the biodoversity

the biodoversity

Sabtu, 13 Desember 2014

Merayakan Cinta Bersama Sang Rimba (II)



   Bulan Maret, siapa yang mengira akhirnya status saya akhirnya dipertanyakan?Ya, status tentang ke-volunteer-an saya dipertanyakan. Mungkin seperti saya bilang, saya dengan asyiknya bludas-bludus seperti masak kandang kebo saja. Bagi sebagian orang yang percaya kesaktian tata-pranata perijinan, tentunya ini adalah dosa besar. Begitu saya masuk ke SPTN I Sarongan, seseorang bertanya: 

“Kamu ada perlu apa? Ada kegiatan apa?”

   Sebisa mungkin saya menjelaskan, siapa, dan seperti apa status saya. Juga saya berikan penjelasan bahwa saya tidak memegang surat apapun yang dijanjikan oleh pihak balai hingga saat itu. Namun, rasa tidak puas terpancar dari wajahnya yang sudah berusia. Sekali lagi, beliau, dan mungkin teman-teman lain yang menanyakan di lapang tidak salah. Yang salah adalah... siapa?
Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak lagi kembali ke SPTN tersebut tanpa ijin tertulis, meskipun itu adalah dengan ijin lesan dari kepala balai sekalipun. Dalam hati, saya judreg bukan main. Di satu sisi, adakah orang bodo, sebodo-bodonya orang itu, yang baru saja selesai studinya, meninggalkan status fresh graduate-nya, untuk membantu sebuah taman nasional berluaskan 58.000 ha, yang data reptil saja hanya 4 jenis? Dan data burung sudah usang tahunan tidak ter-update, bahkan beberapa nama-nama ajaib macam ‘Larwo’ dimasukkan dalam super-database tersebut? Hal yang juga disinggung-singgung oleh dosen orang bodo itu, menyindir mentalitas idealisme buta yang dipakainya. Sebisanya orang bodo itu mau membantu tanpa dibayar. Itu saja akhirnya harus ditolak di lapang. Kesal bukan main rasanya...
   Namun, intinya bukan di sana, saudara. Ternyata Tuhan memakai kejadian ini untuk mulai memperhatikan ‘legalitas’ sebuah hitam-di-atas-putih. Kejadian ini mengajari saya untuk tidak membenci sesuatu berlebihan. Saya sangat membenci birokrasi, itu yang membuat saya tidak sabar menunggu surat keterangan volunteer tersebut, dan melaju ke Bandealit di tahun 2013 lalu. Namun, kebencian saya menumpuk menjadi sikap apatis terhadap surat itu, hingga kejadian itu akhirnya terjadi.
   Di Balai, tak ada suatu halangan yang berarti. Surat itu ternyata tidak diproses selama ini karena... lupa. Namun, dengan penuh ungkapan maaf, pihak balai (dalam hal ini, KSBTU), membuatkannya dalam hitungan 5 menit. (Serius, saya melihat jam pada saat itu.. hehe). Saya maklum, beliau maklum, dan semua keluarga TNMB maklum. Beratnya permasalahan di sebuah Taman Nasional membuatnya tidak mungkin untuk mengingat segalanya. Lagipula, beliau juga berkatta seharusnya terdapat semacam pemberitahuan khusus ke resort yang saya tuju (hal yang sama juga diucapkan oleh Kabalai sebulan lalu, meskipun hingga sekarang surat itu tak pernah ada, hehe). Saya pikir, besarnya perhatian dari pihak TN untuk saling mendengar di hari itu adalah sebuah harapan akan dimulainya maha-karya yang baru.
   Dalam hati, saya teringat akan apa yang saya doakan di Bandealit, dan tanah-tanah yang saya pijak. Sikap trenyuh akan kondisi sato-kewan dan tetanduran yang makin rusak di bumi nusantara ini, siapa yang dapat menahan? Tidak mungkin saya hidup untuk memperkaya diri sesuai kebutuhan hidup yang sementara ini. Karena bagi saya, tempat saya bukan di Bank atau di dalam kantor asisten yang ber-ac. Tempat saya adalah serasah daun winong serta tumpukan kotoran rusa. Terbersit sebuah keinginan untuk bekerja sebaik-baiknya, apa yang saya bisa untuk Taman Nasional ini. Saya ingin mengabaikan segala kecewa karena tidak dipenuhinya hasrat dan hak karena pekerjaan ini, tetapi sebagai manusia, sesekali saya tak dapat menolaknya. Yang saya bisa adalah terus berbenah, dan bekerja lebih baik lagi, dan lagi.

Diiringi mendung desember,
titi-wancine jawah... mengingat akan pengembaraan di maha-karya Gustine tiyang pracaya..




Tidak ada komentar:

Posting Komentar