ulama yang taat. Sangat khas, sedikit ortodoks, dan tidak bisa dipungkiri, bahwa memang kehidupan khas pesantren telah mendarah daging di sebagian besar penduduk Pulau Jawa. 
   Kami ditempatkan di sebuah kamar di pojok belakang-kanan rumah ini. Tepat di hadapannya, terdapat beranda keluar yang membuat kami mudah untuk melakukan pengawetan sampel hingga ekstraksi DNA. Tiap pagi, pembantu keluarga ini selalu mengantarkan penganan kecil dan teh manis. Sungguh hal yang membuat kami tidak enak, selain karena kami yang selalu terlambat bangun karena pekerjaan kami yang selalu selesai larut malam. Namun, uniknya, semua tamu dan termasuk kami, selalu dihidangkan makan. Semua jamuan ini terjadi 3 kali sehari. Belakangan kami ketahui bahwa hingga berakhirnya kami menginap di sana, tuan rumah, yaitu sang ibu bupati, tidak mau menerima uang pengganti apa yang telah kami habiskan...

Sua, Sang Pawang Ular
   Alif menceritakan pengalamannya ketika menemui seorang pawang ular yang akan kami sewa untuk menemani kami. Memang telah menjadi kebiasaan kami untuk menempatkan orang lokal dalam tim. Selain sebagai pelindung dari pertanyaan masyarakat, mereka juga berguna sebagai penunjuk jalan dan adat setempat. Ia (Alif) telah menemui seorang yang bernama Sua. Ia berkelakar tentang banner yang ditempel di tembok ruang tamunya. Di sana dikatakan : Sua, Sang Pawang Ular. Saya menjadi penasaran tentang sang pawang tersebut...
   Akhirnya, pada malam hari kami semua dapat bertemu dengan Sua. Ia cukup tinggi dan kekar. Tubuhnya menggambarkan pekerjaan utamanya sebagai kuli bangunan. Rambutnya cepak dan kegemarannya menggunakan kaos ketat, sudah sangat mirip dengan seorang binaraga. Orangnya ramah dan cerdas untuk ukuran orang lokal. Ia sangat berhati-hati dalam memilih ucapan, sehingga rasanya kami dapat mempercayai sebagian besar perkataannya. Bahasanya sangat medhok, khas Ngapak, meskipun tidak 'separah' orang-orang Cilacap. Kemampuannya terbukti saat melakukan handling tangan kosong pada Viper, Sanca, Weling, ataupun Kobra. Satu kejadian yang membuat bergidik adalah ia mengambil telur-telur kobra di dalam karung, meskipun didalamnya terdapat 3 ekor kobra yang terus mendesis-desis, seakan-akan ia dapat menghipnotis mereka. Pengalaman terberat kami bersamanya adalah menjelajahi Curug Winong, salah satu tempat yang diharapkan memberikan kami banyak hasil. Namun, berkali-kali Sua dan menantunya harus meminta maaf karena pada musim kemarau ini, kami tidak mendapatkan banyak hal. Medan di curug ini sangat ekstrem. Tanjakan tidak lagi bisa ditempuh dengan jalan mendaki, namun memanjat dengan berpegang pada akar dan kayu kopi. Suatu hal yang diakui menguras banyak energi.  Kami merasakan bahwa Sua adalah orang yang mudah diajak berbincang. Ia sendiri gemar berkelahi, namun tetap menjaga perdamaian di kampungnya. Tidak banyak kejadian bentrokan di sana, namun sesekali terjadi. Kelompok terminal dikatakan sebagai kelompok yang paling beringas dan ditakuti. Namun di hari normal, mereka seakan tersulap menjadi pedagang, kenek angkot, atau tukang parkir. 
   Ada banyak sampel yang kami dapat, namun rasanya kemarau tahun ini menghalangi kami untuk menemukan 'kualitas' pada sampel yang kami temukan. Bagaimanapun, kami mengingat Wonosobo sebagai kota kecil yang damai, dan Sua adalah guide terbaik yang pernah ada.

Pak Sua

   
Di alun-alun Wonosobo