the biodoversity

the biodoversity

Rabu, 12 Desember 2012

Sumberawan, Candi yang Mengapung di Atas Air


Ketika saya harus mem-post-kan suatu tulisan tentang candi, sebenarnya saya bingung mulai dari mana. Penggemar (hanya sebatas itu saja) sejarah ini selalu nggedabrus, ngalor ngidul, tapi saya yakin, akhirnya dapat disimpulkan : Semua candi Indonesia luar biasa!

Sajen... selalu dijumpai di tiap candi : tanda penghargaan kepada Leluhur

     Di tengah perjalanan yang sudah diniati untuk berjalan-jalan bersama rekan saya pada tanggal 20 September lalu, Victor Kurniawan, kami terkagum-kagum terhadap salah satu candi yang kami kunjungi. Namnya adalah Sumberawan. Nama ini nampaknya diambil dari nama desa tempat dimana candi ini berdiri, yaitu Sumberawan, di kecamatan Singosari, Kab. Malang. Namun, berdasarkan pernuturan ibu penjaga candin, bahwa candi ini memang terletak di-atas-sumber/telaga (Sumber dan Rawan, Rawan berarti telaga dalam bahasa sansakerta).
      Bagi saya yang baru pertama kali tahu keberadaan candi ini, tentu sangat mengejutkan: bagaimana mungkin, susunan batu dengan skala ukur puluhan ton, bisa dibangun di atas mata air? Bahkan, ketika saya membaca tulisan sejarawan (mungkin Suwardono, karena tidak disebutkan jelas) di papan tempat itu, dulunya candi ini ada dalam genangan lumpur. Ibu penjaga (yang saya lupa namanya) juga meng-iya-kan pernyataan-pernyataan itu.
"Dulu, zaman mbah saya, tempat ini penuh dengan lumpur, bahkan candi itu hampir tertimpa pohon beringin besar yang ada di sampingnya karena tidak kuat berdiri lagi. Untung sekali, langsung dipotong."
       Wow! Beringin dengan akar yang kokoh saja hampir rubuh, tidak kuasa menahan lumpur, tentu saya menjadi bertanya-tanya: kenapa susunan batu ini begitu kokoh dan tidak ambles ditelan bumi? Kini, wilayah itu telah dikeringkan, dan pohon-pohon besar yang ada di sampingnya telah dipotong.  Jadi, dalam jangka yang lama, sejarawan bisa bernapas lega.
       Percakapan saya dengan ibu penjaga dilanjutkan, dengan membuka pertanyaan seperti ini:
"Bu, kenapa di sebelahnya ada pemandian?" tanya saya polos
"Oh, sejak dulu itu disucikan kaum Budha. Biasanya sebelum bertapa di sana, orang harus mandi dulu" katanya sambil menunjuk kamar kayu tertutup di ujung barat daya kompleks ini.
"Dari mana sumber airnya?"
"Ya dari bawah candi itu mas. Sejak dulu, sudah di sana. Tidak ada perubahan dalam pipanisasi, hanya perbaikan kerannya saja yang pernah" Katanya santai
      Dalam hati saya berteriak : Edian.. Edian tenan teknologi zaman dulu. Kita yang membangun jembatan dengan dana milyaran rupiah, hanya bertahan kurang dari 10 tahun. Nenek moyang kita membangun candi, dengan maksud menyucikan air (amerta di samudra mantana), bertahan ribuan tahun lamanya... Luar biasa.. Saya jadi bangga menjadi keturunan sang-pembuat-candi ini.. asli anak Nusantara. Tapi, sangat disayangkan, apakah semakin banyak keturunan, kualitas kita sebagai manusia semakin turun? maksud saya, saya melihat tumpukan batu adhesit sisa konstruksi candi yang runtuh, yang dijejer di samping candi. Tiap batu telah ditandai, digambar rekonstruksinya, diberi kode, dicoba disusun, tapi selalu gagal menemukan bentuk aslinya, baik dari pihak Belanda tahun 1937, maupun sejarawan dan insinyur Indonesia di tahun 1960-an. Belum ada yang mampu memecahkan susunan batu yang nampak sederhana tersebut, namun memiliki kerumitan yang luar biasa.. dan tentu saja:paten. Nampaknya, puncak teknologi telah dicapai pada masanya.
     Satu hal lagi yang menarik, candi ini selalu dikunjungi oleh 'orang-orang penting' daerah sebagai wujud pencarian petunjuk sebelum pemilukada, termasuk Gubernur kita tercinta (hehehe). Aneh tapi nyata, candi atau stupa milik agama Budha ini dibangun di zaman kerajaan Hindu Majapahit. Bukan hanya itu, dalam kunjungan kerjanya, raja paling berkuasa di Asia Tenggara, Hayam Wuruk, juga menyempatkan diri berkunjung ke candi ini. Hal ini tercatat oleh Kitab Negarakertagama, yaitu pada tahun 1359 M. Dalam benak saya, Raja Majapahit sangat berkuasa, dan tentu saja kekuasaannya tak terbatas. Namun, pemimpin zaman dulu sudah menerapkan kebijaksanaan dan keadilan terhadap hak-hak rakyatnya, termasuk dalam hal beragama. Saya jadi membayangkan, pemerintahan zaman dulu dimulai dengan itikad musyawarah yang jelas, untuk memilih siapa yang paling bijak diantara kumpulannya. Lalu ketika terpilih, mereka akan membiarkan keturunannya terus memimpin, dengan harapan kebijaksanaan leluhurnya terus ada dan terus mengayomi rakyat. Nah, ini tidak ada di dalam demo-crazy jaman sekarang. Demo-crazy, yang menurut saya sudah keblinger dan tidak sesuai tujuannya lagi. Pemimpin cuma melakukan kebijakan dari siapa yang menyandang dana terbesar waktu kampanye.. 
       Aish, maaf leluhurku.. kami kalah lagi... dengan kalian.
(Sumber sejarah berdasarkan penuturan penjaga, buku 'Stupa Sumberawan, Suwardono', dan catatan Ir. Van Romomndt'

Susunan batu adhesit yang sederhana,  namun dapat 'mengapung'
The ruins : siapa yang dapat menyusunnya kembali?

Hutan yang mengelilingi Candi : nampak terjaga kelestariannya oleh kesakralan

Ujung stupa Chatra (payung) yang belum ditemukan hingga kini
Reruntuhan yang telah diberi kode, namun tak ada yang sanggup menyusunnya lagi

Tempat Pemandian Sakral : Dulunya air mengalir dari 'Mulut Naga' dan patung Dewi
Laguna yang masih ada di sekitar Candi : berair jernih dan penuh dengan ikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar