Bulan Maret, siapa yang mengira akhirnya status saya
akhirnya dipertanyakan?Ya, status tentang ke-volunteer-an saya dipertanyakan. Mungkin seperti saya bilang, saya
dengan asyiknya bludas-bludus seperti
masak kandang kebo saja. Bagi sebagian orang yang percaya kesaktian tata-pranata perijinan, tentunya ini
adalah dosa besar. Begitu saya masuk ke SPTN I Sarongan, seseorang bertanya:
“Kamu ada perlu apa? Ada kegiatan apa?”
Sebisa mungkin saya menjelaskan, siapa, dan seperti apa
status saya. Juga saya berikan penjelasan bahwa saya tidak memegang surat
apapun yang dijanjikan oleh pihak balai hingga saat itu. Namun, rasa tidak puas
terpancar dari wajahnya yang sudah berusia. Sekali lagi, beliau, dan mungkin
teman-teman lain yang menanyakan di lapang tidak salah. Yang salah adalah...
siapa?
Akhirnya, saya memutuskan untuk tidak lagi kembali ke SPTN
tersebut tanpa ijin tertulis, meskipun itu adalah dengan ijin lesan dari kepala
balai sekalipun. Dalam hati, saya judreg bukan
main. Di satu sisi, adakah orang bodo, sebodo-bodonya orang itu, yang baru saja
selesai studinya, meninggalkan status fresh
graduate-nya, untuk membantu sebuah taman nasional berluaskan 58.000 ha,
yang data reptil saja hanya 4 jenis? Dan data burung sudah usang tahunan tidak
ter-update, bahkan beberapa nama-nama ajaib macam ‘Larwo’ dimasukkan dalam super-database tersebut? Hal yang juga
disinggung-singgung oleh dosen orang bodo itu, menyindir mentalitas idealisme
buta yang dipakainya. Sebisanya orang bodo itu mau membantu tanpa dibayar. Itu
saja akhirnya harus ditolak di lapang. Kesal bukan main rasanya...
Namun, intinya bukan di sana, saudara. Ternyata Tuhan
memakai kejadian ini untuk mulai memperhatikan ‘legalitas’ sebuah
hitam-di-atas-putih. Kejadian ini mengajari saya untuk tidak membenci sesuatu
berlebihan. Saya sangat membenci birokrasi, itu yang membuat saya tidak sabar
menunggu surat keterangan volunteer tersebut,
dan melaju ke Bandealit di tahun 2013 lalu. Namun, kebencian saya menumpuk
menjadi sikap apatis terhadap surat itu, hingga kejadian itu akhirnya terjadi.
Di Balai, tak ada suatu halangan yang berarti. Surat itu
ternyata tidak diproses selama ini karena... lupa. Namun, dengan penuh ungkapan
maaf, pihak balai (dalam hal ini, KSBTU), membuatkannya dalam hitungan 5 menit.
(Serius, saya melihat jam pada saat itu.. hehe). Saya maklum, beliau maklum,
dan semua keluarga TNMB maklum. Beratnya permasalahan di sebuah Taman Nasional
membuatnya tidak mungkin untuk mengingat segalanya. Lagipula, beliau juga berkatta seharusnya terdapat semacam pemberitahuan khusus ke resort yang saya tuju (hal yang sama juga diucapkan oleh Kabalai sebulan lalu, meskipun hingga sekarang surat itu tak pernah ada, hehe). Saya pikir, besarnya
perhatian dari pihak TN untuk saling mendengar di hari itu adalah sebuah
harapan akan dimulainya maha-karya yang baru.
Dalam hati, saya teringat akan apa yang saya doakan di
Bandealit, dan tanah-tanah yang saya pijak. Sikap trenyuh akan kondisi sato-kewan dan tetanduran yang makin rusak di
bumi nusantara ini, siapa yang dapat menahan? Tidak mungkin saya hidup untuk
memperkaya diri sesuai kebutuhan hidup yang sementara ini. Karena bagi saya,
tempat saya bukan di Bank atau di dalam kantor asisten yang ber-ac. Tempat saya
adalah serasah daun winong serta tumpukan kotoran rusa. Terbersit sebuah
keinginan untuk bekerja sebaik-baiknya, apa yang saya bisa untuk Taman Nasional
ini. Saya ingin mengabaikan segala kecewa karena tidak dipenuhinya hasrat dan
hak karena pekerjaan ini, tetapi sebagai manusia, sesekali saya tak dapat
menolaknya. Yang saya bisa adalah terus berbenah, dan bekerja lebih baik lagi,
dan lagi.
Diiringi mendung desember,
titi-wancine jawah...
mengingat akan pengembaraan di maha-karya
Gustine tiyang pracaya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar