the biodoversity

the biodoversity

Selasa, 01 Desember 2015

Wonosobo Kota Damai

   Inilah kota yang akan menjadi awal mula dari perjalanan saya berkeliling mengikuti Khadafi dan kawan-kawan menjelaja. Yap, kami mejelajah untuk menemukan herpetofauna yang disponsori oleh proyek USAID. Proyek dengan pembiayaan besar ini akan mengantar kami menjelajah tlatah Jawa dan Sumatra nantinya. 
    Sebelumnya, mereka (tim) telah sampai di Purwekorto, yang saya lewatkan sebagai kota pertama proyek ini. Namun, untuk yang kedua yaitu Wonosobo, mereka berbaik hati untuk mengajak saya. 
Berangkat dari malang dengan sebuah bus, saya kagum dengan perjalanan ini. Sampai di daerah Kedu, Temanggung, bahkan di Wonosobo, di kiri dan kanan adalah hamparan perbukitan luas. Tanaman utamanya adalah tembakau. Komoditi ini sungguh sangat terkenal sebagai tembakau kualitas terbaik pengisi cerutu. Konon, pejabat tinggi dunia juga menghisap tembakau Kedu dan sekitarnya. Saking berkualitasnya, saat kita menggenggam daun tembakau Kedu, ia takkan hancur, namun hanya menggulat seperti bola. Semuanya hanya dikarenakan oleh tingginya kadar nikotin, racun ternikmat yang sering dihisap manusia. 
    Tak ubahnya perjalanan ini seperti kampung halaman saya di Kalibaru : penuh dengan kelokan. Hanya bedanya, tiap kelokan selalu dipenuhi oleh truk dan bus besar yang menunggu giliran untuk lewat. Tentu saja karena medan yang berbukit, maka jalanan berkelok ini juga mengalami naik-turun. Sudah pasti sopir yang lalu di jalanan ini piawai adanya, karena antrian di tiap tanjakan adalah maut bagi orang-orang tanggung yang baru belajar menyetir.
    Kami ditampung oleh ibu dari bupati Wonosobo. Rumahnya khas jawa, dengan ornamen campuran yang sukar dijelaskan : sedikit pernik Belanda pada pintu, lampu dan sekilas gaya Arab pada lesehan luas tempat tamu bisa beristirahat, namun secara keseluruhan, rumah tersebut adalah Joglo Jawa. Dosen kami sekaligus pemimpin proyek ini, Nia, adalah penentu kenapa kami dapat ditampung oleh salah satu orang yang 'berpengaruh' di sini. Tingginya pengaruh ini terbukti dengan banyaknya tamu yang berkunjung baik siang dan malam. Terkadang mereka berbincang di ruang tamu maupun di lesehan. Topik pembicaraan mereka beragam, mulai politik, keluarga, atau agama.  Keluarga ini adalah penganut Islam pesantren Nahdatul Ulama yang taat. Sangat khas, sedikit ortodoks, dan tidak bisa dipungkiri, bahwa memang kehidupan khas pesantren telah mendarah daging di sebagian besar penduduk Pulau Jawa. 
   Kami ditempatkan di sebuah kamar di pojok belakang-kanan rumah ini. Tepat di hadapannya, terdapat beranda keluar yang membuat kami mudah untuk melakukan pengawetan sampel hingga ekstraksi DNA. Tiap pagi, pembantu keluarga ini selalu mengantarkan penganan kecil dan teh manis. Sungguh hal yang membuat kami tidak enak, selain karena kami yang selalu terlambat bangun karena pekerjaan kami yang selalu selesai larut malam. Namun, uniknya, semua tamu dan termasuk kami, selalu dihidangkan makan. Semua jamuan ini terjadi 3 kali sehari. Belakangan kami ketahui bahwa hingga berakhirnya kami menginap di sana, tuan rumah, yaitu sang ibu bupati, tidak mau menerima uang pengganti apa yang telah kami habiskan...

Sua, Sang Pawang Ular
   Alif menceritakan pengalamannya ketika menemui seorang pawang ular yang akan kami sewa untuk menemani kami. Memang telah menjadi kebiasaan kami untuk menempatkan orang lokal dalam tim. Selain sebagai pelindung dari pertanyaan masyarakat, mereka juga berguna sebagai penunjuk jalan dan adat setempat. Ia (Alif) telah menemui seorang yang bernama Sua. Ia berkelakar tentang banner yang ditempel di tembok ruang tamunya. Di sana dikatakan : Sua, Sang Pawang Ular. Saya menjadi penasaran tentang sang pawang tersebut...
   Akhirnya, pada malam hari kami semua dapat bertemu dengan Sua. Ia cukup tinggi dan kekar. Tubuhnya menggambarkan pekerjaan utamanya sebagai kuli bangunan. Rambutnya cepak dan kegemarannya menggunakan kaos ketat, sudah sangat mirip dengan seorang binaraga. Orangnya ramah dan cerdas untuk ukuran orang lokal. Ia sangat berhati-hati dalam memilih ucapan, sehingga rasanya kami dapat mempercayai sebagian besar perkataannya. Bahasanya sangat medhok, khas Ngapak, meskipun tidak 'separah' orang-orang Cilacap. Kemampuannya terbukti saat melakukan handling tangan kosong pada Viper, Sanca, Weling, ataupun Kobra. Satu kejadian yang membuat bergidik adalah ia mengambil telur-telur kobra di dalam karung, meskipun didalamnya terdapat 3 ekor kobra yang terus mendesis-desis, seakan-akan ia dapat menghipnotis mereka. Pengalaman terberat kami bersamanya adalah menjelajahi Curug Winong, salah satu tempat yang diharapkan memberikan kami banyak hasil. Namun, berkali-kali Sua dan menantunya harus meminta maaf karena pada musim kemarau ini, kami tidak mendapatkan banyak hal. Medan di curug ini sangat ekstrem. Tanjakan tidak lagi bisa ditempuh dengan jalan mendaki, namun memanjat dengan berpegang pada akar dan kayu kopi. Suatu hal yang diakui menguras banyak energi.  Kami merasakan bahwa Sua adalah orang yang mudah diajak berbincang. Ia sendiri gemar berkelahi, namun tetap menjaga perdamaian di kampungnya. Tidak banyak kejadian bentrokan di sana, namun sesekali terjadi. Kelompok terminal dikatakan sebagai kelompok yang paling beringas dan ditakuti. Namun di hari normal, mereka seakan tersulap menjadi pedagang, kenek angkot, atau tukang parkir. 
   Ada banyak sampel yang kami dapat, namun rasanya kemarau tahun ini menghalangi kami untuk menemukan 'kualitas' pada sampel yang kami temukan. Bagaimanapun, kami mengingat Wonosobo sebagai kota kecil yang damai, dan Sua adalah guide terbaik yang pernah ada.

Pak Sua

   
Di alun-alun Wonosobo

Minggu, 14 Juni 2015

Korban Revolusi

Saya sangat suka dengan karya Pak Pram yang berjudul Keluarga Gerilja. Karya ini bisa membangun tiang-tiang gambaran Indonesia era jaman perjuangan pasca kemerdekaan. Ada banyak idealisme berkembang tentang kemerdekaan, kesimpansiuran kekuasaan, kegundahan akan kehidupan rakyat kecil yang terhilang, dan dalam semua hal ini, Pak Pram berhasil. Hanya dalam percakapan yang bercirikan panjang-panjang, ada satu hal yang menarik. Terngiang perkataan bahwa seseorang mati bukan karena nasibnya, tapi karena ia dipilih oleh revolusi untuk mati. Ya, revolusi sudah memilih korbannya. Perkataan sederhana, namun membawa dampak bagi jiwa korbannya, terjadi diantara kegelapan malam dengan terang lampu ublik yang berkedip-kedip. Lawan bicaranya hanya melenguh pasrah, karena memang jika revolusi sudah memilih korbannya, maka tak ada yang mampu menolaknya. Apakah ia tertembak, dihukum mati di kayu sula, atau ketika mabuk diceburkan di dalam kali. Sungguh jaman keras.

Terlepas dari penatnya peperangan argumen di pemilu 2014, Joko Widodo akhirnya melenggang menjadi presiden RI. Tindakan awalnya adalah menggaungkan 2 buah kata sakti yang mungkin akan dipegang hingga kini : Revolusi Mental. Artinya ada perubahan besar-besaran yang akan segera terjadi, dan ini untuk mental orang Indonesia. Mungkin sejajar dengan Fidel Castro menggaungkan "pertempuran all out terhadap buta huruf dan kemiskinan" atau ketika Tan Malaka mengungkapkan "pendidikan adalah kunci kemerdekaan", Revolusi Mental juga menjadi kecamuk ketika susunan birokrasi Indonesia disentuh untuk direvolusi. Masa-masa itu, saya ingat betul ketika terjadi penerimaan CPNS 2014-2015. Saya, yang masa itu adalah seorang sukarelawan di TN Meru Betiri, dengan begitu percaya diri mendaftar. Bagi saya, ini adalah kesempatan besar yang akan mengubah hidup saya. Semua kekayaan hayati Indonesia banyak berada di tangan pemerintah, maka ketika saya harus hidup untuk mengolahnya menjadi baik, haruslah kesana tempatnya. Ketika itu, Kementrian Kehutanan 'hanya' membutuhkan orang yang berasal dari kehutanan, pertanian, dan lain-lain, tanpa sedikitpun kesempatan untuk sarjana biologi. Akhirnya, Kementrian Lingkungan Hidup yang masih membuka lowongan untuk sarjana biologi, menjadi pilihan yang saya anggap baik. Bahkan, saya mendaftarkan salah satu pilihan ke Papua, salah satu tempat yang dianggap terpencil, karena kesiapan saya untuk mengabdikan diri.
Namun, gaung revolusi itu nyatanya lebih cepat mendahului langkah saya berjuang untuk hidup dan cita-cita. Kehutanan dan Lingkungan Hidup dijadikan satu, dan proses birokrasi Indonesia yang terkenal lama, membuat saya tergantung seperti di kayu sula. Tidak ada kejelasan pengumuman kelulusan, sedangkan uang untuk kehidupan saya tidak lagi ada (maklum, sukarelawan di Taman Nasional).
Masa-masa yang berat itu saya jalani dengan kepahitan. Saya masih ingat, jika saja saya hidup tanpa menghisap hasil kerja ibuk saya... tentu saya sudah kere. Hutang demi hutang saya lakukan kepada ibuk saya untuk sekedar biaya bensin ke sukamade. Sedangkan untuk keluar dari rumah ini, guna mencari penghidupan, akh... saya lihat muka Ibuk saya tak ada gembiranya. Sulit sekali tegar seperti pahlawan saya, Tan Malaka yang melayang bagai burung-burung kemana ia mau pergi. Lengkaplah sudah ketika pengumuman : saya tak diterima, bahkan di Papua. Alasanya:saya tak memprioritaskan pilihan di Papua. Ah, bullshit. Lagipula, akibat revolusi itu, janji bahwa saya akan segera menerima gaji di bulan januari menjadi hampa...

Saya sedih sejadi-jadinya. Saya sedih karena keterbatasan kesempatan untuk menggapai cita-cita sederhana saya : tidak jauh dari ilmu lingkungan dan pendidikan, hal yang saya bangun idealismenya sejak 4 tahun lalu dengan hati saya sendiri. Sedangkan untuk hidup di Meru Betiri, saya rasa bukan tempat yang tepat. (Mungkin nanti saya ceritakan di lain kesempatan.). Namun apa daya. Pak Pram sudah menggambarkannya dengan kata-kata sederhana: korban revolusi. Tak ada yang mampu menyangkal dan memberontak. Seakan perkataan ini diucapkan di malam yang sama, dengan penerangan lampu ublik yang menyetujui suasana yang sedih hati. Tak ada satupun orang yang mampu menjawab: akan kemanakah saya? Siapa yang harus saya musuhi? Akankah saya bisa menjadi tegar? atau, masihkah saya akan di sini?
Tak ada yang tahu... karena saya pun, korban revolusi. 

Minggu, 10 Mei 2015

Larwo ( Lar e Dowo)

Jadi ceritanya begini...
   Tiga hari lalu, Mas Rohman, salah satu kawan saya di Sukamade, mendapatkan informasi tentang keberadaan burung langka di sekitar blok pantai (seputaran pos Sukamade - red). Informasi tersebut terbungkus rapi dalam sebuah pembicaraan antar pelanggar, yang secara tidak sengaja terdengar oleh beliau. Begitu disadari oleh mereka keberadaan Mas Rohman, yang telah tobat dan bergabung dengan PA, maka secara bergantian mereka tersenyum kecut dan kabur. 
   Informasi tersebut sebenarnya adalah tentang ditemukannya burung Larwo, atau dalam nama indonesia "Murai Batu / Kucica hutan (Copsychus malabaricus). Saya hanya mangap saja mendengar populasi si murai batu ini masih ada. Hingga saat ini, percaya atau tidak, cucak ijo saja saya belum dapat fotonya, hehehe..
     Menanggapi tantangan dari Mas Rohman untuk mencari, maka di hari sabtu pagi, saya ditemani beliau dan Mas Eko mulai jongkok untuk mencari si burung bersuara merdu ini. Pada saat itulah saya menjadi kagum kepada Mas Rohman, sang mantan pelanggar ini. Keahliannya memikat burung kicauan dibuktikan dengan siulannya yang sangat mirip dengan burung aslinya. Saking miripnya, saya malah keheranan dengan kualitas mulutnya yang kualitas kaset. 
    Beliau malah bilang, kalau suaranya belum ada apa-apanya. Masih ada pelanggar juga yang jauh lebih muda dari saya, dan cucut-nya mampu menirukan hampir semua burung kicauan dengan hampir sempurna : cuca ijo, kacer, cuca jenggot, larwo, dll.  Wedian, bisa habis burung-burung di sini tujuh turunan.. Namun, sisi positifnya, burung-burung yang diincar adalah yang laku di pasaran sebagai burung kicauan. Burung-burung lain yang meskipun langka, tidak umum, namun tidak laku, ya tidak akan diambil (meskipun demikian, pelanggaran macam ini tidak bisa dibenarkan :p ). Tiga jam berputar-putar, menunggu, dan menirukan suara si Larwo, ternyata tidak membuahkan hasil. Saya tak merasa hari ini kesialan menghampiri kami. Justru, semakin banyak ilmu yang saya peroleh dari warga lokal semacam Mas Rohman dalam mengamati burung (meskipun dulu ia gunakan untuk menangkap burung, hehe). 
    Sebelum kembali ke pos, ia bercerita tentang banyak sekali burung-burung aneh yang ada di hutan dan tidak ia bawa meskipun tertangkap (dilepas lagi karena tidak laku). Salah satu yang menarik adalah sering sekali menangkap burung berukuran agak besar, sekitar 2 genggaman, dan berjambul. Suaranya sangat jelek, dengan garis putih di sekitar leher. Saya kemudian mengernyitkan kening... mungkinkah ia adalah Tangkar Ongklet (Platylophus galericulatus)? Saya menguji Mas Rohman dengan memintanya untuk menggambar sketsanya, dan sepertinya mirip dengan apa yang saya duga. 
Ah, kiranya musim kering nanti kami bisa berjalan-jalan lebih jauh untuk mencari burung-burung ghoib yang tersimpan di Meru Betiri, seperti Paruh Kodok Jawa atau Anis Merah? wehehe... 

 

 

Minggu, 26 April 2015

Conservation, local politics, and carnivora reserve on his eyes

   Yang membuat hari ini, Jumat, 24 April 2015, terasa istimewa adalah saya berhenti beristirahat dengan seorang kawan baru di pos pantai Sukamade. Awalnya saya merasa biasa saja. Lalu kemudian, obrolan ini makin menyenangkan ketika beliau mengambil batang rokoknya yang kedua. Artinya, minat beliau untuk menemani saya beristirahat kala lelah berjalan-jalan mengamati burung sungguh sangatlah besar. Mungkin, obrolan tentang kehidupan dan pekerjaan barunya bisa saya skip saja. Tapi yang menarik adalah ketika cerita kami beranjak ke isu sensitif dengan percaturan politik lokal dengan konservasi. 
   Saya yakin beliau adalah orang yang tidak terlalu paham dengan konservasi, apalagi tetek bengek politik, blas. Apalagi ia adalah ex-pelanggar yang sudah tobat sejak beberapa tahun lalu. Keluar masuk hutan adalah pekerjaannya. Lagipula, sejak lahirnya ia sudah menghirup udara yang minim polutan khas rimba. Namun menariknya, ia mencintai dunia konservasi dengan gaya dan bahasanya sendiri. 
    Banyak omongan nggedabrus tentang permasalahan yang membalut taman nasional ini, salah satu topik yang menarik saat itu adalah tentang macan. Ia bercerita tentang banyaknya pemburu-pemburu macan yang datang dari utara (jember) bertahun-tahun lalu, menjajah kawasan PA, membunuh dan mengambil kulitnya yang berharga itu demi pundi-pundi rupiah. Sedangkan dalam sejarah Taman Nasional Meru Betiri, tidak pernah sedikitpun terpotret bentuk dan rupa macan itu. Meskipun jutaan rupiah digelontorkan dan jerih payah orang-orang lapang demi sebuah foto, namun tiap kegiatan harus diakhiri dengan foto-foto 'gagal' mendapatkan buruan utama : karnivora besar. 
    Lalu, apakah sudah benar-benar punah? Tidak... beliau menjawabnya dengan pasti. Salah satu syarat untuk menemukan karnivora besar ini adalah : musim dan tempat yang tepat. Tidak semua tempat dijelajahi oleh macan katanya. Hanya tempat tertentu yang dijadikan tempat berkumpul, semacam party lah. Ini pun ditunjang dengan musim yang tepat, yaitu saat kemarau dan... duren! Nah, yang terakhir ini adalah cerita yang sudah saya dengar dari beberapa orang. Tapi, saya masih gagal untuk menghubungkan antara buah duren dengan keberadaan macan. Kata para penduduk lokal, macan gemar makan duren saat duren-duren berjatuhan. Saya tidak ingin mempercayainya dengan pasti. Mungkin jika duren mengundang hewan-hewan herbivora (sekaligus mangsa bagi macan) datang, maka mungkin itu lebih masuk di nalar. 
Lalu tiba-tiba sebuah pertanyaan krusial dari mulut polosnya meluncur: "kalau begitu, kenapa kita tidak memasang kamera trap atau nyanggong disana?"
    Nah, ternyata, kamera dan kamera trap adalah inventaris yang dicap 'mahal' oleh banyak instansi. Penggunaannya juga harus sesuai dengan tata pranata - adat istiadat birokrasi. Artinya, harus ada jaminan agar barang itu tidak rusak atau hilang. Sebenarnya, rusak atau hilang saat bertugas itu biasa saja. Lha wong namanya usaha, ya toh? Yah, tapi namanya barang titipan negara. Banyak orang merasa rieweuh jika barang tersebut ada apa-apa, mulai dari pertanggungjawaban hingga... penyidikan! 
    Bahkan, jika permasalahan pertama itu berhasil diatasi, maka dana adalah permasalahan kuat yang menghambat, dan bisa dikatakan kalau financial is the most powerful problem among government institution. Sudah menjadi tradisi jika pemerintah tidak terlalu peduli dengan perkembangan sains ala lapangan ini. Buktinya adalah dana yang datang tertetes-tetes, membuat pencairan alokasi dana selalu mundur dari jadwal dimulainya kegiatan. Akibatnya, musim-musim macan sudah berlalu, tapi ketika dana itu datang telat, maka kegiatan pun harus dilakukan, seadanya. Akhirnya, adalah tak ada yang lebih sedih jika saya mengatakan kegiatan tersebut mubazir, sia-sia. 
    Permasalahan ketiga adalah semangat. Saya yakin semangat melakukan kegiatan lapang masih membara diantara para rimbawan. Yang saya belum yakin, adalah semangat gotong royong, bersatu, saling membantu tanpa pamrih, dan memikirkan sebuah 'keluarga' dibandingkan problematika personal. Permasalahan terakhir ini ibarat kanker, yang disadari atau tidak, telah menjalar dan memecah belah kesatuan. Ketika tantangan dari luar harus dihadapi bersama, maka kanker jenis ini telah jauh menggerogoti dari dalam dan lambat laun sebuah organisasi akan mati dibuatnya. Saya rasa, sudah banyak contoh tentang ini.

Akhirnya, kami hanya bisa memandang gunung-gunung megah meghijau di blok pantai. Kabut tipis menghilang perlahan ketika sinar mentari mulai datang. Kami hanya berharap jika salah satu macan, atau bahkan harimau jawa bisa lolos dari jerat stling pemburu. Bahkan dalam benak kami, besar sebuah harapan agar mereka dapat menemukan pasangannya dan menghasilkan keturunan yang lestari. 
Masalah, biarlah masalah. Ungkapan tentang masalah adalah suatu kegemasan berpikir yang mendobrak batasan-batasan yang dibuat manusia. Tidak perlu takut dikritisi, karena pengkritik harus masuk ke tempat sampah dan pengambil kebijakan selalu benar. Tidak pernah ada yang salah dalam setiap mbuletnya permasalahan itu, karena yang salah bukan kita, tetapi Tuhan, ya toh?

Minggu, 05 April 2015

Duet karya 'Incredible'

Wow, akhirnya saya nulis lagi!
Setelah sekian lama tak disentuh, blog ini rasanya seperti mati suri. Banyak sarang laba-laba di bagian 'compose' dan jalan menuju tombol 'publish' dipenuhi semak-semak. 

Anyway, malam ini saya menceritakan sebuah lompatan besar dari hasil pekerjaan saya dan kawan-kawan di Taman Nasional Meru Betiri. Yapp, ada dua buah buku yang saya 'karyakan' untuk menunjang hasil ndedepi (nongkrongi) burung selama berbulan-bulan. Terus terang saja, sebuah karya baru telah lahir 2 minggu lalu dan di bulan Desember telah rampung sebuah gawe besar yang menceritakan tentang burung-burung indah di Meru Betiri. Mari langsung kita ce ki dot:

1.  Sayap-sayap Meru Betiri
     Didalamnya terdapat 110 jenis burung yang terjepret di Meru Betiri. Belakangan ini, terkonfirmasi foto 2 jenis burung yang belum sempat dimasukkan, yaitu Kokokan Laut dan Kepudang Hutan. Selain species sheet, ada sebuah sisipan artikel tentang temuan keren (bagi saya sih keren keliwat-liwat), yaitu sebuah sarang Elang Jawa beserta anaknya.
     Saya tak ingin membicarakan gaya desain, yang sudah sekuat tenaga keluar dari pengaruh buku-buku lain. Selain itu, dengan isi yang lebih sederhana dan berbahasa Indonesia, buku ini berkesan sebagai salam kenal dari burung-burung Meru Betiri kepada pembacanya. Yang menarik adalah, buku ini menjadi korban dari panasnya politik tahun 2014. Akibat penataan ulang kementrian, akhirnya belum ada anggaran yang pas untuk buku ini. Lalu, dari akumulasi penyebab-penyebab yang lain, buku ini masih 'berdiam diri' selama berbulan-bulan. Kejadian ini sepertinya menjadi bukti bahwa buku dalam bentuk digital menjadi alternatif karya yang mungkin bukan satu-satunya, tapi lebih masuk akal!
Seandainya buku ini terwujud, mungkin rasanya adalah ketika seperti sampeyan pegang gelas es campur, dan es batunya diguyur lewat kepala. Adem pooll... Semoga saja bisa tahun ini terwujud.



2. Animals of Sukamade
 Kebutuhan wisata berbasis internasional yang berkembang di Sukamade (salah satu resort yang banyak dikunjungi wisman) menjadi awal dicetuskannya ide untuk membuat buku ini. Keputusan pertama adalah untuk membuat semacam booklet. Namun, ide ini harus hilang karena isi di dalamnya melampaui standar umum sebuah booklet. Akhirnya jadilah sebuah buku kecil berukuran B5 yang didesain sangat sederhana. Bahkan terkesan 'putihan' dan 'garingan'. Gambar lebih banyak mendominasi. Hal lain yang tercantum adalah nama spesies, lokasi tempat temuan, dan beberapa informasi terkait satwa-satwa yang dianggap unik. Tentunya, atas bantuan kaka' Swasti, buku ini bisa keminggris, sesuai dengan kebutuhan Sukamade yang menjadi destinasi internasional.
Sebagai penyokong ekowisata alternatif non penyu, sepertinya buku kecil ini layak mendapatkan perhatian. Namun lagi-lagi masalah pendanaan, membuat buku ini hanya sampai kepada cetak sampel. Awalnya telah ditemukan wacana sebuah pendanaan mandiri, dan lagi-lagi suhu 'politik' telah menjadi momok bagi kemajuan ilmu pengetahuan (sekaligus ekowisata).


 Nah sodara-sodara yang berkunjung di halaman blog ini, demikianlah dua buah karya yang menunggu dieksekusi. Saya hanya bisa menyebut-nyebut kedua hal ini di dalam doa, karena sekarang hanya dengan bantuan Tuhan segala hal bisa lancar, termasuk segala karya kita, ya toh?
Tetap semangat broh..


Dunia Bawah Kaki

Malam ini saya ingin ngrasani mahkluk kecil bersayap... Bukan burung, tapi terlalu besar untuk lalat, atau bahkan tengu. Namanya adalah kupu-kupu

Yapp, di tempat saya makarya, mereka tidak terlalu banyak jenisnya. Jika saya boleh berbagi dengan pengalaman saya yang cupet ini, kupu-kupu di Meru Betiri tidak sekaya yang ada di pantai kondang merak atau coban rais, alang. Mungkin pilihannya ada 2 : saya yang terlalu ruwet menengadah mencari burung, atau memang benar, jenisnya sangat sedikit? Hm, entahlah, yang jelas, apakah Meru Betiri yang kaya dengan hutan-hutan rungkut, lebat, membuat jenis kupu-kupu sangat miskin, sama seperti di Cangar, Tahura R.Soeryo.
Meskipun demikian, menarik juga untuk melihat-lihat dunia 'bawah kaki' Meru Betiri ini.

Mau yang tertutup, atau telanjang?
Di sini, di Meru Betiri, anda lebih sering melihat mahkluk cantik ini di bumi yang telah 'ditelanjangi' manusia. Rerumputan perkebunan, tepian jalan, atau bahkan di tengah jalan. Rupanya, kupu-kupu sangat tertarik karena tempat yang terbuka memungkinkan semak-semak berbunga untuk tumbuh, seperti Lantana camara. Selain itu, lumpur dan batuan basah juga menarik perhatian kupu-kupu karena menyediakan mineral bagi mereka (disebut mud puddling). Oleh karena itu, saat kita melewati jalanan berlumpur di siang terik, sering kita melihat gerombolan kupu-kupu. Umumnya, kupu-kupu yang suka tempat 'telanjang' adalah mereka yang berwarna cerah. Yah, terkadang memang apes, beberapa juga gepeng karena terlindas ban motor, hehe..
Graphium sarpedon sedang di pinggir kali
Lalu yang tertutup? Nah, kupu-kupu yang gemar hidup di kawasan tertutup ini biasanya jarang bergerombol. Warnanya pun kusam, tak menarik. Kegemarannya pun njijiki, yaitu menghisap mineral dari buah-buahan busuk atau bangkai hewan. Namun jangan salah, sebagian besar dari mereka adalah penghuni julukan langka, atau paling tidak jarang terlihat. Di sinilah terlihat ketergantungan beberapa jenis kupu-kupu terhadap tutupan lahan, atau kalau dengan bahasa sangar, kelestarian hutan. Semakin lebat hutan, mungkin jenis di dalamnya sedikit, tapi 'berkualitas' tinggi :D

Bangun molor? Wah, Cocok!
Sampeyan tukang molor? nah, kabar gembira, kupu-kupu berbeda dari burung. Jika burung harus ditunggu di pagi hari sekali, kupu-kupu harus menunggu sinar matahari yang cukup untuk menghangatkan badan mereka. Pasalnya, mereka sangat tergantung pada sinar matahari yang mampu merangsang syaraf sayap mereka untuk aktif. Itulah mengapa kita jarang melihat kupu-kupu beraktivitas saat mendung, apalagi hujan. Nah, waktu yang cocok adalah sekitar jam 8 atau 9 saat matahari baru sepenggalah, hingga pukul 11 siang. Anda masih molor? Di situ saya terkadang sedih melihat nasib anda...
Eurema hecabe , nampak bagian underside-nya karena paparan sinar
Sambil mengusap iler yang super bau, mari kita pergi ke jalanan tanah atau yang kaya dengan semak berbunga. Ingat, hunting anda sangat tergantung dengan cuaca, jadi berdoalah agar cuaca benar-benar terik saat itu. Musim yang paling tepat adalah penghujung penghujan, dimana banyak hujan yang membuat genangan dan melarutkan mineral di malam hari, namun di pagi harinya, sinar matahari sedikit demi sedikit menguapkan air dan meninggalkan mineral di permukaan tanah. Sudah pasti, banyak kupu-kupu terlarut dalam pesta mineral atau nektar saat itu. Atau di lain kasus, saat musim kemarau, banyak kupu-kupu melakukan mud-puddling di tepian sungai kecil yang berlumpur.

Sabar...
Jika anda berkeinginan untuk mengetahui nama mereka, maka sabar adalah kuncinya. Ada dua pilihan untuk 'berkenalan', yaitu dengan menangkap atau memotretnya. Nah, seperti saya yang tukang poto amatir, memperoleh foto mereka adalah hal yang gampang-gampang susah. Susahnya adalah karena mereka termasuk serangga yang cerdas. Getaran akibat langkah kaki cukup membuat mereka berterbangan dan susah diam kembali. Selain itu, beberapa spesies hanya dapat dibedakan jika kita mengetahui pola pada posisi underside (saat menutup) dan upperside (saat membuka). Nah, kebayang kan bagaimana mensiasati itu semua dengan pose shoot merayap, berjongkok, tiarap, sembari berjemur dan dilihat buruh penyadap karet? :v

Nah, ini adalah beberapa jepretan yang saya koleksi di Meru Betiri:

Eurema blanda
Saletara liberia
Graphium antiphates



Appias albina

Cepora iudith