the biodoversity

the biodoversity

Rabu, 04 Mei 2022

Cerpen : Sebuah Ketukan

Tiga orang berjalan lambat-lambat pada suatu malam yang hujan. Salah seorang di tengah, nampak sedikit menyeret kakinya, walau dua orang lain berusaha terus memapah dan mengangkat bahunya. Sampailah mereka pada sebuah klinik dengan jendela dan pintu-pintu kaca. Namun, mereka serasa enggan mengetuk dari depan. Orang yang lebih tinggi mendekati samping rumah itu, dan mengetuknya dengan kasar. Pukul 23.45, dan kedua orang yang menunggu itu semakin gelisah di tengah hujan yang kian mereda. Baru, tak sampai 5 menit, selisih waktu yang bagi mereka seperti 5 jam lamanya, sebuah ublik dinyalakan, dan kian kemari di dalam klinik itu. Arahnya dari dalam, dimana sebuah rumah tersambung dengan pintu belakangnya. Seseorang membuka pintu depan, dan si pengetuk jendela samping ini melangkah dan menyiapkan revolver. 

Ublik diarahkan ke dekat muka sang tamu, dan nampaknya sang tamu juga mencoba mengenali siapa-siapa yang ada di dalam rumah. 

"Sopo kowe?" tanya seseorang di dalam rumah
Sebelum menjawab, tamu ini tertegun karena di balik tuan rumah, ada perempuan dan anaknya yang kecil, nampaknya setengah rewel karena ia dibangunkan tiba-tiba. Sungguh sangat beresiko, dan tamu ini menyembunyikan revolver yang digenggamnya pada sebuah wadah di balik ikatan sarung. 

"Pak Sigit.... Janure Kuning..." kata tamu itu singkat, dan ia mulai menggenggam lagi revolvernya. Ia bersiaga, jika kata kunci itu salah diterima oleh orang yang tak berhak, maka ia harus menghabisi orang di depannya

Maka, orang yang disebut Sigit ini menjawab:
"Janure gawe kupat... Mari mas, masuk." Kata Sigit, sembari ia merangkul mengajak istri dan anaknya masuk ke kamar, sedangkan pintu klinik dibiarkannya terbuka. Ia pun menambah ublik lagi sebagai penerangan di ruang tamu. Kata kunci ini diterima dengan baik, dan menunjukkan bahwa sang tuan rumah adalah republiken tulen, bukan mata-mata Belanda.

Tampak sebuah kelegaan pada tamu ini, dan dengan sebuah gerakan tangan, ia mengajak 2 orang lain yang kini basah kuyup, untuk masuk. Orang yang di tengah telah ditidurkan dalam sebuah ranjang periksa. Dari batalyon, ia hanya tahu nama Sigit, tanpa diperbolehkan mengenal muka. Hubungan umumnya hanya menggunakan kurir penggembala, dan mereka dari Batalyon 16, hanya mendapat berbagai obat-obatan yang disembunyikan di pinggir lapangan. 

"Perkenalkan Pak Sigit, saya Dirjo, saya membawa 2 anak buah saya, Supar dan Kateni. Kateni tidak bisa berlama-lama menunggu bantuan bapak di pinggir lapangan lagi. Saya takut, infeksinya semakin menjadi-jadi."

Sigit sendiri tak banyak bicara dan cukup tak peduli apa yang dikatakan Dirjo, ia mengambil senternya, dan mulai memeriksa mulai dari luka di kaki, tenggorokan, mata, kulit, dan juga detak jantung. Kateni nampaknya tak ada masalah apapun, kecuali bengkak di kaki, dan juga demamnya yang sangat tinggi. 

"Dengar, obat sudah susah, tapi dia harus dirawat, jika mungkin di sini" Kata Sigit lirih. 
Maka mendengar itu, ketiganya berpandangan. 
"Jika tidak, kateni tak bisa lagi gunakan kaki kanannya. Peluru mitraliur, meski sudah diangkat,akan menyisakan kuman dan hidup kalian jauh dari kata bersih. 

Maka, Sigit mengutarakan sebuah rencana, dimana ada kandang sapi yang tak lagi digunakan. Kandang itu cukup bersih, dan telah digunakannya sebagai timbunan gabah kering. Kateni bisa istirahat di situ, dan tak boleh kakinya basah lagi. 

"Esok, aku akan ke rumah sakit. Kalian berdua pulanglah. Kateni harus ganti baju, dan akan kubereskan yang ada di sini." Perintah Sigit, sang Mantri perkebunan itu. 

dan demi mendengar omongan Sigit mantri, seperti terhipnotis, Sersan Dirjo dan Prajurit Supar mengambil sarung kumal, boot, ikat pinggang, dan berbagai jenis jimat yang dimiliki kateni. Sigit pun telah usai membersihkan luka, mengganti perban, dan mencarikan baju bagi Kateni. Istri sigit,  tak bisa tidur, dan terus menerus mengawasi percakapan mereka dari jauh. 

Malam sudah berganti, kini 10 Januari 1949. Hujan yang sempat terang, sekarang mengalir seperti ditumpahkan dari langit. Sesaat, Sigit seperti tersadar sesuatu. Ia segera meniup lampu ublik. Keduanya kemudian disimpan di bawah meja kaca dan meninggalkan asap tengik di ruangan itu. Segera setengah berlari dalam gelap, ia menutup pintu klinik. Di balik pintu, ia melirik teras depan. ..Celaka, lumpur dari kaki-kaki gerilyawan batalyon 16 ini masih belum beres. Tapi sudah tak ada waktu lagi, dari tikungan muncul sepeda kayuh. 
Demi melihat kegugupan Sigit yang kini bersembunyi di balik tirai klinik, dua orang gerilyawan tadi, meraih senjata-senjata mereka. Ya, perkebunan ini di bawah kontrol Belanda, dan sekelompok KNIL, menjaga pabrik-pabrik kopinya. Sepeda kayuh itu terus mendekat, dan akhirnya lewat jalanan berbatu di depan klinik. Lumpur yang ada di teras, kini sudah memudar, bahkan hilang. Kini lewatlah pengendara itu, tanpa menjumpai keganjilan apapun, dan berbelok kanan pada sebuah pertigaan, untuk kembali ke pos jaganya. 

Ah, sungguh mendebarkan. Dirjo pun masih dalam posisi bertelut, memegang revolver hingga sekembalinya Sigit dari ruang tamu. 

"kembalilah satu pekan lagi, salam untuk Pak Gatot, dan tolong, jangan resikokan diri kalian lagi. Saya besok akan meninggalkan barang di pohon glintungan, dan kalian, tetaplah awas. Jangan mengambil jalan utama." pesan Sigit. 

" Siap, mengerti pak, merdeka!!" sahut Dirjo dengan badan yang ditegapkan. 

"tetap merdeka" timpal Sigit, sembari kini kepalannya berada di depan dada. Dirjo dan Supar pun pamit, dan Kateni dipapah untuk beristirahat di kandang. Kini, suami istri itu membersihkan lumpur, sisa darah, hingga alat-alat praktik yang tadi digunakan. 
Sedikit terisak istri Sigit mengingat fragmen kejadian itu, namun apalah daya, revolusi ini terus bergulir, dan tak tahu kapan akan berakhir. Cukup Sigit berada di tengah keluarga, dan tak perlu berjuang di front adalah rasa syukur luar biasa. Sigit meresikokan dirinya untuk tinggal di bawah hidung Belanda, sembari ia menyelundupkan obat-obatan hingga menyumbangkan tenaganya sebagai medis. Nyatanya, tak perlu memegang pistol, namun kekhawatiran itu pun tak hilang. Ia terlamun, dan lamunannya semu memikirkan beratnya perjuangan itu...