the biodoversity

the biodoversity

Jumat, 09 Mei 2014

Jangan biarkan mimpi itu mati, bro!

Ada begitu banyak uneg-uneg yang sebenarnya ingin saya tuang ke dalam layar laptop Dell saya. Semenjak entah kapan saya menulis terakhir, rasanya jari-jemari saya malah kaku untuk menekan huruf-huruf yang tercetak pada keyboard. Yah... daripada mak-bruusssh dari belakang, mending mak-brusshh lewat layar laptop..

Hampir 6 bulan lah saya jalan-jalan di tempat yang saya sebut 'halaman rumah', alias Meru Betiri. Itu pun kalau dihitung mulai sebelum Desember, dan belum dipotong bolos ala desertir.. Termasuk singkat, atau lama? yaah, saya sendiri tidak dapat menentukan. Bagi saya, 6 bulan ini cukup berat. Memperjuangkan kecintaan saya pada tanah halaman rumah ini sampai membuat saya kebablasan lupa kalau saya adalah pekerja tanpa status (PTS). Hidupnya hanya diabadikan untuk kluthusan tiada tara, tanpa harus care dengan permasalahan gonjang-ganjing politik di dalamnya. Sangat gue banget sebenarnya, tapi tetap saja akhirnya banyak timbul masalah, entah karena sebuah statusisasi, kecurigaan berlebihan, atau hubungan keraguan masa depan dengan yang Maha Kuasa. Enam bulan yang seharusnya singkat, menjadi semacam menunggu angkot di atas pukul 10 malam, lamanya ndak ketulungan. Tiap detik yang berharga ingin sebenarnya saya habiskan dengan menikmati kicauan burung nan cantik di sana sambil menekan tombol shutter kamera. Berjalan bertelanjang kaki. Merebahkan diri diatas pasir putih. Tapi, ah... saya tak bisa membohongi diri sendiri... jantung saya tetap berdebar... deg. deg. deg.

Dari jalan-jalan itu, ada sekitar 180 lebih jenis burung yang masuk ke dalam catatan kompilasi. Sebuah angka yang fantastis. Tidak jauh dari prediksi MacKinnon dkk yang sudah menduganya, dan masih diimbuhi maksud tersirat: kemungkinan masih terdapat catatan tambahan' serta 'perlu observasi lanjutan'. Layaklah jika dikatakan demikian, karena masuk ke dalam kawasan Meru Betiri seakan ambles ke dalam perut bumi. Jangankan ke zona inti, di zona rimba sendiri masih didominasi vegetasi tanaman rapat yang membuat burung lebih mudah bersembunyi daripada dilihat. Belum lagi isi perut Meru Betiri yang lain masih belum dibongkar : kupu-kupu, capung, mamalia, reptil, segenap makroorganisme dan penghuni antah berantah yang ghoib, tersembunyi diantara curam-curamnya tebing pantai selatan, dan kegelapan lumut gunung Betiri...

Jika saya boleh jujur, diserang ketakutan, tidak pede, dan suasana politik yang tidak stabil membuat saya lemah. Pertanyaan-pertanyaan akan jalan yang sudah teguh saya ambil setahun lalu, kembali terulang. Mulai dari : bisakah? mampukah? sampai kapankah? akhirnya menggaung kembali tanpa sengaja. Sampai kepala saya kemudian tertunduk, dan menghadap kepada Tuhan. Lirih saya berkata : 'saya hanya seorang manusia kecil diantara cita-cita yang besar, Tuhan... '

Menutup bulan Mei ini, janji untuk menuntaskan observasi burung di dalam kawasan kiranya dapat ditepati. Data tersebut rencananya akan ditulis. Siapa, dan apa yang bisa dikerjakan, akan ditentukan dalam sebuah pekerjaan keroyokan. Kini mulailah proses pengumpulan dan pengelompokan foto. Sebuah jalan yang masih panjang bro...

Doakan saja agar semangat terus terjaga. Karena, meskipun pudar, janganlah mimpi kita mati!




Tidak ada komentar:

Posting Komentar