the biodoversity

the biodoversity

Sabtu, 15 Desember 2012

Siapa kamu, siluman terbang Meru Betiri?

Tidak semua dari spesies yang saya amati di Bandealit, 15 Nopember 2012, bisa terident dengan baik...Ah andai mata saya bisa secepat shutter kamera, pasti mahkluk-mahkluk itu bisa terdokumenkan (itu pun kalo mirip kamera 7D, hehe). 

Ada suatu spesies yang mirip dengan Bubut sp. Spesies ini saya jumpai ketika mengunjungi kandang rusa yang telah rusak (mengabaikan peringatan banyaknya celeng di sekitar sana). Anehnya, dia bersuara mirip sekali dengan ayam hutan : kok-kok-kok...Saat terbang pendek, saya bisa melihat ukurannya : sekitar 40 cm, bentuknya mirip bubut, tapi dengan warna merah bata yang merata pada hampir sekujur tubuhnya, namun sayang sekali, kepalanya tak terlihat jelas.. Ia sekali saja terbang rendah, sebelum masuk ke dalam semak-semak setinggi perut saya. Si burung 'siluman' ini segera kembali lagi ke tempat pertam ketika kaki saya mencoba melangkah pergi. Lha ketika saya kembali lagi, eh.. tau-tau dia terbang menjauh lagi.. Hm, apakah tadi saya sudah mendekati sarangnya? Saya coba mencari telur atau tanda sarang lain, tapi nihil...

Spesies kedua yang menjadi misteri adalah burung yang sekelebat saja melintas di hadapan kami (ber-3) di jalur satwa. Saya dan seorang kawan, melihat dengan jelas siluetnya (karena kami pada saat itu menantang matahari). Ia memiliki paruh yang khas burung pemangsa, yaitu paruh atas melengkung. Tubuhnya, hm.. mungkin 30-40 cm panjangnya, tapi yang aneh, ia punya ekor yang cukup panjang..seakan menjuntai seperti srigunting batu. Kami bertiga mengkonfirmasi bentuk itu.. ah, semakin misteri saja tempat ini.

Belum cukup itu semua, dalam sela waktu 1 minggu.. ada beberapa teman yang mengatakan mereka melihat Belibis... hah? aneh sekali.. tapi ternyata itu bukan belibis, sial! jauh sekali identifikasnya (hehe, maklum... mereka bukan pengamat). Spesies ini nampaknya mirip sekali dengan kuntul karang. Berdasarkan penuturan teman-teman saya (Putri, Bundho, dll.) yang melihatnya, ia sendirian, mencari makan di tepi pantai. Tapi ketika saya mengkonfirmasi bentuk paruhnya, mereka berani sumpah, kalau ujung paruhnya berbentuk sendok (membulat pada ujung). Hm... anehnya, bulunya berwarna abu-abu... Untunglah, teman-teman kelompok 10 ini sempat mengabadikan burung ini, hanya sekali saja, sebelum ia terbang menjauh. Meskipun hanya dengan camera digital biasa, tapi ini jauh lebih melegakan dibandingkan 'misteri-misteri' lain yang tak terdokumentasikan. Ah, ada saja dunia pengamatan burung ini. Siapakah kamu, penghuni  Meru Betiri?

Adakah yang tahu burung ini jenis apa?

Jumat, 14 Desember 2012

Meru Betiri : Apa kamu akan menjadi jodohku?

Andongrejo, desa terakhir sebelum Meru Betiri
   Meru Betiri bukan hal asing lagi bagi saya. Hutannya yang masih 'gelap', jalannya yang penuh dengan rintangan (termasuk sliweran batang rotan, palem, bambu ori yang semuanya berduri), belum lagi batu-batu besar menghadang jalan. Niscaya, tidak perlu terkesima kalau berkunjung ke sana hanya dengan 3 cara : jalan kaki, kendaraan 4 WD, trail, dan tentu saja helikopter.. hehehe.

   Berbeda dengan kunjungan saya 2 tahun lalu di Sukamade, kali ini saya dalam kesempatan praktikum SMSDH mengunjungi Bandealit (15 Nopember '12). Jalannya lumayan, tidak se-gila Sukamade, dan tidak terlalu jauh, hanya sekitar 4 jam dari desa terakhir Andongrejo. 

    Deg-deg an dengan harapan adanya sensasi baru, saya mulai mengalami perjalanan dengan truk perkebunan 4 WD itu dengan mendongak-dongak mencari buruan. Diawali dengan serbuan kelompok kirik-kirik senja, lalu merbah dan cekakak yang sliwar-sliwer tidak jelas di atas kami. Goncangan yang keras, membuat saya tidak terlalu berani mengeluarkan senjata saya : takut ndlosor ke tumpukan tas, ya takut kejedot bak truk, terutama takut kamera saya kenapa-napa (eman cuy). Sekitar 1 jam lebih perjalanan, tidak disangka tidak dinyana.. saya bertemu Luntur Harimau. Burung sial, sang dhemit alas ini bukan terbang, tapi bertengger. Tidak cukup bertengger, tapi ia melubangi sebuah tunggul kayu kering dengan tingi 1,5 meter, mungkin sarangnya. Lha, sudah tahu ada truk lewat, dia tidak kabur.. malah melongo melihat saya.. Uwoooh.. seakan-akan saat itu dunia bergerak slowmotion.. tatapan burung betina ini masih teringat jelas, bahkan ketika truk kami berlalu, dia menyempatkan meninggalkan pekerjaannya membuat lobang, untuk mengintip kami yang makin menjauh.. Apakah dia sudah jatuh cinta padaku? ingat, kamu sudah punya suami! :p Oh Tuhan...  pengalaman gila.

  Sampai di Bandealit, rupanya tidak terlalu 'tertutup' seperti Sukamade. Kami melewati perkampungan pekerja kebun, lalu perkampungan nelayan yang warganya mayoritas Madura. Sedari tadi, Bubut Alang-alang, Raja Udang biru, Elang Ular Bido sliweran... tapi tidak cukup menghibur kegalauan hati saya karena terlanjur kecewa : Luntur di depan mata tapi tidak sanggup mengabadikan...
Pemandangan Bandealit dari Bukit Sodung : Luar Biasa!
    Di dalam Bandealit sana, praktikum dimulai. Mulai dengan Muara Timur yang tidak sesuai dengan reklame-nya : sepi mamring, tidak ada apa-apa.. Cuma cangak, trinil pantai, dan kokokan laut yang teramati. Ah, kecewa lagi. Esoknya tim mengunjungi savana. Lha ini yang bikin kami kaget. Perjalanan di tepian hutan dan semak ini dipenuhi kejutan dari : Philentoma kerudung, Srigunting Batu, dan Bubut. Bahkan, di tempat ini saya dapat mengabadikan Serindit Jawa. Anehnya, di tempat ini Serindit kok agak pekok ya? Diam aja, tidak se-aktif pergerakan saudaranya di Cangar, atau tempat lain. 
Laguna di Muara Barat
     Siangnya, setelah istirahat, saya menemukan jalur lain ke hutan. Karena terlalu sore, saya kembali untuk meneruskan esok paginya. Ternyata jalur ini adalah lintasan satwa yang telah ditutup. Di dalamnya, hm.. lagi-lagi penuh hal mengejutkan. Mulai dari Udang Api yang hampir menabrak saya, Srigunting Batu (lagi), berbagai jenis merbah, Pijantung Kecil... dan... Seriwang Asia! Awalnya, saya tidak yakini itu sebagai Seriwang Asia, tapi setelah berdiskusi lama... woh... saya temukan yang betina. Selain itu, berbagai kejutan dari Elang Jawa muda yang berkelebat, dan burung aneh-aneh yang tidak sempat saya identifikasi.. terlalu sedikit orang dan terlalu mepet waktu yang diberikan..

Tapi, mungkin itu akan menjadi alasan bagi saya untuk kembali menemuimu.. oh Meru Betiri..
Pegunungan dataran rendah Bandealit
Suasanan sepi di Muara Timur

Elang Laut Perut Putih (Haliaeetus leugaster)

Burung 'murah' Pycnonotus goiavier

Mbah Darmo, pejantan tangguh gerombolan Lutung Jawa

Burung murah sesi 2 : Parus major

Sepah Kecil (Pericrocotus cinnamomeus)

Si Unyu anak Cinenen Pisang (Orthotomus sutorius)

Si Cerewet Elang Ular Bido (Spilornis cheela)

Caladi Ulam (Dendrocopus macei)

Keren! Serindit Jawa (Loriculus pusillus) lagi pose

Takur Ungkut-ungkut (Megalaima haemacephala)


Penghuni rerimbunan semak : Pelanduk Semak (Malacocincla sepiarium)

Selalu sendiri di Muara Timur : Kuntul Karang (Egretta sacra)

Trinil Pantai (Tringa hypoleucos)

Biduan hutan : Srigunting Batu (Dicrurus paradiseus)

Pijantung Kecil (Arachnothera longirostra)


Merbah Belukar (Pycnonotus plumosus)
Sebenernya... malu juga upload foto siluet, tapi berhubung ini Seriwang Asia (Tersiphone paradisi) betina, akhirnya mencep ae wes..

Rabu, 12 Desember 2012

Sumberawan, Candi yang Mengapung di Atas Air


Ketika saya harus mem-post-kan suatu tulisan tentang candi, sebenarnya saya bingung mulai dari mana. Penggemar (hanya sebatas itu saja) sejarah ini selalu nggedabrus, ngalor ngidul, tapi saya yakin, akhirnya dapat disimpulkan : Semua candi Indonesia luar biasa!

Sajen... selalu dijumpai di tiap candi : tanda penghargaan kepada Leluhur

     Di tengah perjalanan yang sudah diniati untuk berjalan-jalan bersama rekan saya pada tanggal 20 September lalu, Victor Kurniawan, kami terkagum-kagum terhadap salah satu candi yang kami kunjungi. Namnya adalah Sumberawan. Nama ini nampaknya diambil dari nama desa tempat dimana candi ini berdiri, yaitu Sumberawan, di kecamatan Singosari, Kab. Malang. Namun, berdasarkan pernuturan ibu penjaga candin, bahwa candi ini memang terletak di-atas-sumber/telaga (Sumber dan Rawan, Rawan berarti telaga dalam bahasa sansakerta).
      Bagi saya yang baru pertama kali tahu keberadaan candi ini, tentu sangat mengejutkan: bagaimana mungkin, susunan batu dengan skala ukur puluhan ton, bisa dibangun di atas mata air? Bahkan, ketika saya membaca tulisan sejarawan (mungkin Suwardono, karena tidak disebutkan jelas) di papan tempat itu, dulunya candi ini ada dalam genangan lumpur. Ibu penjaga (yang saya lupa namanya) juga meng-iya-kan pernyataan-pernyataan itu.
"Dulu, zaman mbah saya, tempat ini penuh dengan lumpur, bahkan candi itu hampir tertimpa pohon beringin besar yang ada di sampingnya karena tidak kuat berdiri lagi. Untung sekali, langsung dipotong."
       Wow! Beringin dengan akar yang kokoh saja hampir rubuh, tidak kuasa menahan lumpur, tentu saya menjadi bertanya-tanya: kenapa susunan batu ini begitu kokoh dan tidak ambles ditelan bumi? Kini, wilayah itu telah dikeringkan, dan pohon-pohon besar yang ada di sampingnya telah dipotong.  Jadi, dalam jangka yang lama, sejarawan bisa bernapas lega.
       Percakapan saya dengan ibu penjaga dilanjutkan, dengan membuka pertanyaan seperti ini:
"Bu, kenapa di sebelahnya ada pemandian?" tanya saya polos
"Oh, sejak dulu itu disucikan kaum Budha. Biasanya sebelum bertapa di sana, orang harus mandi dulu" katanya sambil menunjuk kamar kayu tertutup di ujung barat daya kompleks ini.
"Dari mana sumber airnya?"
"Ya dari bawah candi itu mas. Sejak dulu, sudah di sana. Tidak ada perubahan dalam pipanisasi, hanya perbaikan kerannya saja yang pernah" Katanya santai
      Dalam hati saya berteriak : Edian.. Edian tenan teknologi zaman dulu. Kita yang membangun jembatan dengan dana milyaran rupiah, hanya bertahan kurang dari 10 tahun. Nenek moyang kita membangun candi, dengan maksud menyucikan air (amerta di samudra mantana), bertahan ribuan tahun lamanya... Luar biasa.. Saya jadi bangga menjadi keturunan sang-pembuat-candi ini.. asli anak Nusantara. Tapi, sangat disayangkan, apakah semakin banyak keturunan, kualitas kita sebagai manusia semakin turun? maksud saya, saya melihat tumpukan batu adhesit sisa konstruksi candi yang runtuh, yang dijejer di samping candi. Tiap batu telah ditandai, digambar rekonstruksinya, diberi kode, dicoba disusun, tapi selalu gagal menemukan bentuk aslinya, baik dari pihak Belanda tahun 1937, maupun sejarawan dan insinyur Indonesia di tahun 1960-an. Belum ada yang mampu memecahkan susunan batu yang nampak sederhana tersebut, namun memiliki kerumitan yang luar biasa.. dan tentu saja:paten. Nampaknya, puncak teknologi telah dicapai pada masanya.
     Satu hal lagi yang menarik, candi ini selalu dikunjungi oleh 'orang-orang penting' daerah sebagai wujud pencarian petunjuk sebelum pemilukada, termasuk Gubernur kita tercinta (hehehe). Aneh tapi nyata, candi atau stupa milik agama Budha ini dibangun di zaman kerajaan Hindu Majapahit. Bukan hanya itu, dalam kunjungan kerjanya, raja paling berkuasa di Asia Tenggara, Hayam Wuruk, juga menyempatkan diri berkunjung ke candi ini. Hal ini tercatat oleh Kitab Negarakertagama, yaitu pada tahun 1359 M. Dalam benak saya, Raja Majapahit sangat berkuasa, dan tentu saja kekuasaannya tak terbatas. Namun, pemimpin zaman dulu sudah menerapkan kebijaksanaan dan keadilan terhadap hak-hak rakyatnya, termasuk dalam hal beragama. Saya jadi membayangkan, pemerintahan zaman dulu dimulai dengan itikad musyawarah yang jelas, untuk memilih siapa yang paling bijak diantara kumpulannya. Lalu ketika terpilih, mereka akan membiarkan keturunannya terus memimpin, dengan harapan kebijaksanaan leluhurnya terus ada dan terus mengayomi rakyat. Nah, ini tidak ada di dalam demo-crazy jaman sekarang. Demo-crazy, yang menurut saya sudah keblinger dan tidak sesuai tujuannya lagi. Pemimpin cuma melakukan kebijakan dari siapa yang menyandang dana terbesar waktu kampanye.. 
       Aish, maaf leluhurku.. kami kalah lagi... dengan kalian.
(Sumber sejarah berdasarkan penuturan penjaga, buku 'Stupa Sumberawan, Suwardono', dan catatan Ir. Van Romomndt'

Susunan batu adhesit yang sederhana,  namun dapat 'mengapung'
The ruins : siapa yang dapat menyusunnya kembali?

Hutan yang mengelilingi Candi : nampak terjaga kelestariannya oleh kesakralan

Ujung stupa Chatra (payung) yang belum ditemukan hingga kini
Reruntuhan yang telah diberi kode, namun tak ada yang sanggup menyusunnya lagi

Tempat Pemandian Sakral : Dulunya air mengalir dari 'Mulut Naga' dan patung Dewi
Laguna yang masih ada di sekitar Candi : berair jernih dan penuh dengan ikan