the biodoversity

the biodoversity

Sabtu, 16 April 2022

Hidup sebagai diri sendiri

Halo jejak digital, Kali ini saya tidak akan ngrasani siapapun, tapi saya akan membicarakan diri saya. 

Sudah sejak lama saya tahu karakter dominan saya adalah melankolis. Karakter ini sedikit berbagi dengan kepribadian kolerik yang saya punya, namun tetap melankolis adalah dominan. Yap, hasil tes psikologi ini saya dapatkan sejak kelas 1 SMA, dan diperkuat dengan beberapa tes berikutnya pada kelas 3. Jadi, saya hidup dalam karakter pribadi yang melankolik. Tentu, tiap kepribadian memiliki kelebihan dan kekurangan. Bagi saya, melankolik memiliki banyak kelemahan yang membuat saya bukan hanya terganjal dalam keseharian, tapi juga dalam karier atau kisah roman. Bayangkan kalau anda akan memilih satu dari 2 pilihan, orang melankolik akan memikirkan mulai A-Z pada tiap pilihan. Milih gorengan saja butuh perenungan yang memakan waktu beberapa jam : antara pisang atau tempe. Jian nyusahi tenan. 

Sudah pasti hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang sangat capek, njelehi dan bikin males banget. Kadang sampe kepikir kok Tuhan itu dulu bikin adonan kakehan bumbu mellow. Jadilah, saya seorang Agung Sih Kurnianto, yang selalu butuh teman cerita, dibandingkan menjalani masalah seorang diri. Yap, korban saya jelas di awal adalah emak, tapi ketika emak mulai sibuk era guru SD masih digaji murah, maka Anang S., teman SMP dan sekaligus tetangga saya, adalah pendengar setia. Saat SMA, saya beruntung memiliki 4 sekawan (yang sekarang mereka terpencar bak bola dragon ball). Nah, saat kuliah, pertemanan saya seringkali terjerumus pada pendengar dengan kromosom XX, alias perempuan. Tentu saja, mereka jadi sahabat yang baik karena mereka mendengar. Maka tak heran, memang untuk urusan cerita problem urip, saya lebih suka cerita pada teman perempuan. I know, ini bisa diperdebatkan dan nyleneh. Plusnya : mereka selalu simpatik dan mau mendengar, terlepas karena kami cuma berteman ya, dan juga sudah dipastikan cerita saya selalu di-broadcast ke orang lain, bak penyiar RRI. Bandingkan kalau laki cerita ke laki, maka tentu tanggapannya : Halah jingan, maen PES wae nanti juga hilang. Atau yang paling uasuuu yang pernah saya ingat : Mangkane tah, urip iku kudu cedhak sing Kuoso. Yok bisa yok, ASHADUU... (sambil ngajak salaman, asem tenan). Saya tahu karena para teman laki saya itu kebanyakan bercanda, asli begundhal. wkwk. Kecuali satu adik kelas saya yang namanya Afin Aninnas. Beliau itu juga mellow parah. 

Nah, sampai saat ini saya melihat Afin itu semacam melihat cerminan diri sendiri. Afin itu adalah orang yang mending ketipu mentah-mentah, dibandingkan harus tidak menolong. Sungguh sangat mencerminkan diri saya, yang entah kok gimana anehnya, selalu berkata : mending saya yang ngalah, menderita, dibanding orang lain. Dhuuh, mellow-melllow. Kadang, untuk menghadapi masalah yang berat, rasanya ingin menyerah banget. Ya ingin menghilang pake alat restart ingatan di film Men in Black

Tapi, untungnya saya membiasakan mengatasi kelemahan mahkluk para mellow ini, yaitu dengan membuat catatan jurnal, entah harian atau apapun. Catatan literasi jika lengkap, akan memaksa saya mengingat betapa kebodohan dan kerusakan apa yang akan terjadi jika kembali melakukan itu. Pun, saya mulai menganalisis, karena tuduhan diri saya yang lain adalah menganggap Melankolik itu kelemahan, atau sangat 'keperempuan-perempuan an', atau mungkin dibilang 'pengecut'. Hmm, tidak mungkin saya langsung menganalisis diri saya. Oleh karenanya, saya pun melakukan studi terhadap orang lain. 

Afin misalnya, beliau meski orang yang sangat mudah terpukau suratan kehidupan, cinta, atau kejadian sekitarnya, tapi ia adalah atlet pencak yang handal. Pernah ia membanting temannya yang agak sok minta sparring, dan di Lab terjadilah perkelahian latihan itu. Juga, ia dan kakaknya, semua garis turunannya punya darah pendekar Tuban, hehehe.. 

Tak berhenti di situ, saya kembali membuka koleksi biografi dan memoar beberapa tokoh besar, yang memang diduga memiliki sisi Melankolik. 

Pertama, PB Soedirman.  Iya, betul. Ia bukan darah militer, tapi anak Guru seperti saya. Saat nikah, ia dengan romantis meminta istrinya tetap di kasur, dan ia tidur di lantai semen karena alasan 'tidak biasa tidur di kasur'. Padahal, kasur itu sangat kecil dan mereka tidak cukup uang untuk beli yang ukuran besar. Bahkan, hanya seorang melankolik yang mampu menjawab bujukan presidennya untuk menyerah, dan diasingkan Belanda saat Clash II. Kata-katanya yang kita ingat : "Lebih baik menjadi burung bebas, dibandingkan harus menjadi burung dalam sangkar emas". Walau demikian, melakoliknya tidak mampu menjerumuskannya pada kelemahan. Ia tegar, bahkan saat menjadi pucuk pimpinan TNI pada saat itu. Berbagai keputusan pahit harus dipilih, dan di tangannya harus punah berbagai pemberontakan pahit, seperti PKI-Muso di Jawa Timur, hingga DI-TII di Jawa Barat. Bahkan untuk kasus yang pertama, untuk tingkat akar rumput, konon para pemberontak harus dieksekusi dengan senjata tajam (untuk menghemat peluru saat itu). Beliau tidak lemah, teguh, dan melakoliknya dikendalikan, meskipun banyak tokoh pemberontak adalah teman-temannya sendiri! 

Kedua, Hatta. Yap, sudah dapat diduga, beliau punya jiwa mellow yang banget-nget. Romantisme ia dengan istri, dan juga dengan perpisahannya dengan Bung Karno era Demokrasi Terpimpin, menunjukkan bahwa ia punya sisi mellow yang sangat besar. Saat harus berkendara dengan istri, dia selalu melihat sinar matahari, dan selalu memasukkan istrinya di sisi mobil yang jauh dari paparan sinar. Ia sendiri akan menaungi istrinya. Saat harus berpisah dengan Bung Karno, ia tetap mengingat sosok Soekarno sebagai sahabat terbaiknya. Bahkan, walau terpisah akibat politik, pada saat Soekarno sakit, Hatta mengunjunginya dan mencoba menahan tangisnya.. Beberapa saksi mengatakan bahwa Soekarno mengatakan beberapa hal dalam bahasa Belanda, dan Bung Hatta duduk tegak, namun pipinya dialiri air mata. Walau demikian, sebagai pemimpin, ketegasannya tidak terpengaruh oleh sisi melankolik. Sekali lagi, peristiwa penumpasan pemberontakan, restrukturisasi TNI, dan pembangunan ekonomi di era awal adalah banyak hal pahit yang harus dia tempuh, bahkan mengenyampingkan perasaan keluarganya. Coba saja saat harus menekan nilai mata uang yang lemah, ia harus menyatakan bahwa separuh nilai uang tidak berlaku. Rahasia ini tetap teguh ia genggam hingga diumumkan resmi di corong RRI dan berbagai media, bahkan ia menutupinya dari keluarganya. Alhasil, istrinya pun kesal karena saat itu keluarganya semakin tak punya uang. Sungguh luar biasa!


Ada banyak sekali tokoh yang saya rasa menunjukkan sisi melankolik. Sebenarnya, saya ingin bercerita tentang Hitler, tapi kok ya rasanya sudah teramat panjang. 

Satu hal yang jelas bagi saya, melankolik adalah sisi pribadi yang harus diterima, diakui, dan disyukuri. Banyak kelebihan orang-orang melankolik, dan Tuhan tak pernah kakehan memberi sisi tersebut. Memang, tak semua orang dapat menerima pribadi dengan sifat yang seperti roller coaster, sulit dicerna, terkadang sangat nekat, namun terkadang juga mudah tersentuh. Bahkan, bagi orang lain, bisa dianggap orang melankolik sangat melelahkan. Bagi orang mellow, ia harus bersyukur karena sebagian besar memiliki planning yang baik, terstruktur, mudah merasa, dan mudah membantu orang. Namun, semua kepribadian, disimpulkan harus tepat pada porsinya. Ada saat dimana dia harus muncul, namun ada pula saatnya dia harus ditahan dari penyerahan keadaan.  Sangat berbeda antara melankolik dan pengecut atau istilah jawa : Gembeng! Itu benar-benar terbukti saat orang melankolik mampu dengan teguh menyatakannya pada saat dan porsi yang tepat. 


Ini adalah foto yang ngisin-ngisini, tapi saya sangat senang mengingat persahabatan kami. Ki-Ka :Saya,  Reza S. (Entah dimana, pokoe ngurusin pajak negara), Reza K. (Dokter di Bondowoso), dan Bagus (Pegawai Telkomsel, kayae di Jakarta). 

Ini mawar (yaiyalah). Entah kenapa, saya suka bunga sejak saya jadi cucu Mbah Minto Asih. Tulisan kali ini berasal dari sebuah perenungan melihat mawar ini. 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar