the biodoversity

the biodoversity

Jumat, 01 April 2022

Jurnal Paling Lama

Halo jejak digital, 

saat ini tentu banyak hal yang terjadi. Saya pun merasa, bahwa medsos sudah terlalu banyak mengambil alih kehidupanku. Akhir-akhir ini, mungkin karena pertimbangan keresahan, maka saya prei medsosan terlebih dahulu. Ada yang saya uninstal, ada pula yang saya log out begitu saja. Ketika ada hati yang membludak, dan blog ini akhirnya menjadi pilihan untuk sekedar oret-oret lagi

Baik, kali ini saya akan ngrasani sebuah proses pembuatan jurnal yang paling lama dalam hidup saya (yang baru 31 tahun ini, hehe). Ada jurnal yang saya pernah tulis beberapa hari. Ada yang memang memerlukan waktu 2-3 bulan. Semuanya karena perasaan dan inspirasi yang terkadang lancar, atau buntu. Terkadang, suasana kerja juga memengaruhi. Terakhir, saat saya mengerjakan sebuah manuskrip dengan umur kerja 3 hari, adalah saat saya freelance, nyambi S2 di Universitas Brawijaya. Pagi jam 8 buka lab, dan tutup lapak jam 7 malam. Isinya tekun melihat laptop, ngetik-ngetik dan terus ngetik. Saya ingat, adik kelas saya, namanya Anggun (kayae sekarang udah jadi TKI yang nyambi ngejar PhD di taiwan, hehehe...). Beliau ini selalu bilang : Mas, istirahat sek.. Giyendeng, jogetan sik, dst. Semakin sore, penghuni lab selalu ga jelas, jogedan, dan lagunya bergeser dari keminggris saat pagi, menjadi koploan gas pol sore hari. Tapi patut diduga, manuskrip seperti ini nampak terlalu tergesa, banyak kesalahan teknis, dan selalu setelahnya perlu koreksi dan proses translate dari anggota lab yang lain. Bener-bener kejar tayang, demi rupiah. 

skip-skip, 

sampailah skill dan kegemaran menulis mendukung profesi saya sebagai dosen pada tahun 2019. Adalah saya yang bergabung di Universitas Jember, dan menjadi dosen anyaran, yang bisa dipastikan lebih banyak tolah-toleh, hah-heh dibandingkan punya strategi taktis untuk ngejar karier. Pada awal itu, tuntutan tri dharma sudah digaungkan, sesaat deadline pengumpulan proposal hibah internal ditutup. Jadi, ya bener-bener tolah-toleh. Sebenarnya, tidak wajib bagi dosen muda saat itu untuk memenuhi tri dharma, tapi saya yang gemar tantangan, jelas ga mau lah, hehe.  Jadi, saya membuat proposal mandiri, mengajukan surat tugas, dengan topik yang membagongkan : High Nature Value Farmland (opoooo ikuuu???). Sesuatu yang saya pikir akan menjadi tema umum yang dapat dimasuki berbagai kajian, dan datanya yang dieksplore dengan berbagai sisi, dan dapat dipecah pada berbagai luaran tulisan. Secara, saya harus ingat bahwa saya berasal dari Ilmu lingkungan, besar di Taksonomi, dan kini menetap di Agroteknologi, hehe. Lokasi secara mudah langsung saya tentukan : Meru Betiri.  Saya pun langsung mikir, siapa teman yang bisa nemenin saya panas-panas dan  ngajak ngobrol supaya ngga gila di lahan? Ahaa.. tentu saya pilih Nilasari. Beliau ini adalah andalan Departemen Silvikultur yang mungkin saat di IPB, sudah pernah praktik ngukur kawah Krakatau, atau kawah bulan. Pokoknya, beliau meskipun berasal dari gender kromosom XX, saya percaya dia tidak akan rewel, bahkan melebihi para kaum saya sendiri. Yah, mirip-mirip dengan motor merk Win lah. 

Pada suatu hari, berangkatlah kami  dengan modal surat-surat administrasi, dan tentu saja nekat, pergi menjelajah berbagai tipe vegetasi mulai dari kawasan barat di Wonoasri, hingga Sanenrejo. Kemudian, sedikit mbelok ke Bandealit, dan kemudian ke timur, ke arah rajekwesi. Lahan-lahan ini kami jelajahi dengan ranger lokal yang siap sedia membantu anveg. Nah, di Bandealit ini saya bertemu syahabat lama saya : Mas Puji Firmansyah. Sudah lama, karena saya dulu juga pernah berproses di Meru betiri sebagai pencari nafkah, meski yaa tidak lama-lama banget. Dari obrolan nggedabrus dan pamer-pamer foto, maka munculah informasi yang sangat penting dan tiada duanya : Meiglyptes tristis ditemukan lagi. Burung ini endemik dan sangat langka. Beberapa informasi parsial memang muncul di sini, dan bahkan si Mas Puji ini merekamnya dalam bentuk video. Sungguh informasi yang sangat berharga.  

Nah, sudah ada 3 jurnal yang diterbitkan hasil penelitian gak bondo ini. Mungkin kalian kalau punya waktu yang gabut bisa mengeceknya di sini : 

https://www.berkalahayati.org/index.php/jurnal/article/view/605

https://www.biotropika.ub.ac.id/index.php/biotropika/article/view/743

https://www.biotropika.ub.ac.id/index.php/biotropika/article/view/574

Untuk yang terakhir ini, adalah pamungkas manuskrip yang tahun 2020 sudah disiapkan, yaitu catatan temuan M. tristis. Sebuah jurnal disasar, dan segera dikerjakan. Perubahan selalu terjadi dan uakehe ora umum pokoke. Ada 3 nama yang saya pajang di sana : Saya, Puji Firmansyah, dan Nilasari. Meski saya sudah diingatkan senior, yaaa memang saya yang ngeyel untuk nyoba. Akhirnya, saya ketemu dengan reviewer atau editor yang cerewet. Jalur cerita manuskrip saya dibantah sebagian, dan konsep gambaran vegetasi habitat (yang saya kerjakan dibantu Nila selama berminggu-minggu), diminta untuk dihilangkan saja. Uasssuuuuuu. Bahkan, mas Puji harus saya tanya-tanya berkali-kali untuk cek temuan terbaru, yang akhirnya juga nihil. 

Sampai, pada tahun ini, sudah masuk  kontributor-kontributor asing, entah dari Belanda dan Australia yang tertarik dan membantu untuk menulis manuskrip ini. Ada punggawa dan senior saya tercinta, Mas Kukuh, yang juga membantu mengumpulkan data-data yang berserakan. Perdebatan antar editor, kontributor, dan entah mungkin reviewer, sudah membuat saya lelah sekali. Kadang sampe di titik : Sekarepmu!! Namun yang saya ingat adalah pertanyaan menyakitkan, terkait kontribusi Nilasari di manuskrip ini. Wooh, tentu saya pasang badan, apalagi mereka, pada kalimat berikutnya, ingin tercatat dalam co-authors atas kontribusinya. Ya, saya tidak keberatan, tapi tak saya izinkan ada yang ngutik-utik nama rekan lapangan saya, siapapun!

Baru beberapa hari lalu, kami aktif menggeliat lagi, mencoba menyelesaikan bintik mati ini untuk dapat segera diterbitkan. Salah satu kontributor sampai harus membuat manuskrip terpisah untuk temuan-temuan lain di Pulau Jawa. Beberapa jam lalu pun, saya masih harus membuat ringkasan dan kembali mengirimnya ke grup email itu. 

Sudah 2 tahun lamanya, dan ini adalah manuskrip paling lama yang pernah saya kerjakan. Dua tahun itu jika anak, sudah bisa lari-lari. Jika rumah, sudah bisa buat dapur sak terase. Dua tahun, tiba-tiba teringat bagaimana data-data ini diambil, dan didasari konsep amatiran dari seorang Agung. 

Mungkinkah ini akan menjadi tahun terakhir penantian itu? entahlah, semua bisa saja berubah pada tahun ini. Para kontributor Indonesia masih beraktivitas sendiri-sendiri, demikian orang-orang asing itu. Mungkin ada yang sibuk sir-siran dan mau nikah, ada yang kerja di lapangan, dan juga menafkai keluarganya.  Hanya harapan, dan mencoba mengerjakan yang terbaik, itulah yang bisa dilakukan.


Ditulis di Jember, di sebuah ruang rapat, sendirian

1 April 2022

Bonus : 

Sejauh mata memandang adalah lahan rehabilitasi

 

Untuk urusan vegetasi, saya serahkan ahlinya : Nilasari, yang sudah handal, tidak rewel, dan makannya sedikit. Kayae untuk Mas Puji saya lupa moto deh. 



2 komentar: