the biodoversity

the biodoversity

Sabtu, 04 Mei 2013

Belajar Singkat dari Tukang Potong Ayam

     Ada sesuatu yang beda saat saya naik kereta api Tawangalun jurusan Banyuwangi-Malang tepat di tanggal 2 Mei, hari pendidikan ini. Sebenarnya saya ogah kembali ke Malang. Selain karena tiket kereta sudah naik (50 ribu broooo), makanan di rumah jauh lebih enak, hehe. Hanya saja karena ingat punya kewajiban memimpin rapat dan sudah memiliki beberapa janji, akhirnya saya kembali juga. 
     Saat saya masuk ke gerbong 4, saya kemudian mencari nomor 8E. Lhah, ternyata, ada dua orang yang menduduki bangku ini, dan mereka sedang tidur dengan posisi kaki selonjor (meluruskan kaki). Sebenarnya enggan juga mengusik mereka untuk sekedar meletakkan barang, tapi daripada nanti saya harus memindah barang-barang lagi, akhirnya saya bangunkan mereka. Tiba-tiba ada suami-istri di belakang saya menegur saya:
"Biarkan saja, le... Keretanya kosong kok, atau mau duduk sini?" kata sang suami sambil tersenyum, diikuti sang istri yang juga tersenyum mengiyakan, lalu memindahkan barang di depan mereka. Saya menolaknya dengan halus, lalu segera menaruh barang pada tempat barang tepat di atas kedua orang yang terbangun tadi, kemudian saya mencari tempat kosong lain, 12E. Di sanalah saya kemudian mulai menyibukkan diri dengan mengoreksi sebuah tulisan. 
      Tak lama, kereta sampai di Stasiun Jember. Kedua orang yang saya bangunkan tadi akhirnya turun, dan saya kembali di tempat duduk saya yang sebenarnya, 8E. Nah, suami-istri yang ramah itu kemudian menyapa saya lagi, lalu bertanya-tanya tentang tempat tinggal saya, dan kemudian memperkenalkan namanya tanpa saya tanya. Hal yang cukup langka di era seperti ini, padahal saya juga terlihat (sok) sibuk dengan bendelan kertas dan pensil. Hal yang unik lainnya adalah kedua orang asing ini, dan juga anaknya laki-laki, selalu tersenyum setelah bicara, bahkan sang bapak juga sering tertawa lebar. Akibat tertawanya, pipinya makin bulat lucu. Dari logatnya saja, saya tahu kalau mereka orang suku Osing, Banyuwangi. 
    Namanya Pak Harun. Ia beserta istri dan anaknya akan ke Jakarta untuk menghadiri reuni keluarga. Nah, satu hal yang sangat membuat saya tertarik adalah ketika sampai di Stasiun Tanggul, ketika anaknya tiba-tiba minta kue molen, dan kebetulan saya juga ingin beli, lhah sang ibu tiba-tiba membelikan saya. Meskipun saya tolak berkali-kali, dia tetap membelikan. Bukan Rp. 2000 seperti budget saya pertama, namun Rp.5000! Ketika saya tersedak setelah makan molen, Bu Harun segera memberi minum air putih. Lhah, mungkin melihat saya heran, bertanya-tanya, sang bapak kemudian berkata :
"Biasa saja nak, biasa saja... hehehe, kami memang biasa melakukan ini, memberi makan anak tetangga yang memang butuh makan kalau di kampung. Nah, ibuk ini malah suka sekali dengan anak kecil. dari dulu sebelum kami punya anak, siapapun yang lewat rumah adalah saudara dan anak kami.." katanya, dan tidak lupa "hehehe".
    Wah, ini menarik. Pekerjaan saya kemudian saya tinggalkan, dan saya makin larut bercakap-cakap dengan mereka. Dari percakapan ini, saya kemudian mengerti bahwa beliau punya dua anak, satu sudah seumuran saya, lalu yang kedua baru kelas V SD. Nah, cerita perjalanan hidup kedua anak ini ternyata tidak 'mulus' dan mungkin juga tidak 'membanggakan' bagi sebagian besar orang tua di dunia. Anak pertama hanya kuliah sampai semester 2 saja, lalu kemudian rabi (kawin). Anak kedua ini sangat nakal. Saking nakalnya, dia tidak naik kelas, bandel, paling besar diantara sebayanya, dan suka main PS atau layangan. Anehnya, ketika menceritakan anak-anaknya, tidak ada raut kesedihan di muka mereka. Sang bapak masih dengan tertawanya, dan sang ibu masih dengan senyum simpulnya. 
    Ketika saya secara tersirat bertanya :"mengapa?", Pak Harun menjawab enteng : "karena memiliki anak itu sudah karunia yang sangat besar. Anak itu mas, bukan target keinginan orang tua. Nah, anak saya yang pertama meskipun cuma lulus SMK, tapi sekarang dia gantikan bapak ngurus dagangan. Kalo si thole ini ya mbuh jadi apa... hehe, klendai?" Tanyanya pada anak laki ini yang selalu di pelukan ibunya. Hm... sekarang saya sadar, banyak orang tua salah dengan memaksakan kehendaknya pada anak. Entah dengan dalih memberikan yang 'terbaik' bagi sang anak, atau dengan dalih 'memberi masa depan yang lebih baik'. Uniknya lagi, ia sangat mendukung ketika anak bungsunya ini punya cita-cita mendesain modifikasi motor seperti sepupunya. Wow, sungguh, Pak Harun yang hanya lulusan SD ini sangat paham tentang kenyataan bahwa anak di dunia memiliki kemampuan dan sisi pintarnya masing-masing!
    Selain itu, menurut ceritanya, Pak Harun ini memiki rumah potong ayam sekaligus peternakannya. Meskipun beliau menabung untuk masa depan sang anak, mendidik mereka baik-baik, tetapi seringkali uang tabungan itu digunakan untuk menyekolahkan anak tetangganya! Kesempatan berangkat haji atau umroh sering ia lewatkan, ketika tetangganya sedang membutuhkan. Apakah Pak Harun kekurangan dalam hidupnya? 
"Alhamdullilah, kami dicukupkan terus mas. Yang saya lakukan ini diturunkan dari almarhum kakek saya. Saya harap, seperti apapun anak-anak saya kelak, mereka juga mewarisi apa yang kami lakukan. Saya masih ingat ketika kakek saya meninggal, jenazahnya berjalan sendiri!" katanya dengan nada serius.
"Loh, bagaimana bisa pak?" tanya saya tidak percaya.
"Iya, orang-orang berjajar di jalan kampung dari rumah hingga pemakaman. Karena saking banyaknya orang yang datang dan mereka semua ingin mengusung keranda, akhirnya secara beranting keranda itu bergerak, mirip berjalan sendiri." jawabnya sambil tersenyum.
    Hm... saya sekarang sadar, banyak orang berebut dengan pendidikan, tapi melupakan esensi penting pendidikan itu untuk memperbaiki kualitas hidup yang singkat ini. Semakin 'terdidik' orang pada zaman ini, mereka semakin jenuh akan nilai-nilai logika palsu yang ditanamkan, dan menginjak nilai-nilai kearifan yang sebenarnya. Sampeyan para pembaca masih ingat ketika UNAS digelar, banyak anak SMA yang stres, kesurupan, atau malah menggantung diri jika tidak lulus. Banyak guru, orang tua, bahkan pejabat menganggap hasil dari pendidikan adalah peningkatan prestise mereka di mata masyarakat. Jika sekolah yang memiliki anak tidak lulus, betapa malunya mereka: teman, guru, atau kepala sekolahnya. Jika daerah yang memiliki angka kelulusan tinggi, betapa bangganya mereka yang menjadi pejabat, bahkan bisa jadi bahan kampanye periode berikutnya. Tapi rasanya tidak ada yang merasakan apa yang dirasakan oleh pihak pelajar, atau anak yang sedang mengalami proses pendidikan itu. Istilahnya, ketika sang anak berkreasi tunggal dengan menyelamatkan cacing, karena mengetahui perannya sebagai penggembur tanah, orang tua, guru, dan pejabat memarahinya dan menyuruh mereka belajar Sains! Tentu saja juga berisi teori bahwa cacing sebagai penggembur tanah.... Suatu hal yang sudah terbalik-balik di negeri kita ini.


monggo yang membaca tulisan saya, mari kita sama-sama belajar dari Pak Harun, dan mengingat sekali lagi kenapa kita disebut "terdidik" dan "terpelajar".
Selamat Hari Pendidikan Nasional :)

Keluarga Pak Harun di KA Tawangalun, 2 Mei 2013