the biodoversity

the biodoversity

Jumat, 27 Mei 2016

Buku Burung Meru Betiri

   Jadi, ketika tulisan ini turun bagai ilham, saya sudah dua kali buang air besar, yang mungkin menjadi peringatan agar saya segera membagikan buku burung-burung Meru Betiri (meskipun ngga nyambung juga sih). Sebenarnya, saya merasa kurang enak karena sudah pasti teman-teman birder menagih buku ini, dan bahkan penulisnya sendiri hanya diberi dua buah : satu saya miliki pribadi sebagai kenang-kenangan, satu saya sumbangkan untuk lab biodiversitas, hahahaha... can you imagine that? Tapi, baiklah.. apapun itu, buku ini terlahir menjadi sebuah kebanggaan dan kerja keras selama kurang lebih 2 tahun. Buku ini masih belum sempurna, karena belum semua resort dijelajahi secara penuh, apalagi resort yang sangat mencil dan penuh misteri.Dari sisi penulisan, editing bolak-balik, hampir semuanya dikerjakan secara tunggal putra. Jadi, ketika deadline untuk mencetak muncul, sangat sedikit waktu yang dimiliki untuk melakukan pengecekan referensi atau malah edit layout (hoek cuih.., hahaha)
    Ketika buku ini tercetak, bahkan saya sudah tidak lagi bergabung dengan Meru Betiri. Sedih memang, tapi yah memang itu jalan yang saya pilih, hehehe. Tapi saya tidak khawatir, hati untuk mencintai burung sedapat mungkin telah saya tularkan ke saudara-saudara saya, termasuk mas Eko dan mas Puji. Mas Eko makin sering jalan-jalan dengan binokuler dan buku field guide-nya. Kang Puji harus kerepotan dengan kamera yang selalu rusak, karena terlalu banyak dia pakai untuk njepreti burung atau sekedar monyet kawin. Mungkin, hanya doa yang kini bisa saya bantu, agar mereka dan kawan-kawan lain terus sehat dan selalu mencintai alam. Penambahan data, atau bahkan munculnya buku-buku satwa dan tanaman yang baru pastinya hanya menunggu waktu saja, dan kiranya buku ini bisa menambah wawasan semua pembaca tentang taman nasional indah di selatan Jawa timur ini. 

salam,






silahkan download di sini





Kamis, 28 Januari 2016

Ntab deh...

    Berulangnya kisah dua bioder kelas 'kuampret' mengawali perjalanan perdana kami. Adalah saya dan sesosok Faldy yang pernah menjelajah pantai-pantai Malang Selatan di era tahun 2013 silam. Kini, setelah saya sudah eks-pekerja dan dia masih tercatat dalam akta pegawai Brawijaya University, kami masih bersahabat untuk menaklukkan Malang Raya (Malang, Batu, dan Kabupaten Malang). 
    Sebenarnya, tujuan kami tak jauh beda dengan petualangan dua tahun lalu, yakni mencari kupu-kupu. Serangga unik nan perasa ini memang (menurut kami) lebih banyak di daerah Malang Selatan, yang notabene adalah dataran rendah. Apalagi jenisnya unik-unik. Sebut saja si Rohana nakula langka yang ditemui di beberapa lokasi rahasia (hanya kami dan pihak CIA yang tahu, wewewe). 
Tujuan kami jelas setelah kami membuka Google earth : Pantai Ngantep. Lokasinya adalah di dekat Balekambang. Yah, bisa dibilang ia adalah tetangganya, sekaligus tetangga sebelah barat Pantai Sendang Biru. Namun, sepertinya ia kalah terkenal dengan kedua pantai itu, termasuk kalah terkenal dengan Kondang Merak. Tapi tidak apa-apa. Kami mengaku kalau kami adalah tipe manusia najis tongsis dan sekali lagi, tujuan kami sebenarnya cuma mencari kupu-kupu. 
    Perjalanannya seperti biasa khas Kabupaten Malang : dominasi perkebunan, lahan PERHUTANI, desa-desa kecil, sawah, dan semuanya nampak sepiiii tapi tiba-tiba muncul keramaian seperti kota kecamatan atau pasar tradisional. Berpuluh-puluh kilometer dilalui oleh motor genjress saya yang bermerk win 100 dengan tabah. Meskipun tak lagi muda, motor ini setia adanya menemani tuannya menembus belantara dan jalanan selama 3 tahun. Karena tenang dan sangat kontras dengan hiruk pikuk kota Malang, kami sempat bepikir untuk membeli tanah di sini saja, hehe... 
    Sekitar 2,5 jam, kami sampai di pertigaan, dimana Pantai Balekambang arah lurus, Kondang Merak Kanan, dan Ngantep ke arah kiri. Sepertinya tidak ada petunjuk resmi di pertigaan itu. Kami hanya berpedoman pada Google Earth dan Google Map yang berbaik hati menemani kami. Rupa-rupanya, sangat berbeda kondisi daerah itu sekarang. Pembangunan Jalur Lintas Selatan (Jalur Lintas Selatan) telah merubah sebagian rupa dari daerah dataran rendah itu. Bukit dan gunung dibelah menyisakan pemandangan tebing-tebing tanah dan batu berwarna coklat kuning. Kami melaju di jalanan berlajur dua yang beraspal halus, tetapi masih dalam tahap pengerjaan di sana-sini. Jembatan-jembatan dibangun dan di sana-sini kami temui tiang-tiang beton untuk kabel listrik terbujur di tepian jalan. Sepi, dan minim penerangan. Beberapa kampung yang juga belum nampak jaringan kabel listrik mulai bermunculan. Saya membayangkan pekerjaan megaproyek ini bila ditangani oleh Pemerintah Kolonial masa lalu. Bisa-bisa sekali lagi mencabut nyawa ribuan rakyat (tapi kalau sekarang yang dicabut duitnya, hehe).
    Baiklah, singkat cerita, kami sampai juga di depan loket tiket. Gerbang Pantai Ngantep  masih dalam tahap pembangunan oleh warga desa. Sepertinya, warga desa juga mengelola tiket masuk dan juga beberapa fasilitas di sana. Setelah itu, 20 meter berikutnya kami diberhentikan oleh 3 orang pegawai PERHUTANI di loket yang berbeda. Mereka memberi kami tiket sekaligus tiket parkir. Entah apa yang terjadi sehingga dua loket itu tak disatukan meski berbeda pengelolaan. 
     Well, fasilitas di sini lebih menarik sepertinya dibandingkan Kondang Merak. Pantainya berupa pasir yang sedikit cokelat dan cukup halus. Pagar-pagar, tempat sampah, dan kursi tertata rapi diantara pepohonan Bogem di tepi pantai. Pemandanganya? Warbiyasak... Udaranya bersih, dan yang penting pada saat itu masih minim alayers yang datang. Pantai Ngantep sama dengan pantai-pantai di jawa selatan, yaitu adanya larangan mandi di pantai dimana-mana. Salah satunya tertempel dalam spanduk merah berukuran besar di sebelah barat pantai. Sepertinya, penempel spanduk ini sengaja merusak background foto alayers nantinya, hehehe.. Tapi peduli amat? Kira-kira beberapa waktu yang lalu ada wisatawan lokal yang hanyut di pantai Bajulmati yang berada di sebelah timur pantai Ngantep. Jasadnya sendiri belum ditemukan, dan di depan loket terdapat pengumuman yang mungkin membuat wisatawan berpikir lagi untuk mandi. Isinya: "jika menemukan jasad korban tewas tenggelam dari Pantai Bajulmati, silahkan hubungi (nomor telpon desa dan tim SAR)." Mungkin oleh karena itu, petugas dan warga membuat papan dan spanduk peringatan berukuran besar agar jangan lagi ada wisatawan yang 'uji nyali'. 
Kami menikmati kurang lebih satu jam di pantai yang mulai terik tersebut dan kemudian bergerak ke arah timur. Sebuah muara yang buntu dan dipenuhi riparian ada di sana. Pastinya, muara itu akan terhubung dengan laut jika musim penghujan. Di tepian sungai terdapat puluhan Appias albina sedang asyik menghisap mineral lumpur. Saat kami melangkah menyeberangi muara, mereka terbang membuat kami seakan berada di gulungan mahkluk bersayap ini, hehe. Tidak banyak kupu menarik di sini. Kami pun tidak terlalu kecewa karena pemandangan pantai ini bagus, hehe.
    Kami penasaran dengan tebing di sebelah timur ini. Saya sendiri menduga bahwa pemandangan di sana lebih keren. Nah, setelah mengikuti sebuah jalan setapak yang cukup menanjak, akhirnya kami sampai pada tanah lapang yang sedikit menjorok ke laut. Dari sini terlihat Pantai Ngantep secara keseluruhan. Di sebelah timur, terdapat gugusan pantai kecil dan tebing batu. Di sebelah barat ada hamparan pasir dan juga tebing di sebelah barat. Secara samar-samar kami melihat pantai lain di barat, mungkin itu adalah Balekambang. 
Ada empat orang pemuda yang tiba-tiba berenang di atas papan selancar sambil bertelanjang dada. Saya yang bukan manusia ikan menjadi gentar ketika melihat mereka terapung bak titik kecil di tengah palung samudra. Salah satunya yang mungkin lebih senior terus berenang maju, mungkin hingga 100 meter jaraknya dari pantai. Mereka terus menunggu ombak-ombak besar yang berdatangan sambil bercanda di atas air. Hiii.. Secara beruntun setelah dirasanya pas, 3 orang yang paling dekat menunggangi ombak tanggung dan kemudian tercebur di dekat pantai. Namun, yang mengherankan adalah sang senior yang masih berada di posisinya, dan bahkan menjadi lebih jauh dari pantai karena arus laut. 
    Seketika, ia meraih papannya untuk bertelungkup, dan berdiri di atas gelombang yang semakin membesar. Rasanya dengan mudah ia mencoba masuk di dalam gulungan ombak besar itu dan secara sempurna, ia sampai di pantai. Saya pun turut bersorak melihat pemandangan itu. Kami berseri-seri melihat pemandangan keren dari atas tebing itu. Pokoknya, Nganteb memang Ntab deh..

Ombaknya bergulung-gulung broooh





cihuuui