the biodoversity

the biodoversity

Rabu, 04 Mei 2022

Cerpen : Sebuah Ketukan

Tiga orang berjalan lambat-lambat pada suatu malam yang hujan. Salah seorang di tengah, nampak sedikit menyeret kakinya, walau dua orang lain berusaha terus memapah dan mengangkat bahunya. Sampailah mereka pada sebuah klinik dengan jendela dan pintu-pintu kaca. Namun, mereka serasa enggan mengetuk dari depan. Orang yang lebih tinggi mendekati samping rumah itu, dan mengetuknya dengan kasar. Pukul 23.45, dan kedua orang yang menunggu itu semakin gelisah di tengah hujan yang kian mereda. Baru, tak sampai 5 menit, selisih waktu yang bagi mereka seperti 5 jam lamanya, sebuah ublik dinyalakan, dan kian kemari di dalam klinik itu. Arahnya dari dalam, dimana sebuah rumah tersambung dengan pintu belakangnya. Seseorang membuka pintu depan, dan si pengetuk jendela samping ini melangkah dan menyiapkan revolver. 

Ublik diarahkan ke dekat muka sang tamu, dan nampaknya sang tamu juga mencoba mengenali siapa-siapa yang ada di dalam rumah. 

"Sopo kowe?" tanya seseorang di dalam rumah
Sebelum menjawab, tamu ini tertegun karena di balik tuan rumah, ada perempuan dan anaknya yang kecil, nampaknya setengah rewel karena ia dibangunkan tiba-tiba. Sungguh sangat beresiko, dan tamu ini menyembunyikan revolver yang digenggamnya pada sebuah wadah di balik ikatan sarung. 

"Pak Sigit.... Janure Kuning..." kata tamu itu singkat, dan ia mulai menggenggam lagi revolvernya. Ia bersiaga, jika kata kunci itu salah diterima oleh orang yang tak berhak, maka ia harus menghabisi orang di depannya

Maka, orang yang disebut Sigit ini menjawab:
"Janure gawe kupat... Mari mas, masuk." Kata Sigit, sembari ia merangkul mengajak istri dan anaknya masuk ke kamar, sedangkan pintu klinik dibiarkannya terbuka. Ia pun menambah ublik lagi sebagai penerangan di ruang tamu. Kata kunci ini diterima dengan baik, dan menunjukkan bahwa sang tuan rumah adalah republiken tulen, bukan mata-mata Belanda.

Tampak sebuah kelegaan pada tamu ini, dan dengan sebuah gerakan tangan, ia mengajak 2 orang lain yang kini basah kuyup, untuk masuk. Orang yang di tengah telah ditidurkan dalam sebuah ranjang periksa. Dari batalyon, ia hanya tahu nama Sigit, tanpa diperbolehkan mengenal muka. Hubungan umumnya hanya menggunakan kurir penggembala, dan mereka dari Batalyon 16, hanya mendapat berbagai obat-obatan yang disembunyikan di pinggir lapangan. 

"Perkenalkan Pak Sigit, saya Dirjo, saya membawa 2 anak buah saya, Supar dan Kateni. Kateni tidak bisa berlama-lama menunggu bantuan bapak di pinggir lapangan lagi. Saya takut, infeksinya semakin menjadi-jadi."

Sigit sendiri tak banyak bicara dan cukup tak peduli apa yang dikatakan Dirjo, ia mengambil senternya, dan mulai memeriksa mulai dari luka di kaki, tenggorokan, mata, kulit, dan juga detak jantung. Kateni nampaknya tak ada masalah apapun, kecuali bengkak di kaki, dan juga demamnya yang sangat tinggi. 

"Dengar, obat sudah susah, tapi dia harus dirawat, jika mungkin di sini" Kata Sigit lirih. 
Maka mendengar itu, ketiganya berpandangan. 
"Jika tidak, kateni tak bisa lagi gunakan kaki kanannya. Peluru mitraliur, meski sudah diangkat,akan menyisakan kuman dan hidup kalian jauh dari kata bersih. 

Maka, Sigit mengutarakan sebuah rencana, dimana ada kandang sapi yang tak lagi digunakan. Kandang itu cukup bersih, dan telah digunakannya sebagai timbunan gabah kering. Kateni bisa istirahat di situ, dan tak boleh kakinya basah lagi. 

"Esok, aku akan ke rumah sakit. Kalian berdua pulanglah. Kateni harus ganti baju, dan akan kubereskan yang ada di sini." Perintah Sigit, sang Mantri perkebunan itu. 

dan demi mendengar omongan Sigit mantri, seperti terhipnotis, Sersan Dirjo dan Prajurit Supar mengambil sarung kumal, boot, ikat pinggang, dan berbagai jenis jimat yang dimiliki kateni. Sigit pun telah usai membersihkan luka, mengganti perban, dan mencarikan baju bagi Kateni. Istri sigit,  tak bisa tidur, dan terus menerus mengawasi percakapan mereka dari jauh. 

Malam sudah berganti, kini 10 Januari 1949. Hujan yang sempat terang, sekarang mengalir seperti ditumpahkan dari langit. Sesaat, Sigit seperti tersadar sesuatu. Ia segera meniup lampu ublik. Keduanya kemudian disimpan di bawah meja kaca dan meninggalkan asap tengik di ruangan itu. Segera setengah berlari dalam gelap, ia menutup pintu klinik. Di balik pintu, ia melirik teras depan. ..Celaka, lumpur dari kaki-kaki gerilyawan batalyon 16 ini masih belum beres. Tapi sudah tak ada waktu lagi, dari tikungan muncul sepeda kayuh. 
Demi melihat kegugupan Sigit yang kini bersembunyi di balik tirai klinik, dua orang gerilyawan tadi, meraih senjata-senjata mereka. Ya, perkebunan ini di bawah kontrol Belanda, dan sekelompok KNIL, menjaga pabrik-pabrik kopinya. Sepeda kayuh itu terus mendekat, dan akhirnya lewat jalanan berbatu di depan klinik. Lumpur yang ada di teras, kini sudah memudar, bahkan hilang. Kini lewatlah pengendara itu, tanpa menjumpai keganjilan apapun, dan berbelok kanan pada sebuah pertigaan, untuk kembali ke pos jaganya. 

Ah, sungguh mendebarkan. Dirjo pun masih dalam posisi bertelut, memegang revolver hingga sekembalinya Sigit dari ruang tamu. 

"kembalilah satu pekan lagi, salam untuk Pak Gatot, dan tolong, jangan resikokan diri kalian lagi. Saya besok akan meninggalkan barang di pohon glintungan, dan kalian, tetaplah awas. Jangan mengambil jalan utama." pesan Sigit. 

" Siap, mengerti pak, merdeka!!" sahut Dirjo dengan badan yang ditegapkan. 

"tetap merdeka" timpal Sigit, sembari kini kepalannya berada di depan dada. Dirjo dan Supar pun pamit, dan Kateni dipapah untuk beristirahat di kandang. Kini, suami istri itu membersihkan lumpur, sisa darah, hingga alat-alat praktik yang tadi digunakan. 
Sedikit terisak istri Sigit mengingat fragmen kejadian itu, namun apalah daya, revolusi ini terus bergulir, dan tak tahu kapan akan berakhir. Cukup Sigit berada di tengah keluarga, dan tak perlu berjuang di front adalah rasa syukur luar biasa. Sigit meresikokan dirinya untuk tinggal di bawah hidung Belanda, sembari ia menyelundupkan obat-obatan hingga menyumbangkan tenaganya sebagai medis. Nyatanya, tak perlu memegang pistol, namun kekhawatiran itu pun tak hilang. Ia terlamun, dan lamunannya semu memikirkan beratnya perjuangan itu... 


Sabtu, 16 April 2022

Hidup sebagai diri sendiri

Halo jejak digital, Kali ini saya tidak akan ngrasani siapapun, tapi saya akan membicarakan diri saya. 

Sudah sejak lama saya tahu karakter dominan saya adalah melankolis. Karakter ini sedikit berbagi dengan kepribadian kolerik yang saya punya, namun tetap melankolis adalah dominan. Yap, hasil tes psikologi ini saya dapatkan sejak kelas 1 SMA, dan diperkuat dengan beberapa tes berikutnya pada kelas 3. Jadi, saya hidup dalam karakter pribadi yang melankolik. Tentu, tiap kepribadian memiliki kelebihan dan kekurangan. Bagi saya, melankolik memiliki banyak kelemahan yang membuat saya bukan hanya terganjal dalam keseharian, tapi juga dalam karier atau kisah roman. Bayangkan kalau anda akan memilih satu dari 2 pilihan, orang melankolik akan memikirkan mulai A-Z pada tiap pilihan. Milih gorengan saja butuh perenungan yang memakan waktu beberapa jam : antara pisang atau tempe. Jian nyusahi tenan. 

Sudah pasti hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang sangat capek, njelehi dan bikin males banget. Kadang sampe kepikir kok Tuhan itu dulu bikin adonan kakehan bumbu mellow. Jadilah, saya seorang Agung Sih Kurnianto, yang selalu butuh teman cerita, dibandingkan menjalani masalah seorang diri. Yap, korban saya jelas di awal adalah emak, tapi ketika emak mulai sibuk era guru SD masih digaji murah, maka Anang S., teman SMP dan sekaligus tetangga saya, adalah pendengar setia. Saat SMA, saya beruntung memiliki 4 sekawan (yang sekarang mereka terpencar bak bola dragon ball). Nah, saat kuliah, pertemanan saya seringkali terjerumus pada pendengar dengan kromosom XX, alias perempuan. Tentu saja, mereka jadi sahabat yang baik karena mereka mendengar. Maka tak heran, memang untuk urusan cerita problem urip, saya lebih suka cerita pada teman perempuan. I know, ini bisa diperdebatkan dan nyleneh. Plusnya : mereka selalu simpatik dan mau mendengar, terlepas karena kami cuma berteman ya, dan juga sudah dipastikan cerita saya selalu di-broadcast ke orang lain, bak penyiar RRI. Bandingkan kalau laki cerita ke laki, maka tentu tanggapannya : Halah jingan, maen PES wae nanti juga hilang. Atau yang paling uasuuu yang pernah saya ingat : Mangkane tah, urip iku kudu cedhak sing Kuoso. Yok bisa yok, ASHADUU... (sambil ngajak salaman, asem tenan). Saya tahu karena para teman laki saya itu kebanyakan bercanda, asli begundhal. wkwk. Kecuali satu adik kelas saya yang namanya Afin Aninnas. Beliau itu juga mellow parah. 

Nah, sampai saat ini saya melihat Afin itu semacam melihat cerminan diri sendiri. Afin itu adalah orang yang mending ketipu mentah-mentah, dibandingkan harus tidak menolong. Sungguh sangat mencerminkan diri saya, yang entah kok gimana anehnya, selalu berkata : mending saya yang ngalah, menderita, dibanding orang lain. Dhuuh, mellow-melllow. Kadang, untuk menghadapi masalah yang berat, rasanya ingin menyerah banget. Ya ingin menghilang pake alat restart ingatan di film Men in Black

Tapi, untungnya saya membiasakan mengatasi kelemahan mahkluk para mellow ini, yaitu dengan membuat catatan jurnal, entah harian atau apapun. Catatan literasi jika lengkap, akan memaksa saya mengingat betapa kebodohan dan kerusakan apa yang akan terjadi jika kembali melakukan itu. Pun, saya mulai menganalisis, karena tuduhan diri saya yang lain adalah menganggap Melankolik itu kelemahan, atau sangat 'keperempuan-perempuan an', atau mungkin dibilang 'pengecut'. Hmm, tidak mungkin saya langsung menganalisis diri saya. Oleh karenanya, saya pun melakukan studi terhadap orang lain. 

Afin misalnya, beliau meski orang yang sangat mudah terpukau suratan kehidupan, cinta, atau kejadian sekitarnya, tapi ia adalah atlet pencak yang handal. Pernah ia membanting temannya yang agak sok minta sparring, dan di Lab terjadilah perkelahian latihan itu. Juga, ia dan kakaknya, semua garis turunannya punya darah pendekar Tuban, hehehe.. 

Tak berhenti di situ, saya kembali membuka koleksi biografi dan memoar beberapa tokoh besar, yang memang diduga memiliki sisi Melankolik. 

Pertama, PB Soedirman.  Iya, betul. Ia bukan darah militer, tapi anak Guru seperti saya. Saat nikah, ia dengan romantis meminta istrinya tetap di kasur, dan ia tidur di lantai semen karena alasan 'tidak biasa tidur di kasur'. Padahal, kasur itu sangat kecil dan mereka tidak cukup uang untuk beli yang ukuran besar. Bahkan, hanya seorang melankolik yang mampu menjawab bujukan presidennya untuk menyerah, dan diasingkan Belanda saat Clash II. Kata-katanya yang kita ingat : "Lebih baik menjadi burung bebas, dibandingkan harus menjadi burung dalam sangkar emas". Walau demikian, melakoliknya tidak mampu menjerumuskannya pada kelemahan. Ia tegar, bahkan saat menjadi pucuk pimpinan TNI pada saat itu. Berbagai keputusan pahit harus dipilih, dan di tangannya harus punah berbagai pemberontakan pahit, seperti PKI-Muso di Jawa Timur, hingga DI-TII di Jawa Barat. Bahkan untuk kasus yang pertama, untuk tingkat akar rumput, konon para pemberontak harus dieksekusi dengan senjata tajam (untuk menghemat peluru saat itu). Beliau tidak lemah, teguh, dan melakoliknya dikendalikan, meskipun banyak tokoh pemberontak adalah teman-temannya sendiri! 

Kedua, Hatta. Yap, sudah dapat diduga, beliau punya jiwa mellow yang banget-nget. Romantisme ia dengan istri, dan juga dengan perpisahannya dengan Bung Karno era Demokrasi Terpimpin, menunjukkan bahwa ia punya sisi mellow yang sangat besar. Saat harus berkendara dengan istri, dia selalu melihat sinar matahari, dan selalu memasukkan istrinya di sisi mobil yang jauh dari paparan sinar. Ia sendiri akan menaungi istrinya. Saat harus berpisah dengan Bung Karno, ia tetap mengingat sosok Soekarno sebagai sahabat terbaiknya. Bahkan, walau terpisah akibat politik, pada saat Soekarno sakit, Hatta mengunjunginya dan mencoba menahan tangisnya.. Beberapa saksi mengatakan bahwa Soekarno mengatakan beberapa hal dalam bahasa Belanda, dan Bung Hatta duduk tegak, namun pipinya dialiri air mata. Walau demikian, sebagai pemimpin, ketegasannya tidak terpengaruh oleh sisi melankolik. Sekali lagi, peristiwa penumpasan pemberontakan, restrukturisasi TNI, dan pembangunan ekonomi di era awal adalah banyak hal pahit yang harus dia tempuh, bahkan mengenyampingkan perasaan keluarganya. Coba saja saat harus menekan nilai mata uang yang lemah, ia harus menyatakan bahwa separuh nilai uang tidak berlaku. Rahasia ini tetap teguh ia genggam hingga diumumkan resmi di corong RRI dan berbagai media, bahkan ia menutupinya dari keluarganya. Alhasil, istrinya pun kesal karena saat itu keluarganya semakin tak punya uang. Sungguh luar biasa!


Ada banyak sekali tokoh yang saya rasa menunjukkan sisi melankolik. Sebenarnya, saya ingin bercerita tentang Hitler, tapi kok ya rasanya sudah teramat panjang. 

Satu hal yang jelas bagi saya, melankolik adalah sisi pribadi yang harus diterima, diakui, dan disyukuri. Banyak kelebihan orang-orang melankolik, dan Tuhan tak pernah kakehan memberi sisi tersebut. Memang, tak semua orang dapat menerima pribadi dengan sifat yang seperti roller coaster, sulit dicerna, terkadang sangat nekat, namun terkadang juga mudah tersentuh. Bahkan, bagi orang lain, bisa dianggap orang melankolik sangat melelahkan. Bagi orang mellow, ia harus bersyukur karena sebagian besar memiliki planning yang baik, terstruktur, mudah merasa, dan mudah membantu orang. Namun, semua kepribadian, disimpulkan harus tepat pada porsinya. Ada saat dimana dia harus muncul, namun ada pula saatnya dia harus ditahan dari penyerahan keadaan.  Sangat berbeda antara melankolik dan pengecut atau istilah jawa : Gembeng! Itu benar-benar terbukti saat orang melankolik mampu dengan teguh menyatakannya pada saat dan porsi yang tepat. 


Ini adalah foto yang ngisin-ngisini, tapi saya sangat senang mengingat persahabatan kami. Ki-Ka :Saya,  Reza S. (Entah dimana, pokoe ngurusin pajak negara), Reza K. (Dokter di Bondowoso), dan Bagus (Pegawai Telkomsel, kayae di Jakarta). 

Ini mawar (yaiyalah). Entah kenapa, saya suka bunga sejak saya jadi cucu Mbah Minto Asih. Tulisan kali ini berasal dari sebuah perenungan melihat mawar ini. 





Jumat, 01 April 2022

Jurnal Paling Lama

Halo jejak digital, 

saat ini tentu banyak hal yang terjadi. Saya pun merasa, bahwa medsos sudah terlalu banyak mengambil alih kehidupanku. Akhir-akhir ini, mungkin karena pertimbangan keresahan, maka saya prei medsosan terlebih dahulu. Ada yang saya uninstal, ada pula yang saya log out begitu saja. Ketika ada hati yang membludak, dan blog ini akhirnya menjadi pilihan untuk sekedar oret-oret lagi

Baik, kali ini saya akan ngrasani sebuah proses pembuatan jurnal yang paling lama dalam hidup saya (yang baru 31 tahun ini, hehe). Ada jurnal yang saya pernah tulis beberapa hari. Ada yang memang memerlukan waktu 2-3 bulan. Semuanya karena perasaan dan inspirasi yang terkadang lancar, atau buntu. Terkadang, suasana kerja juga memengaruhi. Terakhir, saat saya mengerjakan sebuah manuskrip dengan umur kerja 3 hari, adalah saat saya freelance, nyambi S2 di Universitas Brawijaya. Pagi jam 8 buka lab, dan tutup lapak jam 7 malam. Isinya tekun melihat laptop, ngetik-ngetik dan terus ngetik. Saya ingat, adik kelas saya, namanya Anggun (kayae sekarang udah jadi TKI yang nyambi ngejar PhD di taiwan, hehehe...). Beliau ini selalu bilang : Mas, istirahat sek.. Giyendeng, jogetan sik, dst. Semakin sore, penghuni lab selalu ga jelas, jogedan, dan lagunya bergeser dari keminggris saat pagi, menjadi koploan gas pol sore hari. Tapi patut diduga, manuskrip seperti ini nampak terlalu tergesa, banyak kesalahan teknis, dan selalu setelahnya perlu koreksi dan proses translate dari anggota lab yang lain. Bener-bener kejar tayang, demi rupiah. 

skip-skip, 

sampailah skill dan kegemaran menulis mendukung profesi saya sebagai dosen pada tahun 2019. Adalah saya yang bergabung di Universitas Jember, dan menjadi dosen anyaran, yang bisa dipastikan lebih banyak tolah-toleh, hah-heh dibandingkan punya strategi taktis untuk ngejar karier. Pada awal itu, tuntutan tri dharma sudah digaungkan, sesaat deadline pengumpulan proposal hibah internal ditutup. Jadi, ya bener-bener tolah-toleh. Sebenarnya, tidak wajib bagi dosen muda saat itu untuk memenuhi tri dharma, tapi saya yang gemar tantangan, jelas ga mau lah, hehe.  Jadi, saya membuat proposal mandiri, mengajukan surat tugas, dengan topik yang membagongkan : High Nature Value Farmland (opoooo ikuuu???). Sesuatu yang saya pikir akan menjadi tema umum yang dapat dimasuki berbagai kajian, dan datanya yang dieksplore dengan berbagai sisi, dan dapat dipecah pada berbagai luaran tulisan. Secara, saya harus ingat bahwa saya berasal dari Ilmu lingkungan, besar di Taksonomi, dan kini menetap di Agroteknologi, hehe. Lokasi secara mudah langsung saya tentukan : Meru Betiri.  Saya pun langsung mikir, siapa teman yang bisa nemenin saya panas-panas dan  ngajak ngobrol supaya ngga gila di lahan? Ahaa.. tentu saya pilih Nilasari. Beliau ini adalah andalan Departemen Silvikultur yang mungkin saat di IPB, sudah pernah praktik ngukur kawah Krakatau, atau kawah bulan. Pokoknya, beliau meskipun berasal dari gender kromosom XX, saya percaya dia tidak akan rewel, bahkan melebihi para kaum saya sendiri. Yah, mirip-mirip dengan motor merk Win lah. 

Pada suatu hari, berangkatlah kami  dengan modal surat-surat administrasi, dan tentu saja nekat, pergi menjelajah berbagai tipe vegetasi mulai dari kawasan barat di Wonoasri, hingga Sanenrejo. Kemudian, sedikit mbelok ke Bandealit, dan kemudian ke timur, ke arah rajekwesi. Lahan-lahan ini kami jelajahi dengan ranger lokal yang siap sedia membantu anveg. Nah, di Bandealit ini saya bertemu syahabat lama saya : Mas Puji Firmansyah. Sudah lama, karena saya dulu juga pernah berproses di Meru betiri sebagai pencari nafkah, meski yaa tidak lama-lama banget. Dari obrolan nggedabrus dan pamer-pamer foto, maka munculah informasi yang sangat penting dan tiada duanya : Meiglyptes tristis ditemukan lagi. Burung ini endemik dan sangat langka. Beberapa informasi parsial memang muncul di sini, dan bahkan si Mas Puji ini merekamnya dalam bentuk video. Sungguh informasi yang sangat berharga.  

Nah, sudah ada 3 jurnal yang diterbitkan hasil penelitian gak bondo ini. Mungkin kalian kalau punya waktu yang gabut bisa mengeceknya di sini : 

https://www.berkalahayati.org/index.php/jurnal/article/view/605

https://www.biotropika.ub.ac.id/index.php/biotropika/article/view/743

https://www.biotropika.ub.ac.id/index.php/biotropika/article/view/574

Untuk yang terakhir ini, adalah pamungkas manuskrip yang tahun 2020 sudah disiapkan, yaitu catatan temuan M. tristis. Sebuah jurnal disasar, dan segera dikerjakan. Perubahan selalu terjadi dan uakehe ora umum pokoke. Ada 3 nama yang saya pajang di sana : Saya, Puji Firmansyah, dan Nilasari. Meski saya sudah diingatkan senior, yaaa memang saya yang ngeyel untuk nyoba. Akhirnya, saya ketemu dengan reviewer atau editor yang cerewet. Jalur cerita manuskrip saya dibantah sebagian, dan konsep gambaran vegetasi habitat (yang saya kerjakan dibantu Nila selama berminggu-minggu), diminta untuk dihilangkan saja. Uasssuuuuuu. Bahkan, mas Puji harus saya tanya-tanya berkali-kali untuk cek temuan terbaru, yang akhirnya juga nihil. 

Sampai, pada tahun ini, sudah masuk  kontributor-kontributor asing, entah dari Belanda dan Australia yang tertarik dan membantu untuk menulis manuskrip ini. Ada punggawa dan senior saya tercinta, Mas Kukuh, yang juga membantu mengumpulkan data-data yang berserakan. Perdebatan antar editor, kontributor, dan entah mungkin reviewer, sudah membuat saya lelah sekali. Kadang sampe di titik : Sekarepmu!! Namun yang saya ingat adalah pertanyaan menyakitkan, terkait kontribusi Nilasari di manuskrip ini. Wooh, tentu saya pasang badan, apalagi mereka, pada kalimat berikutnya, ingin tercatat dalam co-authors atas kontribusinya. Ya, saya tidak keberatan, tapi tak saya izinkan ada yang ngutik-utik nama rekan lapangan saya, siapapun!

Baru beberapa hari lalu, kami aktif menggeliat lagi, mencoba menyelesaikan bintik mati ini untuk dapat segera diterbitkan. Salah satu kontributor sampai harus membuat manuskrip terpisah untuk temuan-temuan lain di Pulau Jawa. Beberapa jam lalu pun, saya masih harus membuat ringkasan dan kembali mengirimnya ke grup email itu. 

Sudah 2 tahun lamanya, dan ini adalah manuskrip paling lama yang pernah saya kerjakan. Dua tahun itu jika anak, sudah bisa lari-lari. Jika rumah, sudah bisa buat dapur sak terase. Dua tahun, tiba-tiba teringat bagaimana data-data ini diambil, dan didasari konsep amatiran dari seorang Agung. 

Mungkinkah ini akan menjadi tahun terakhir penantian itu? entahlah, semua bisa saja berubah pada tahun ini. Para kontributor Indonesia masih beraktivitas sendiri-sendiri, demikian orang-orang asing itu. Mungkin ada yang sibuk sir-siran dan mau nikah, ada yang kerja di lapangan, dan juga menafkai keluarganya.  Hanya harapan, dan mencoba mengerjakan yang terbaik, itulah yang bisa dilakukan.


Ditulis di Jember, di sebuah ruang rapat, sendirian

1 April 2022

Bonus : 

Sejauh mata memandang adalah lahan rehabilitasi

 

Untuk urusan vegetasi, saya serahkan ahlinya : Nilasari, yang sudah handal, tidak rewel, dan makannya sedikit. Kayae untuk Mas Puji saya lupa moto deh.