Beberapa
hari yang lalu saya menyempatkan diri untuk mengunjungi beberapa kerabat di
Lumajang. Suatu perjalanan yang mungkin biasa saja bagi orang lain setiap
tahun, tapi kali ini, bagi saya sangatlah berbeda. Ada perbedaan yang besar ketika
saya telah mengenal dan mencintai dunia birding. Dengan dunia baru ini, maka tumbuhlah suatu
rasa penasaran yang muncul ketika mendengar suit-kicau berbagai burung.
Heran... dulu saya selalu mengabaikan tiap kicau burung itu, atau ketika sudah
tahu jenis burung apa yang berkicau, maka.. ya sudah, selesai, meski wujudnya
sendiri tak nampak. Namun, sekarang segera muncul tenaga untuk melangkah,
membidikkan kamera, dan mengidentifikasi burung apa itu. Jika tak mampu
melakukan identifikasi, maka ciri-cirinya cukup dicatat saja, lalu identifikasi bisa dilakukan dengan literatur atau orang yang lebih berpengalaman.
Menarik,
karena dengan mengetahui jenis burung, kita bisa menduga kualitas lingkungan
yang sekarang kita pijak itu. Lebih luas lagi, bila kita telah menemukan salah
satu burung yang sudah cukup jarang ditemui. Bagi orang lain, mungkin burung
itu sama dengan burung lain. Namun bagi kita, maka akan menjadi suatu tanda
tanya besar yang menghubungkan berbagai kemungkinan yang menjadi misteri. Lebih
menarik lagi karena dengan birding, kita
bisa menduga suatu track record masyarakat
yang ada di sekitarnya, melalui perubahan komunitas burung di sekitarnya.
Pengetahuan
yang luar biasa? Benar, tapi apakah gunanya bila kita tidak membagikan
pengetahuan itu pada orang lain? Salah satu contohnya adalah keberadaan burung
bubut jawa (Centropus rigrorufus) yang saya temukan di antara pekebunan tebu dan sengon. Beberapa
masayarakat mengaku tidak pernah mengetahui adanya burung ini. Kabar bagus? Ya,
bila kita tidak mempercayai masyarakat untuk turut dalam konservasi avifauna
ini. Semakin mereka tidak tahu, maka kemungkinan populasinya terjaga semakin
besar. Namun, bagi saya tidak demikian suatu peran scientist. Seorang yang telah mengenal ilmu, harusalah turut
membaginya dengan masyarakat. Maka dengan demikian, ada suatu rantai konservasi
alam yang terbangun di antara masyarakat Indonesia. Bagaimana caranya? Apakah
harus melalui penyluhan? Tentu tidak, tetapi hanya dengan sedikit mengambil waktu dengan
masyarakat, tersenyum, mungkin dengan secangkir kopi dan beberapa gorengan,
ataupun hanya dengan bercakap-cakap di pinggir jalan.
Bukan
hanya bubut jawa yang cukup langka, tetapi burung-burung yang berdampak
langsung dengan pertanian sebagai mata pencaharian utama masyarakat, seperti prenjak
sawah, blekok, kuntul, juga menjadi perhatian utama dalam sistem ‘bagi-bagi
pengetahuan’ ini. Sekali lagi semua ini tak perlu dengan penyuluhan di balai
desa. Hanya dengan menyempatkan diri untuk bersalaman, sedikit bertanya-tanya,
dan kemudian menarik kesimpulan bersama mengenai kondisi lingkungan yang tetap
lestari akibat keberadaan burung yang melengkapi rantai makanan.
Sangat
besar dampak bagi konservasi ketika kita bertindak karena pengetahuan, namun
lebih besar lagi dampaknya ketika kita membuat orang lain juga bertindak sama karena
pengetahuan.