the biodoversity

the biodoversity

Minggu, 09 Februari 2014

Di balik sebuah kata 'mbabu'...

"Kuliah e sampun mantun tah?"
 "Sampun medhamel teng pundhi mas?"

   Mungkin kedua pertanyaan itu seringkali terlontar kepada saya setelah sering terlihat di lingkungan kampung halaman. Entah memang ketika sedang di lingkungan kifayah RT, lingkungan persekutuan, atau lingkungan rekan sekerja orang tua. Paling penak, saya menjawab sederhana dengan kalimat : "Kulo sakniki mbabu teng Meru Betiri." - Saya sekarang menjadi pelayan di Meru Betiri-. Rupanya kalimat ini cukup membuat mereka yang bertanya mengernyitkan kening, tanda adanya sebuah pertanyaan di benak mereka. Pertanyaan berikutnya bisa jadi tentang Meru Betiri itu apa, atau mungkin yang sedikit menarik adalah tentang pilihan status 'mbabu' saya.
    Saya pikir, permasalahan rata-rata masyarakat kita adalah belum bisa menerima jalan yang tidak 'biasa'. Sebuah jalan yang mungkin bisa lebih dikenal dengan jalur aktivis, jalur idealis, dan jalur -is-is yang lain. Padahal sekali lagi, kita juga sadar manusia lahir jebrett di dunia tidak pernah sama dengan yang lain. Ada yang umur 10 tahun bisa langsung terkenal macam Justin Bibeer, atau harus nunggu terkenal di dunia tarik suara setelah berkali-kali ikut idol-idolan. But, they made it. Tidak peduli kapan, apapun, tapi karena mereka tekun berusaha mencari jalan mereka, ya akhirnya mereka sekarang dikenal dengan seorang 'penyanyi bertalenta'. Lha yo wes toh... 
    Kalau tadi permasalahan dari masyarakat, sekarang adalah permasalahan dari diri kita. Mari saya tempatkan diri kita sebagai anak muda. Baik, jika lebih dikerucutkan, sebagai pelajar. Kenapa pelajar? karena status ini di-equivalen-kan sebagai bentuk kawah Condrodimuko kehidupan manusia. Titik tertinggnya macam-macam, namun pemondokan tempat belajar adalah status serius yang menjadi concern, karena setelah di-cap lulus, pertanyaannya adalah "mau jadi apa?" Sebenarnya pertanyaan ini akan terjawab ketika kita dengan mantap belajar dalam pemondokan itu. Dalam sebuah kawah Candradimuka, kita akan berpikir keras tentang kita punya apa, bagaimana, dan untuk apa. Sekali lagi, ini pun tidak sama persis antar manusia... wani totohan wes.
   Nah, yang terakhir, adalah bagaimana membawa hawa api Condrodimuko tetap membara di kehidupan nyata. Membara bukan artinya sampeyan kuliah kriminologi, terus harus nangkep bandar cap-je-ki di pasar. Lha iya toh, bertahun-tahun sekolah, tentunya menjadi agen perubah adalah sebuah keharusan. Coba sampeyan mikir, seseorang suka melukis, suka menari, suka seni karena otak kanannya sudah membesar di Institut Seni, malah menjadi akuntan. Alasannya macam-macam, tapi yang menurut saya paling populer, adalah ketika ia takut menjadi berbeda. Alasan kedua adalah khawatir... tidak dapat uang untuk hidupnya. 
     Ada pula kejadian dimana ketika anda sedang menekuni suatu hal, tiba-tiba anda melonjak dan berkata kepada hal lain : "that's me!!" , lalu anda beralih kepada hal itu. Tentu, itu bukanlah sebuah kesalahan, dan berbeda dengan kasus sebelumnya. Ini adalah peralihan yang menunjukkan talenta kita yang sebenarnya. Banyak contoh yang merujuk kepada kejadian ini, misal seorang lulusan manajemen, kini menjadi aktivis lingkungan, pemerhati burung pantai, dan sekarang kira-kira, nama Indonesia banyak diwakili olehnya. Bermula dari kuliah yang mungkin tidak jelas hubungannya dengan karirnya sekarang, sikap ngeyel pada pilihannya, dan akhirnya ia menjadi seorang punggawa shore bird di Indonesia. Jelaslah saya menyebutnya ini sebuah panggilan, sebuah kelengkapan dari talenta. Tuhan tidak pernah salah, dan sejauh mana anda mengembara mencari, keduanya pasti ketemu, dan sekali lagi tidak pernah salah.
   Jadi, itulah... saya memilih kata 'mbabu', karena memang identik dengan saya. Saya merasa menjadi sebuah kewajiban untuk seorang yang pernah belajar biologi, kembali untuk membuat ilmu biologi menjadi diketahui dengan mudah dengan masyarakat, dan menjadi lebih bermanfaat. Memang, terkadang, belum ada yang dapat ngingoni kebutuhan saya untuk itu. Ada rejeki, mungkin hanya cukup untuk bensin, bawang atau obat nyamuk saja, hehe. Tapi tidak mengapa. Sekali lagi, terkadang ngeyel itu perlu. Saya mbabu bukan kepada sebuah institusi, atau sebuah birokrasi ciptaan manusia.  Bahkan, di dalamnya saya menjadi sadar diri bahwa ilmu saya masih cethek, kecipik-kecipik, dibandingkan luasnya samudra ilmu pengetahuan milik Tuhan. Ndak usah sedunia, di belantara 11.000 ha di resort bandealit, tempat saya mbabu sekarang, saya masih belum bisa mengidentifikasi dengan benar : tanaman, kodok, burung, atau ribet dengan ngutek-ngutek peta. Mungkin kalau kuliah, saya harus mengulang sistematika tumbuhan I, II, sistematika hewan I, II, dan biokomputasi, semuanya diulang dengan puluhan sks, haha.. modhar kon.. But it's a essencial of 'mbabu' word, full with sacrify, a passion, and brave. Apa yang saya bisa, itulah yang saya lakukan. Hanya mbabu kepada Tuhan, itulah alasan kenapa saya bisa menjalani sistem kompleks ini dengan sebuah harapan masa depan apa dan siapa di sekitar saya menjadi baik.


Trims to Saur Marlina Manurung,
anda telah menginspirasi saya :)

Sokola Rimba




4 komentar:

  1. Wah,, keren.. ^^
    Pinter nulis ternyata.. #Tepuktangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. thanks natalia, tulisan iseng saja kok.. :)

      Hapus
    2. Haaa?? Iseng?? Bagus tapi mas (y) siiip deh.. Teruskan mas.. ^^

      Hapus