the biodoversity

the biodoversity

Senin, 08 September 2014

But-but-but... Nasib Si Bubut dan rumahnya di Meru Betiri

Bubut, atau kawan saya kelewatan memanggilnya dengan nama butbut, adalah anomali anggota cuculidae yang bersifat terestrial. Tidak menarik memang, karena warna badannya saja suram, dan suaranya tidak merdu serta cenderung monoton. Namun, cukup menarik karena salah satu anggotanya dari 3 jenis bubut berstatus 'vulnerable' alias terancam. Jenis ini adalah Bubut Jawa (Centropus nigrorufus), yang dari namanya saja kita sudah mengira bahwa burung ini adalah endemik pulau Jawa. Sebarannya tercatat cukup terbatas, seperti pesisir dan muara Jawa Barat, Banten, Jakarta (Mackinnon dkk., 2010), Mojokerto (Budi, 2014), Baluran (Winnasis dkk., 2011), serta di beberapa lokasi dataran rendah di Jawa lainnya.
Untuk mengenalinya, selain dari dokumentasi yang jelas, bubut harus diamati dengan teliti, karena tantangannya adalah burung ini sering sensitif ketika melihat manusia. Sebagaimana khas burung terrestrial, menyembunyikan diri secepat-cepatnya adalah andalannya dalam mempertahankan diri. Jadi, jika kita kurang cermat (sering seperti saya, hehe) dalam memperhatikannya, maka... zonk.

***

Nah, ada banyak foto yang terkumpul ketika saya mbladhus ke Bandealit atau Sukamade. Tantangannya sekarang adalah, berdiskusi tentang nama masing-masing hasil foto tersebut. Kepada siapa? kepada Pak Imam T. yang melegenda dan sanggup membimbing birder amatiran seperti saya, wkwk... mari kita lihat penampakannya.

1. Bubut Besar / Greater Coucal / Centropus sinensis


Foto ini sebenarnya tidak asing lagi karena saya sudah pernah menulisnya di sini. Lokasinya masih di seputaran Bandealit, yaitu pos - feeding ground Pringtali. Namun, awalnya saya mengira jenis ini adalah Bubut Jawa, hehe... Namun, segera menyadari kesalahan yang dibuat, jelaslah ukuran dan warna punggungya sangat khas. Selain itu, ekornya lebih panjang jika dibandingkan dengan Bubut Jawa dan Bubut Alang-alang.


2. Bubut Alang-alang / Lesser Coucal / Centropus bengalensis
Jenis bubut yang paling banyak ditemukan di daerah TNMB. Maksudnya, hampir di lokasi pengamatan yang 'ada bubut', si alang-alang ini muncul lebih dulu. Kemungkinan mereka menginvasi habitat bubut lainnya ya? hehe... Sejauh ini, pengamatan di Malangsari, Sanen, Bandealit, Rajekwesi, Sukamade menunjukkan spesies ini hidup dengan baik di berbagai habitat : dataran rendah, semak pantai, kebun, padang ilalang tepi sungai. Ukurannya yang kecil, menurut saya, menjadi tolak ukur utama ketika burung ini sepintas terlihat. Selain itu, ekornya pendek, dan bulunya khas mirip Bubut Besar, tapi sekali lagi, ukurannya kecil, sekitar 40-42 cm.




 3. Bubut Jawa / Javan Coucal / Centropus nigrorufus
Ini dia jenis bubut yang memiliki status 'artis'. Dari badannya, sangat tidak menarik untuk dilihat : lebih kotor, terutama pada penutup sayap. Makanannya hampir sama dengan  jenis bubut lain, dan tidak pilih-pilih, mulai dari kelabang, katak, telur burung, bahkan ular pohon juga dilahap. Belakangan, kakak ganteng bernama Nurdin Setio menemukan bahwa Bubut Jawa juga memakan padi di Mojokerto (Budi, 2014). Sayangnya, untuk hidup, Bubut Jawa lebih pilih-pilih. Alasannya ya tidak tahu... hehe. Namun, dia sangat gemar hidup di rawa-rawa air tawar, mangrove seputar pesisir. Dosa burung endemik ini adalah memilih tempat yang sekarang cocok untuk pengembangan bisnis properti dan pertanian, hehe... ckck.

Dari semua foto yang saya cek, ternyata kok saya ada rasa penasaran tentang foto ini. Setelah dijebret, pada hari itu juga saya mencatat bahwa ini temuan pertama saya dengan Bubut Besar di Bandealit. Tapi berpikir selama beberapa menit, belakangan catatan itu saya coret dan terganti dengan nama Bubut Jawa. Punggungnya sih hitam meles... tapi kok... penutup sayapnya tidak gelap? Penasaran pada saat itu tertumpuk dengan pikiran sok sibuk lain, hingga hari dimana saya ngrekap data. Fix ini, saya yakin... 60-70 persen ini bukan Bubut Besar. Selain ukurannya yang lebih kecil, punggungya benar-benar hitam. Kalau masalah sayap, kok nampaknya sih ada sedikit kusam. Pilihan masih jatuh pada Bubut Jawa. Ah, sayang ini hanya dijepret sekali, karena rupanya burung ini cukup pemalu. Tak ingin memecahkan masalah sendiri (karena ngga mudeng), langsung foto ketiga jenis bubut saya kirimkan ke Pak Imam Taufiqurahman.
Jawabannya adalah : "Sepakat gung..." jadi sudah ada lampu hijau. Selain itu, Pak Imam juga menjlentrehkan beberapa pedoman identifikasi bubut, termasuk kenapa burung di foto tersebut dimasukkan ke dalam Bubut Jawa.
Nah, ada foto lain lagi dengan kualitas yang amsiong punya, tapi rasanya jelas seperti inilah penampakan Bubut Jawa:



***

Demikianlah para budiman sekalian. Walau burung-burung di atas dianggap orang sebagai 'tidak menarik', atau 'kurang bermanfaat', nyata-nyata bahwa mereka tidak berdaya terhadap manusia. Memang tidak diburu, tapi habitatnya selalu diinvasi, diuruk, dijadikan mall dan perumahan. Peraturan pertama : manusia selalu menang. Peraturan kedua : jika hewan ingin menang, maka ingatlah peraturan pertama.

Maka dari itu saran saya, jangan ikut-ikut mendukung, atau bahkan mendirikan rumah dan mall di tepian sungai atau rawa-rawa. Karena selain merusak sarang bubut, saya jadi tidak bisa memancing mujaher atau tawes. Lagian saya ndak percaya sampeyan mendirikan mall di tepi sungai brantas :p
Saran saya lagi, kalau anda sedang piknik di tepi sungai, jangan lupa bawa binokuler. Siapa tahu anda dapat mengamati orang mandi sekaligus Bubut Jawa yang sedang mandi juga, hehehe...






contekan :
Budi, Nurdin Setio. 2014. Sunda Coucal Centropus nigrorufus eating young rice seeds. Kukila 17 (2)
MacKinnon, John, Karen P., dan Bas van B.. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali, dan              Kalimantan. LIPI
Winnasis, Swiss, Sutadi, Achmad T., dan Richard N. 2011. Birds of Baluran National Park. TNB.

Also :
Kutilang Indonesia (http://www.kutilang.or.id/ )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar