the biodoversity

the biodoversity

Kamis, 05 September 2013

Angkringan Panas (Gacorane Sie Konsumsi PPBI : part I)

   Perkenalkan, saya adalah Sie Konsumsi sejati. Bukan karena pintar masak sehingga layak dijuluki Master Chef, tapi karena memang tukan ngempil makananan :D . Mungkin dari beberapa kawan sudah tahu tentang acara Pe-Pe-Be-I, atau lebih panjang lagi bernama Pertemuan Pengamat Burung Indonesia. Nah, di dalamnya saya sudah tersedot ke dalam lobang kepanitiaan yang kompleks dan mungkin tak sanggup diceritakan dalam dua episode sinetron. 
   Masih teringat jelas ketika beberapa anak malang diam di pojokan salah satu homestay Kaliurang, Jogja, pada tahun lalu, untuk mendengarkan celotehan para pengamat burung yang membahas banyak hal. Sekedar tersadar dari kantuk, nama-nama Malang tiba-tiba disebut-sebut. Lhoh-lhoh, apa ini? wealah, ternyata, mereka secara aklamasi memilih nama malang sebagai tuan rumah untuk PPBI tahun 2013. Sialnya lagi, arek-arek malang yang duduk di seberang (saya sendiri duduk di antara anak jogja, sendirian), malah ikut tepuk tangan sambil bersorak-sorai. Weh, pengkhianat ini namanya!
   Jadilah pada malam-malam bulan Maret, kami arek pengamat burung malang, yang lebih sering dicap :SERIWANG, menghabiskan waktu dengan berkumpul. Awalnya sih hanya ndobos tentang PPBI, terutama setelah ada susunan panitia. Sok ngerti masalah konsep, keblinger dengan masalah uang, weaaalaah... ketika dobosan kami sadari menghabiskan banyak konsumsi kalori, cafein, dan nikotin, akhirnya kami jadi ngantuk! Hoaahem.... malam-malam kelam tanpa hasil terus berlanjut. Mungkin, sekitar dua atau tiga minggu setelahnya, kami berhasil mengerucutkan sesuatu hal, termasuk pondasi penting dalam event ini: hubungi sebanya-banyaknya orang yang bisa mewakili, dan publikasikan segiat-giatnya. Masalah waktu, langsung kami tembak akhir agustus, padahal acara masih nol. Masalah wakil, keinginan kami hanya satu, yaitu membawa daerah-daerah itu untuk berbicara, menunjukkan eksistensi kegiatan pengamatan di daerah, dan tentu saja, kesan Java-sentris, atau bahkan Jogja-sentris, itu memudar. Dari sini kita harus tahu, bahwa keragaman informasi dari seputar nusantara masih perlu digenjot. Nanti bicaranya tentang apa? Saya hanya memberi satu kata : sembarang. Artinya, perwakilan nanti bebas berbicara tentang temuan baru, progress komunitas di daerahnya, kegiatan pengamatan, spesies-spesies yang menarik, atau apapun lah, selama temanya masih burung di daerahnya. Dari para panitia mungkin hanya bisa berharap, nantinya ketika mereka bicara, mindset para pengamat burung bisa terbuka, bahwa sebenarnya Indonesia itu luas brooo.... tidak tergambarkan ketika mereka upload foto atau info di facebook saja. Dengan membawa orang-orang asli dari daerah itu, niscaya, ke depan sharing informasi semakin akrab, lancar, dan makin kental nuansa Indonesia. 
   Nama-nama pun kami kantongi, semuanya dihubungi. Kriteria utamanya adalah: pengamat burung, termasuk kawakan, dan kalau bisa... muda. Oleh karena itu, banyak dari beberapa kawan perwakilan yang hadir merupakan anak gahoool. Hanya sebuah harapan, ketika yang muda-muda ini sudah benar-benar senior, mereka akan menggantikan nama-nama legenda yang sampai bosen didengar oleh kaum pengamat burung. Pondasi pertama digarap, lalu pondasi kedua juga akhirnya beranjak digarap, yaitu dana. Whealaaah, yang satu ini saya serahkan ke teman-teman yang lebih ahli (saya kan sie konsumsi). Yang pasti, jatuh bangun untuk sekedar mendapatkan diskon dan sumbangan barang itu susahnya minta ampun. Mungkin, memang benar kata Mas Swiss, kita itu tidak dikenal oleh masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan aneh mirip:"apa itu pengamat burung? atau, ini logonya burung apa ya?", selalu mampir di telinga. Weh-weh, belum lagi prediksi kenaikan BBM yang akan datang sebentar lagi, membuat kami mikir sampai uraten. Tak sanggup rasanya memutuskan kontribusi itu sebesar 150 ribu. Dhuh, meskipun mereka bisa nabung dulu toh, kami tetap penuh keterbatasan, tidak ada beking, dan sampai-sampai ndak enak tenan. Namanya juga sebagian besar calon peserta masih mahasiswa. 
     Dari sini kami benar-benar gelap. Apa yang bisa dikerjakan, langsung dikerjakan saja. Dua pondasi utama yang dikejar, tetap diimbangi dengan doa: mugo-mugo, nanti acaranya bisa benar-benar menjadi wadah pengayom, silaturahmi, dan ada sesuatu yang clear, dapat dihasilkan untuk masa depan pengamat burung di Indonesia. Angkringan Pak Klaten ini jadi saksi bisu anak-anak muda yang ngobrol ngalor-ngidul. Makin hari makin panas: panas kopinya, panas gorengannya, dan akhirnya... panas juga harganya setelah BBM harganya dinaikkan. Wheladalah, terpaksa angkringan yang jadi rumah kami selama ini, harus ditinggalkan pada bulan Juli itu... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar